RSF: Sepertiga Jurnalis yang Tewas pada 2024 Dibunuh Israel
Palestina dan jalur Gaza jadi lokasi kerja paling mematikan bagi jurnalis.
REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW — Militer zionis Israel dinilai bertanggung jawab penuh atas kematian dari sepertiga jurnalis yang terbunuh pada 2024, sebut laporan organisasi non-pemerintah Reporters Without Borders (RSF), Kamis (12/12/2024).
RSF menyoroti peningkatan serangan terhadap wartawan yang mengkhawatirkan dalam Laporan 2024 yang disusun. RSF menyebut ada 54 jurnalis yang terbunuh pada tahun ini.
"Sepertiga jurnalis yang meninggal pada 2024 itu dibunuh oleh militer Israel ... Sejak Oktober 2023, lebih dari 145 jurnalis dibunuh militer Israel, termasuk setidaknya 35 orang yang kematiannya berkaitan langsung dengan peran jurnalistik mereka," ucap RSF.
Organisasi itu menyebut Palestina dan jalur Gaza sebagai lokasi kerja paling mematikan bagi jurnalis tahun ini. Namun, RSF juga menyoroti kawasan Asia sebagai lokasi kerja paling mematikan kedua untuk wartawan.
"Karena banyaknya jumlah jurnalis yang terbunuh di Pakistan (tujuh orang) dan dalam kerusuhan di Bangladesh (lima orang), Asia menjadi kawasan dengan jumlah kematian pekerja media tertinggi kedua," kata RSF.
RSF juga mencatat bahwa pada 2024, 550 jurnalis saat ini berada di balik jeruji besi. Selain itu, 55 pekerja media menjadi korban penyanderaan -- 70 persen dari mereka ada di Suriah -- dan 95 jurnalis dilaporkan hilang di tahun yang sama.
Dalam rangka Hari Internasional untuk Mengakhiri Impunitas atas Kejahatan terhadap Jurnalis yang diperingati setiap 2 November, UNESCO menyerukan supaya semua negara memenuhi komitmen mereka untuk mengakhiri impunitas atas pembunuhan terhadap jurnalis.
Laporan UNESCO juga menunjukkan bahwa tingkat impunitas tersebut tetap tinggi yakni mencapai 85 persen. Persentase tingkat impunitas itu hanya turun 4 persen dalam enam tahun terakhir.
Direktur Jenderal Reporters Without Borders (RSF) Thibaut Bruttin mengungkapkan keprihatinan atas upaya Israel memberikan label 'teroris' kepada jurnalis di Gaza.
"Kami melihat pasukan Israel mencoba menggambarkan wartawan Palestina sebagai teroris. Jadi kami juga sangat khawatir dengan tren itu," kata Bruttin kepada Anadolu.
Selama mengunjungi Jenewa, Brutin mengecam pembunuhan para jurnalis di Gaza, yang terus berada dalam serangan intensif Israel sejak 7 Oktober 2023. Dia juga menyoroti ancaman serius yang dihadapi para jurnalis di Gaza.
Bruttin mengatakan: "Ini belum pernah terjadi sebelumnya, ada tempat yang tertutup bagi pers internasional dan semua liputannya bergantung pada wartawan Palestina setempat yang merupakan warga sipil yang berisiko dan wartawan yang mungkin menjadi sasaran. Jadi kami sangat khawatir dengan apa yang terjadi di sana."
Bruttin menekankan bahwa masyarakat internasional memiliki tanggung jawab penting dalam memberikan tekanan kepada Israel dan militernya untuk mengubah kebijakan mereka.
Dia juga menunjukkan kurangnya niat Israel untuk melindungi jurnalis.
"Bukan hanya mereka tidak mampu melindungi jurnalis, tetapi kami juga punya alasan kuat untuk percaya bahwa dari sekitar 140 jurnalis yang terbunuh, sebagian besar dibunuh dengan sengaja, dan menjadi sasaran," kata Bruttin.
"Sebelumnya kami mendapat tanggapan yang tidak memuaskan dari pasukan pertahanan Israel, tetapi mereka tetap berusaha berpura-pura bahwa mereka mematuhi standar internasional dalam hal perlindungan pers.
"Hari ini, sekarang mereka benar-benar berbohong dan berusaha menggambarkan jurnalis di Gaza sebagai teroris," sebut Bruttin.
Menurutnya membungkam jurnalis di Gaza akan sangat menghambat pelaporan konflik tersebut.
Selain itu jurnalis di Gaza lelah harus berjuang dengan terbatasnya air, makanan, dan listrik.
Meskipun ada bahaya-bahaya ini, para wartawan terus melaporkan konflik tersebut, kata Bruttin, seraya menambahkan, "Dalam kurun waktu yang begitu singkat, saya kira ini belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, kita telah melihat perang-perang di awal abad ke-21 yang juga sangat keras dan brutal.
"Maksud saya, perang di Irak telah menjadi mimpi buruk bagi para jurnalis dan ratusan jurnalis telah terbunuh di sana. Jadi, kami menyadari sifat khusus konflik di Gaza."