Warisan Emas Suku Sasak: Tradisi Bau Nyale

Apakah teman-teman pernah menangkap cacing? Biasanya, cacing bersembunyi di celah-celah lumpur yang becek. Ketika menangkapnya, tentu kita akan dimarahi Ibu karena membuat baju kotor. Namun, tahukah teman-teman, bahwa di Provinsi Nusa Tenggara Barat,

retizen /Nasya Ashfiatu
.
Rep: Nasya Ashfiatu Red: Retizen

Apakah teman-teman pernah menangkap cacing? Biasanya, cacing bersembunyi di celah-celah lumpur yang becek. Ketika menangkapnya, tentu kita akan dimarahi Ibu karena membuat baju kotor. Namun, tahukah teman-teman, bahwa di Provinsi Nusa Tenggara Barat, tepatnya Lombok, ada tradisi menangkap cacing bernama Bau Nyale. Menurut bahasa sasak, bau artinya menangkap, sedangkan nyale bermakna cacing. Tradisi adat ini diadakan pada bulan 10 tanggal 20 dalam kalender tradisional suku Sasak. Sementara menurut penanggalan masehi, tanggal tersebut jatuh antara bulan Februari dan Maret, tepat 5 hari setelah bulan purnama.


Rangkaian tradisi adat ini dimulai sejak matahari terbit. Diawali dengan pertemuan para tetua adat yang disebut dengan Sangkep Wariga, dilanjut dengan pembacaan lontar oleh tetua adat. Begitu matahari tenggelam dan air laut surut, para warga akan berkumpul di pesisir selatan dan mulai berburu di bawah sinar bulan. Yang unik adalah, wujud nyale yang berwarna-warni layaknya karet gelang. Ada yang berwarna hijau, cokelat, maupun merah. Keragaman cacing-cacing ini merupakan salah satu daya tarik dari Bau Nyale. Tradisi ini selalu meriah setiap tahunnya. Segala kalangan usia tidak mau ketinggalan, mulai dari anak kecil hingga yang sudah lanjut usia. Berbekal senter dan jaring, para warga terus berburu hingga dini hari. Tujuan menangkap nyale pun beragam. Ada yang membuang bekas nyale di sawah agar hasil panen lancar, ada pula yang dibawa untuk dikonsumsi, atau sekedar melestarikan tradisi. Bahkan dalam kasus ekstrem, beberapa warga memakan cacing langsung di tempat.

Konon, kemunculan nyale berasal dari kisah Putri Mandalika, seorang putri tunggal dari Kerajaan Lombok yang terkenal akan kecantikannya. Paras tuan putri telah tersohor hingga kerajaan seberang. Sampai suatu hari, dikisahkan ada dua orang pangeran yang bersaing guna meminang Putri Mandalika. Perselisihan dua pangeran ini memicu peperangan dan jatuhnya korban. Didasari oleh rasa cinta terhadap rakyatnya, Putri Mandalika memutuskan tidak memilih seorang pun di antara kedua pangeran tersebut dengan cara terjun ke laut. Tubuh sang putri tidak ditemukan. Sebaliknya, muncul ribuan cacing berwarna-warni yang kini dipercaya sebagai perwujudan Putri Mandalika.

Dari pemaparan singkat saja, pasti teman-teman sudah bisa membayangkan asyiknya Tradisi Bau Nyale, kan? Sejak rangkaian pertama hingga akhir, ternyata tradisi ini sarat akan makna mendalam bagi budaya Lombok, khususnya suku Sasak. Keseruan berburu nyale ini dapat dirasakan semalam saja. Para peneliti menemukan fakta menarik, yakni nyale hanya muncul satu tahun sekali ketika hari beranjak malam. Begitu matahari terbit, secara ajaib cacing-cacing ini raib begitu saja. Bagaimana? Apakah teman-teman tertarik untuk ikut menangkap nyale?

sumber : https://retizen.id/posts/497555/warisan-emas-suku-sasak-tradisi-bau-nyale
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler