Rencana Mengerikan Militer Israel untuk Gaza Terbongkar, Begini Laporan Media
Israel berjanji hancurkan peradaban di Jalur Gaza
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA— Sebuah investigasi yang diterbitkan oleh surat kabar Israel, Haaretz, pada hari Selasa (31/12/2024) mengungkapkan bahwa komandan Divisi 252 tentara Israel, Yehuda Fach, melakukan operasi di Jalur Gaza sendirian, dan mengizinkan saudaranya membentuk pasukan khusus untuk melakukan penghancuran dan sabotase di luar wewenang tentara.
Dilansir Aljazeera, Rabu (1/1/2025), Surat kabar tersebut mengutip seorang perwira Israel yang mengatakan bahwa Fach mengizinkan salah satu saudaranya untuk membentuk pasukan khusus yang terdiri dari tentara dan warga sipil yang mirip dengan pemukim "pemuda puncak bukit" untuk beroperasi di Gaza.
Perwira tersebut menjelaskan bahwa tujuan pasukan ini adalah untuk menyabotase Gaza dan menghancurkan sebanyak mungkin bangunan, mengindikasikan bahwa Fakh memanfaatkan saudara-saudaranya dan memberikan mereka "perlakuan khusus" dan mengizinkan mereka memasuki poros Netzarim - selatan Kota Gaza - tanpa pertanyaan atau registrasi nama.
Proyek Fakh
Surat kabar tersebut juga mengutip para perwira Israel yang mengatakan bahwa Fakh mengatakan kepada mereka bahwa ia bertujuan untuk memindahkan secara paksa 250 ribu warga Palestina dari rumah mereka di Jalur Gaza utara, dan mengatakan bahwa "warga Palestina hanya belajar dengan kehilangan tanah."
Komandan unit tentara Israel mengatakan kepada Haaretz bahwa pasukan yang dibentuk oleh saudara laki-laki dari komandan Divisi 252 menghancurkan bangunan di Jalur Gaza dan tidak dikenal di kalangan tentara.
Surat kabar itu juga mengutip tentara yang mengatakan bahwa Divisi 252 melakukan penghancuran besar-besaran di lingkungan Netzarim pada Agustus lalu "karena subjektivitas".
Para tentara menyatakan bahwa Yehuda Fach memerintahkan penghancuran dan pembongkaran bangunan-bangunan di Netzarim, "bahkan bangunan yang tidak memiliki keuntungan operasional".
Seorang tentara mengatakan bahwa anggota pasukan Bach mengatakan kepada mereka bahwa tujuan mereka adalah menghancurkan 60 bangunan di Gaza setiap hari sehingga tidak ada yang akan kembali.
Tentara tersebut menggambarkan anggota pasukannya sebagai "sangat religius dan beracun, dan mereka merasa bahwa mereka berada dalam misi yang gila dan terhormat".
Rencana para jenderal
Salah satu perwira mengatakan bahwa Fach berbicara tentang pemindahan semua penduduk Gaza utara ke selatan, dan bahwa ia berusaha untuk melaksanakan "rencana para jenderal" sendirian.
BACA JUGA: Mengapa Tentara Suriah Enggan Bertempur Mati-matian Bela Assad?
"Fakh mencari citra kemenangan untuk dirinya sendiri, dan mengatakan bahwa kemenangan divisi akan tercapai ketika mereka menyelesaikan misinya untuk memindahkan penduduk Gaza utara," tambah perwira tersebut.
Sumber yang sama mengatakan bahwa ini adalah "perang pertama di mana setiap orang bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan di lapangan".
Sementara itu, kelompok perlawanan Palestina Hamas pada Rabu (25/12/2024) menyatakan bahwa kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan di Jalur Gaza kembali tertunda karena Israel terus memberi syarat-syarat baru.
Dalam pernyataan singkatnya, Hamas menyoroti sikap bertanggung jawab dan fleksibel yang telah mereka tunjukkan selama negosiasi gencatan senjata dan pertukaran tahanan di Doha melalui mediasi oleh Qatar dan Mesir.
"Namun, penjajah (Israel) terus memberi syarat-syarat baru terkait penarikan mundur pasukan, gencatan senjata, pertukaran tahanan, dan pemulangan pengungsi, sehingga menunda tercapainya kesepakatan," demikian pernyataan Hamas.
Hingga saat ini, belum ada respons dari pihak Israel terkait pernyataan Hamas tersebut.
Pemimpin otoritas Israel Benjamin Netanyahu pada Selasa (24/11) mengatakan bahwa tim perunding dari Israel akan kembali dari Qatar untuk membahas usulan pertukaran tahanan dengan Hamas.
Namun, sejumlah pengamat memandang pernyataan Netanyahu tersebut menunjukkan upayanya menunda-nunda negosiasi.
Seusai gencatan senjata singkat pada akhir November 2023, pemimpin rezim Zionis itu telah beberapa kali mengklaim ada kemajuan dalam perundingan gencatan senjata dan pertukaran tahanan, namun kemudian justru bersikeras melanjutkan agresi di Jalur Gaza.
Israel diyakini menahan lebih dari 10.300 warga Palestina, sementara jumlah sandera Israel di Gaza saat ini diperkirakan hanya tersisa seratusan orang.
BACA JUGA: Mengejutkan, Al-Julani Sebut Hayat Tahrir Al-Sham Suriah tak akan Perang Lawan Israel
Hamas menyebut bahwa puluhan sandera Israel di Gaza terbunuh oleh serangan Israel sendiri yang dilakukan secara membabi buta.
"Kesenjangan antara Israel dan Hamas tak signifikan sehingga membantu kesepakatan tercapai antara mereka," demikian menurut harian Israel, Yedioth Ahronoth, pada Selasa.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pesimistis terhadap situasi di Jalur Gaza dengan mengatakan semua upayanya mempertahankan sistem kesehatan di wilayah kantong Palestina itu telah sia-sia akibat pemboman dan penembakan Israel terhadap fasilitas kesehatan di sana.
Juru Bicara WHO, Margaret Harris menyampaikan pesimisme badan PBB tersebut pada Ahad (29/12/2024) malam, dua hari setelah terjadinya kejahatan baru rezim Zionis yang membakar Rumah Sakit Kamal Adwan di Gaza utara.
Menurut IRNA, mengutip Palestina Al-Youm, Harris mengatakan bahwa tim WHO akan segera dikirim untuk menilai kebutuhan mendesak di Gaza dan mengidentifikasi kekurangan peralatan rumah sakit.
"Setiap serangan terhadap rumah sakit, staf medis, dan pasien tidak dapat diterima dan harus dikutuk," katanya.
WHO juga menyatakan bahwa serangan Israel terhadap Rumah Sakit Kamal Adwan telah melumpuhkan "fasilitas kesehatan utama terakhir" di Jalur Gaza utara.
Organisasi PBB itu juga menyerukan agar situasi yang mengerikan itu dihentikan.
Laporan awal menunjukkan bahwa beberapa fasilitas penting di RS tersebut rusak parah akibat kebakaran dan penghancuran selama serangan.
Di platform X pada Jumat (27/12/2024), WHO mengatakan bahwa 60 tenaga kesehatan dan 25 pasien kritis, termasuk yang menggunakan ventilator, dilaporkan masih berada di RS itu.
Pasien dengan kondisi sedang hingga berat dipaksa dipindahkan ke RS Indonesia yang sudah hancur dan tidak lagi berfungsi."WHO sangat mengkhawatirkan keselamatan mereka," kata organisasi itu.
Menurut WHO, serangan terhadap RS Kamal Adwan terjadi setelah Israel menerapkan pembatasan akses lebih ketat bagi WHO dan para mitranya, serta serangan terus menerus terhadap RS itu sejak awal Oktober.
Serangan-serangan itu menghentikan semua upaya dan bantuan agar fasilitas kesehatan itu tetap berfungsi secara minimal.
"Penghancuran sistem kesehatan secara sistematis di Gaza adalah hukuman mati bagi puluhan ribu warga Palestina yang membutuhkan perawatan medis," kata WHO.
"Kengerian ini harus dihentikan dan layanan kesehatan harus dilindungi. Gencatan senjata sekarang!"
Sebanyak 50 orang warga Palestina, termasuk lima staf medis, gugur setelah pasukan Zionis membakar rumah sakit tersebut pekan lalu. Aksi biadab Israel itu memicu kecaman internasional.
Kementerian Kesehatan Palestina di Jalur Gaza mengumumkan bahwa pasukan Zionis mengepung rumah sakit tersebut sebelum membakarnya.
Sementara itu, gerakan perlawanan Hamas menyebutnya sebagai tindakan kejahatan perang yang dilakukan di bawah bayang-bayang ketidakpedulian masyarakat internasional dan keterlibatan penuh Amerika Serikat dengan rezim penjajah.
Hamas membantah klaim Israel bahwa para pejuang Hamas berada di dalam sebuah rumah sakit yang diserbu pasukan Israel di Jalur Gaza utara.
Tentara Israel menyerbu RS Kamal Adwan di Beit Lahia pada Jumat, membakar sebagian besar bangunan, dan mengeluarkan secara paksa pasien dan warga yang mengungsi di sana.
Israel berdalih bahwa penyerbuan itu dilakukan untuk melenyapkan pejuang Hamas yang berada di dalam RS itu.
"Kami dengan tegas membantah keberadaan para pejuang perlawanan di RS itu, yang terbuka bagi semua orang, termasuk badan internasional dan PBB," kata Hamas dalam pernyataannya.
Kelompok itu menyatakan bahwa klaim Israel bertujuan "membenarkan kejahatan keji oleh tentara pendudukan dengan mengevakuasi dan membakar seluruh bagian rumah sakit sebagai bagian dari genosida dan pengusiran paksa."
Hamas mendesak PBB untuk membentuk panel untuk menyelidiki kejahatan Israel di Gaza utara "yang sedang menyaksikan rencana pemusnahan dan pengusiran terencana."
Israel melancarkan serangan darat besar-besaran di Gaza utara sejak 5 Oktober dengan dalih mencegah kelompok perlawanan Palestina, Hamas, menggalang kekuatan lagi.
Namun, warga Palestina menuduh Israel berupaya merebut wilayah itu dan mengusir penduduknya.
Sejak saat itu, bantuan kemanusiaan seperti makanan, obat-obatan, dan bahan bakar tidak diizinkan masuk ke wilayah kantong Palestina itu. Kondisi tersebut membuat warga Palestina yang masih bertahan di Gaza utara terancam kelaparan.
Agresi Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 45.400 warga Palestina dan menghancurkan wilayah itu sejak 7 Oktober 2023.
BACA JUGA: Mengapa Tentara Suriah Enggan Bertempur Mati-matian Bela Assad?
Bulan lalu, Mahkamah Pidana Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pemimpin Israel Benjamin Netanyahu dan mantan menteri pertahanannya, Yoav Gallant. Mereka dituduh telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Israel juga tengah menghadapi gugatan kasus genosida di Mahkamah Internasional atas tindakannya dalam perang di wilayah kantong Palestina itu.