Jejak Jimmy Carter di Pemilu Indonesia

Carter mengawasi Pemilu 1999 dan Pilpres 2004.

AP
Mantan Presiden AS Jimmy Carter.
Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dibandingkan mantan presiden Amerika Serikat (AS) lainnya, bisa jadi Jimmy Carter yang paling berpengaruh dalam perjalanan bangsa Indonesia terkini. Pada masa-masa peralihan dari Orde Baru ke Reformasi, tokoh yang wafat pada Ahad di AS itu ‘mengawal’ ketat pemilihan umum.

Baca Juga


Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 1999, Carter secara langsung menyambangi Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada April tahun itu. Menurut Andi Mallarangeng yang saat itu seorang anggota KPU, Carter akan menanyakan sejauh mana kesiapan KPU dalam mempersiapkan pelaksanaan pemilu. ''Carter mungkin juga akan menanyakan masalah juklak yang akan dikeluarkan, peraturan kampanye serta pemantau asing yang tentunya akan mengawasi pelaksanaan pemilu,'' katanya dilansir Republika saat itu.

Awalnya dijadwalkan pertemuan dengan seluruh anggota KPU, namun tak semua anggota KPU boleh berbicara langsung dengan Carter. ''Tapi entah kenapa seusai rapat pleno tiba-tiba diumumkan bahwa yang bisa berdialog dengan Carter hanyalah ketua KPU, wakil KPU, ketua PPI, dan sekum KPU,'' katanya. 

Kedatangan Carter saat itu memang diundang. Baik anggota KPU, tokoh masyarakat, maupun Presiden BJ Habibie, berharap Carter mau datang untuk membantu mewujudkan pemilu yang jurdil. 

Carter lewat yayasannya The Carter Center selain dikenal 'sinterklas' -- yang suka membagi-bagi uang untuk berbagai program kemanusiaan dan kesehatan -- juga dikenal sering membantu penegakan demokrasi dan hak asasi manusia. 


Ia mendirikan Carter Center yang berbasis di kota Atlanta, AS, bersama istrinya Rosalynn, setelah ia pensiun dari kursi kepresidenan yang ia duduki dari tahun 1977-1981. ''Mulanya, banyak orang datang ke saya minta bantuan menyelesaikan berbagai persoalan seperti sengketa di Rwanda,'' jelas Carter dalam sambutannya yang dipasang di homepage-nya. Setiap tahun yayasan Carter Center punya anggaran 26,7 juta dolar AS (senilai Rp 235 miliar per tahun).

Khusus untuk urusan penegakan demokrasi, mantan presiden yang telah menulis sepuluh buku itu, telah memantau pemilu di sejumlah negara, antara lain Nicaragua, Haiti, Zambia, Ghana, Guyana, dan Paraguay. 

Dalam kunjungannya ke Indonesia, Jimmy Carter menyatakan terkesan atas berbagai persiapan masyarakat menjelang pemilu. Indonesia telah memperlihatkan segala sesuatunya dengan baik bagi kelancaran pesta demokrasi ini. ''Tetapi saya tetap berharap, hari pemungutan suara berlangsung transparan dan demokratis,'' tegas Carter seusai bertemu dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta kemarin.

''Dalam pertemuan dengan KPU, saya juga telah mendapat berbagai keterangan dan penjelasan mengenai semua masalah teknis pada hari pencoblosan,'' kata Carter yang kala itu menjabat direktur National Democratic Institute (NDI), sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang sosial dan politik, termasuk pemantauan pemilu.

Sebelum ke KPU, Carter juga menghadiri jamuan makan siang dan pertemuan informal dengan Presiden Habibie di Istana Merdeka. Sekretaris DPKSH Jimmly Asshidiqi yang ikut hadir dalam jamuan itu mengatakan yang pasti Habibie dan Carter tak membahas soal pemungutan suara. ''Ini kan hanya makan siang biasa,'' ujar Jimly.


Dalam pembicaraan dengan KPU, Carter secara khusus mengungkapkan rasa puasnya dengan persiapan pemilu yang dilakukan di wilayah Aceh dan Timor-Timur (Timtim). Ia mengatakan pihaknya telah terlibat di dalam pemilu di beberapa negara yang memiliki persoalan lebih kompleks dari Indonesia. Saat itu Carter juga berbicara secara terpisah dengan Ketua Umum PAN Amien Rais dan Ketua Umum PDI-P Megawati, di Hotel Borobudur.

Ketika dicegat wartawan, Mega menolak memberikan keterangan secara rinci tentang isi pembicaraannya dengan Carter. ''Banyak hal tentunya, agar proses pemilihan berjalan seperti yang diinginkan oleh kita semua, yaitu pemilu yang jurdil dan demokratis,'' katanya. Beda dengan Mega, Amien mencoba memberikan informasi secara detail pada wartawan. Menurut Amien, Carter didampingi pengawas pemilu dari Afsel dan Korsel. Ia memaparkan beberapa hal yang ia bicarakan dengan Carter menyangkut money politics.

Carter, ujar Amien, menjelaskan bahwa pemerintah yang berkuasa cenderung menggunakan kelebihannya dalam menggunakan uang untuk memenangkan partai berkuasa. Dan, itu terjadi terutama di negara-negara berkembang. ''Kata Carter, kalau itu dilakukan secara masuk akal dan tidak eksesif, itu terjadi di mana-mana,'' papar mantan Ketua PP Muhammadiyah itu.

''Saya katakan, mohon Pak Carter jangan memberikan komentar yang serba positif dulu karena Pak Carter mungkin tak mengetahui bahwa di Sulawesi Golkar secara besar-besaran menggunakan politik suap,'' ungkap Amien. ''Saya katakan minta maaf kalau ini saya katakan secara terbuka.'' Atas peringatan itu, kata Amien, Carter mengucapkan terima kasih. ''Memang saya perlu masukan dari orang seperti Anda,'' kata Carter seperti yang ditirukan Amien.

Carter juga menanyakan jika Amien menjadi presiden, apakah akan mengajak tokoh-tokoh lain untuk mengatur negara? ''Tentu. Tak mungkin saya sendirian. Saya percaya kepada kepemimpinan kolektif. Saya percaya masih banyak anak bangsa lain yang bisa bekerja sama dengan saya untuk memajukan Indonesia,'' jawab Amien.

Hal lain yang ditanyakan Carter, apakah di masa depan federalisme dalam arti desentralisasi kekuasaan dan pembagian kekayaan merupakan pilihan. ''Jawabnya ya, itu suatu pilihan. Karena itu, kita sedang mendiskusikan secara proporsional mengenai positif dan negatifnya federalisme maupun kesatuan,'' ujar Amien. Salah satunya mendiskusikan provinsi yang kaya minyak, hutan, dan lain-lain diberi kesempatan untuk menikmati hasilnya, bukan cuma ditentukan oleh pemerintah pusat. 

Terkait Pemilu 1999, Carter kemudian memberikan stempel bahwa pemilu Indonesia kala itu demokratis.

 

Tak hanya pada 1999, Jimmy Carter juga memantau pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) pada 5 Juli 1999. Dia akan memimpin 60 pemantau internasional, yang tergabung dalam The Carter Center (TCC), lembaga yang dipimpinnya. ''Suatu kehormatan bagi kami karena mendapat kesempatan mengamati pelaksanaan pemilu di Indonesia. Sebelumnya saya telah melihat pelaksanaan pemilu 1999 dan menyaksikan pengalaman menarik demokrasi di Indonesia,'' kata Carter, saat itu.

TCC saat itu  lembaga  yang telah berpartisipasi dalam pelaksanaan pemilu di lebih dari 50 negara di dunia. ''Kami hanya mendatangi negara-negara bermasalah, dan berharap pemilu dapat terlaksana dengan aman dan berhasil baik,'' kata Carter.

Seperti pada 1999, Carter juga memberikan stempel “demokratis” pada Pemilu 2004. Ia menyoroti keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) pada pemilu kala itu. MK mendapatkan perhatian keduanya terutama karena MK menjadi tempat penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum. 

Lembaga serupa tidak ada di AS. Ketua MK saat itu, Jimly Asshiddiqie menuturkan, Carter juga bertanya tentang apa saja yang telah dilakukan MK saat menangani kasus sengketa pemilu legislatif lalu. ''Di Amerika, jika terjadi sengketa atas hasil pemilihan umum mekanis penyelesaiannya melalui pengadilan biasa saja,'' ujar Ketua MK Jimly Asshiddiqie usai menerima Carter di gedung MK pada 2004.

Carter wafat tepat pada tahun Indonesia melakukan pemilu “demokratis” keenamnya. Politik uang yang ia khawatirkan pada pergantian milenium masih tergolong marak. Mahkamah Konstitusi, lembaga yang demikian ia kagumi saat itu, justru jadi salah satu yang paling dikritik pada pemilu kali ini.

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal capres dan cawapres pada Senin (16/10/2023). - (Republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler