Jimmy Carter dan Derita Palestina

Jimmy Carter yang wafat kemarin salah satu tokoh AS yang kritis terhadap Israel.

AP Photo/Bob Daugherty
Presiden Mesir Anwar Sadat, Presiden AS Jimmy Carter, dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin saat menyelesaikan penandatanganan perjanjian damai Mesir-Israel di Washington pada 26 Maret 1979.
Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Mantan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter, meninggal dalam usia 100 tahun pada Ahad waktu AS. Ia salah satu presiden AS yang pemikirannya soal penjajahan Israel jadi sorotan dan rujukan. Putranya, Chip Carter membenarkan bahwa mantan presiden tersebut meninggal di rumahnya di Plains, Georgia sekitar pukul 15.45 waktu AS. 

Baca Juga


Pada 2006, Carter menuliskan buku berjudul Palestine: Peace not Apartheid. Buku itu meledak dan memicu kemarahan kelompok pro-Isral. Bukan hal yang awam, seorang mantan presiden AS sedemikian kencang mengkritisi Israel. Mantan ketua umum PP Muhammadiyah Buya Ahmad Syafii Maarif (1935-2022) sempat menuliskan pandangannya soal langkah Carter tersebut di Republika pada 2007. Berikut tulisannya.

Tentu akan lebih besar pengaruhnya, jika Jimmy Carter membongkar brutalitas dan kekejaman Israel terhadap warga Palestina dilakukan selagi ia mukim di Gedung Putih sebagai Presiden Amerika Serikat. Sekiranya itu terjadi, tidak mustahil Palestina telah mendapatkan kemerdekaan penuh dari penjajahan Israel. Tetapi, hormat kita tidak akan berkurang kepada Carter karena keberaniannya mengungkap kekejaman Negara Zionis ini atas rakyat Palestina yang telah puluhan tahun menyabung nyawa demi kemerdekaan tanah air yang telah dirampas sejak Mei 1948, pertengahan abad ke-20 yang lalu. Barangkali Carterlah presiden pertama Amerika yang mengkritik dengan nada keras cara-cara Israel menginjak-injak hak-hak kemerdekaan sebuah bangsa.

Sekarang kita sudah berada di abad lain, memang ada sedikit kemajuan. Sudah terbentuk pemerintahan Otoritas Palestina, semacam self-government, dengan kekuasaan yang serba terbatas, tetapi sayangnya sering ribut antara faksi Fatah dan Hamas. Palestina sebagai bagian Dunia Arab punya penyakit mental yang serupa: Jika ada dua orang Arab yang sedang berjalan, tiga yang ingin jadi pemimpin. Iklim semacam ini sangat melelahkan dan menyulitkan proses pembentukan sebuah pemerintahan. Hamas sebagai penguasa baru adalah kelompok yang sangat anti-Israel karena di mata mereka Israel tidak pernah dapat dipercaya dalam melaksanakan isi-isi perjanjian yang telah disepakati. Fatah dinilai terlalu lemah.

Kembali kepada Carter. Saya sendiri belum baca karya Carter yang berjudul Palestine: Peace not Apartheid, tapi baru sarinya dari tulisan wartawan Didi Prambadi pada mingguan Gatra, 4 April 2007, hlm 47-53 dan 56-57. Carter bersama istrinya, Roselyn, telah melakukan pembicaraan mendalam dengan warga Palestina untuk mengetahui reaksi mereka terhadap pendudukan militer dan politik Israel yang berkepanjangan di samping ingin mendengar apa usul mereka untuk perdamaian dengan Israel. Kita kutip: ''Di Tepi Barat dan Gaza, kami meluangkan waktu sebanyak mungkin dengan para warga Palestina dari berbagai kelompok besar maupun kecil, dan juga para penduduk di pedalaman. Di antara mereka, yang paling pandai mengungkapkan pendapat adalah para pengacara yang aktif membela hak-hak para tetangga mereka di pengadilan militer Israel. Beberapa kalangan lainnya adalah para dosen dan dari kalangan petani serta warga desa .... Sebagian besar warga Palestina adalah Muslim, dan yang paling mengejutkan, banyak pula warga Kristen. Saya sempat berbicara dengan para pendeta dan pastor tentang kegiatan keagamaan mereka.'' (Hlm 50).

Apa yang dirasakan para pendeta dan pastor ini? ''Mereka terganggu oleh kekerasan yang terjadi di sekitarnya. Tekanan politik ekonomi yang dilakukan pemimpin Israel, yang mewakili kelompok agama Yahudi konservatif, yang ternyata mendapat banyak kebebasan mengendalikan semua bentuk kegiatan ibadah mereka.'' (Ibid). Memang, kelompok konservatif di manapun biasanya pendek akal dan pemonopoli kebenaran, seolah-olah mereka pemegang mandat dari Tuhan. Pemimpin Israel yang keras kepala adalah ujung tombak politik dari kelompok ini. Mereka pasti mencari dalil-dalil agama untuk menunjukkan bahwa orang Yahudilah pemilik sah dari seluruh tanah Palestina. Mereka ingin membingkai petanya sendiri dengan tidak menghiraukan penderitaan manusia lain dan tidak mau tahu dengan hukum internasional.

Carter mengutip laporan B'Tlesem, sebuah badan hak asasi manusia Israel yang menggambarkan apa yang terjadi sebenarnya atas rakyat Palestina: ''Kebijakan Israel melakukan penghancuran atas tempat tinggal warga Palestina merupakan pelanggaran hukum kemanusiaan internasional yang memprihatinkan. Karena itu, tindakan itu bisa disebut kejahatan perang, melalui berbagai cara pemutarbalikan hukum. Pengadilan Tinggi Israel menghindari penyelidikan hukum atas kasus-kasus tersebut, dan menjadi tukang stempel atas kebijakan ilegal Israel.'' (Hlm 52). Laporan yang dikutip Carter ini penting untuk dicatat karena berasal dari kelompok pembela hak asasi manusia warga Israel sendiri. Dengan fakta ini orang harus berhati-hati, sebab ternyata masih ada warga Israel yang punya hati nurani dan keberanian, seperti yang ditunjukkan oleh B'Tlesem di atas.

Akibat pembongkaran Carter atas kekejaman Israel terhadap rakyat Palestina, sejumlah 14 orang tokoh penting Amerika berdarah Yahudi yang menjadi penasihat Carter Center mengundurkan diri sebagai protes pada mantan presiden Amerika itu. Pada 11 Januari 2007, ke-14 penasihat itu menulis pernyataan keras, yang alinea terakhir berbunyi: ''Kami tidak bersedia lagi mendukung sikap dan posisi Anda. Ini bukan lagi Carter Center atau Jimmy Carter yang dulu kami kagumi dan hargai. Karena itu, dengan sangat menyesal, kami mengundurkan diri dari posisi Dewan Penasihat Carter Center terhitung hari ini.'' (Hlm 57). Terhadap protes ini, Carter bersikap biasa sambil mengatakan: ''Baru pertama kali ini saya dicap sebagai anti-Yahudi, pembohong, dan anti-Semit.'' (Hlm 56).

Komentar saya adalah: Pasti akan semakin banyak elite Amerika yang mengikuti langkah Carter yang berani itu. Kebenaran tidak mungkin dibenam di bawah abu sejarah selama-lamanya; kepalsuan dan kebusukan pasti pada saatnya akan dikuliti orang dengan penuh keberanian dan kejujuran, apapun risikonya. Selamat, Pak Carter!

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler