Jaksa Nilai Pleidoi Harvey Moeis Penuh Sensasi

Pleidoi atau nota pembelaan Harvey Moeis dinilai jaksa minim substansi.

Republika/Prayogi
Terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022 Harvey Moeis usai menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (9/12/2024). Jaksa Penuntut Umum menuntut Harvey Moeis dengan hukuman 12 tahun penjara, denda Rp1 miliar subsider satu tahun kurungan serta membayar uang pengganti senilai Rp210 miliar.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) Ardito Muwardi menilai nota pembelaan (pleidoi) yang dibacakan terdakwa Harvey Moeis pada persidangan Rabu (18/12/2024) sangat minim substansi dan penuh sensasi serta ilusi Harvey. 

Apalagi, kata JPU, sejak awal sampai akhir persidangan tidak sedikit pun terdapat ungkapan penyesalan yang terucap dari Harvey karena telah terlibat dan menjadi bagian dari tindak pidana korupsi dalam perkara timah.

"Malah terdakwa selalu memposisikan dirinya sebagai victim atau korban dari tindak pidana korupsi yang terjadi," kata JPU dalam sidang pembacaan tanggapan atas pleidoi (replik) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (19/12/2024).

Lebih dari itu, sambung JPU, Harvey selalu mendalilkan dirinya bagaikan seorang pahlawan kemanusiaan bagi masyarakat sekitar, di antaranya dengan menyumbang Rp15 miliar untuk pembangunan ruang ICU di sebuah rumah sakit pemerintah, yang tidak ada bukti penyerahan atau penerimaan uangnya.

Selain itu, JPU menambahkan, terdapat alasan Harvey lainnya seperti membantu biaya kelahiran seorang anak yang sedang kesulitan biaya dengan tidak ada bukti penyerahan uang serta memberikan sumbangan berupa peralatan COVID-19 untuk masyarakat luas dengan tidak ada bukti pembelian atau penyerahan peralatan tersebut.

Berbagai dalil itu, menurut JPU, seakan memberikan kesan bahwa Harvey merupakan seorang pahlawan kemanusiaan yang sangat dermawan. Tetapi, kata JPU, sayangnya semua klaim terdakwa tersebut minim alat bukti dan di persidangan hanya diterangkan oleh saksi a de charge (saksi meringankan) yang sangat diragukan keterangan dan kredibilitasnya.

"Dengan begitu klaim sepihak terdakwa tersebut bukan saja tidak dapat diyakini kebenarannya, namun terkesan sangat mengada-ngada," ucap dia.

Dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. pada tahun 2015–2022, Harvey selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin dituntut untuk dijatuhkan pidana penjara selama 12 tahun. Tak hanya pidana penjara, suami selebritas Sandra Dewi itu turut dituntut pidana denda sejumlah Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama satu tahun.

Harvey juga dituntut agar dikenakan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp210 miliar subsider pidana penjara selama enam tahun. Atas perbuatannya, Harvey dinilai telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jo. Pasal 55 ke-1 KUHP, sebagaimana dalam dakwaan kesatu primer.

Dalam kasus tersebut, Harvey didakwa menerima uang Rp420 miliar bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim dan melakukan TPPU dengan membeli berbagai barang mewah.

Baca Juga


 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler