Mau Dapat Keringanan Saat Traveling? Berikut Persyaratan Musafir dalam Islam

Ada dua syarat utama seseorang bisa disebut sebagai musafir.

Pixabay
Traveling (Ilustrasi)
Rep: MgRol153 Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, Momentum libur natal dan tahun baru (Nataru) sering dimanfaatkan oleh keluarga Muslim di Indonesia untuk pulang kampung atau liburan ke luar kota. Di dalam Islam, terdapat keringanan bagi mereka yang sedang dalam perjalanan atau lazim disebut musafir. Mereka bisa mengumpulkan shalat dalam satu waktu bahkan meringkas jumlah rakaatnya, seperti yang dipraktikkan dalam sholat jamak qashar.

Baca Juga


Musafir merupakan istilah yang sering digunakan dalam konteks perjalanan jauh, khususnya dalam pembahasan hukum Islam. Dalam buku Fiqih Safar karya Ahmad Sarwat,Lc.MA terdapat batasan seseorang disebut musafir memiliki kriteria yang jelas menurut para ahli fiqih.

Secara bahasa, musafir berasal dari kata safar (سفر) yang berarti perjalanan atau menempuh jarak tertentu. Lawan kata dari safar adalah hadar (حضر), yaitu berada di suatu tempat tanpa melakukan perjalanan jauh.

Menurut istilah para ahli fiqih, musafir didefinisikan sebagai seseorang yang keluar dari wilayah tempat tinggalnya (wathan) menuju ke suatu tempat dengan tujuan tertentu, serta menempuh jarak yang telah ditentukan dalam pandangan ulama.

Dua syarat utama yang harus dipenuhi untuk menyebut seseorang sebagai musafir adalah, pertama yaitu keluar dari wathan (tempat tinggal).

Seseorang harus meninggalkan wilayah tempat tinggalnya untuk dapat disebut sebagai musafir. Selama seseorang masih berada di dalam rumah atau wilayah tempat tinggalnya, ia tidak bisa dianggap sebagai musafir.

Kedua, dia harus memiliki niat untuk menempuh perjalanan jauh. Selain meninggalkan tempat tinggal, seseorang juga harus memiliki niat untuk melakukan perjalanan menuju lokasi tertentu dengan jarak minimal yang telah ditentukan. Jika seseorang hanya keluar dari wilayah tempat tinggalnya tanpa niat perjalanan jauh, maka ia tidak termasuk kategori musafir.

 

 

Para ulama memiliki perbedaan pendapat terkait jarak minimal perjalanan yang disebut safar. Namun, keduanya keluar dari wathan dan niat perjalanan merupakan syarat yang harus terpenuhi secara bersamaan.  

Sementara itu, aa beberapa syarat diperbolehkannya Jamak Qashar, yaitu perjalannya minimal sejauh 80,64 kilometer (Lihat Al-Kurdi, Tanwirul Quluub, Thoha Putra, juz I hal 172). Kedua, perjalanan tidak bertujuan maksiat.
 
Syarat ketiga, statusnya sebagai musafir tetap berlaku atau belum kembali ke tempat tinggal (mukim). Keempat, tidak bermakmum pada orang (imam) yang tidak sedang melakukan perjalanan (musafir). 
 
Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai durasi maksimal seseorang dianggap musafir dan bisa melaksanakan sholat Jamak Qashar. Menurut Madzhab Hanafi, jika berniat tinggal lebih dari 15 hari di suatu tempat, maka status musafir hilang, dan ia harus sholat seperti biasa (tanpa jamak/qashar).  
 
Sedangkan dalam pandangan Madzhab Syafi’i dan Hanbali, jika berniat tinggal lebih dari empat hari (bukan termasuk hari kedatangan dan keberangkatan), status musafir hilang.  
 
Sementara itu, Madzhab Maliki berpendapat bahwa maksimal empat hari (dengan hari kedatangan dan keberangkatan dihitung). Jika lebih dari itu, maka  habislah masa keringanan baginya untuk mengqashar dan menjamak shalat.
 
Empat kondisi sholat yang membuat doa cepat terkabul - (Republika)
 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler