Gaza Utara Dibumihanguskan, Israel Bisa Kalahkan Hamas? Ini Kata Pengamat Militer
Hamas diprediksi akan tetap melakukan perlawanan tak bertepi
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Surat kabar Israel, Haaretz, telah meremehkan ekspektasi akan adanya kemajuan dalam negosiasi kesepakatan pertukaran tahanan antara Gerakan Perlawanan Islam Hamas dan Israel.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa tentara Israel kemungkinan akan memperluas serangannya ke daerah-daerah lain di Jalur Gaza utara, dengan tujuan untuk secara sistematis mengusir warga Palestina dari sana, tetapi pada saat yang sama meragukan bahwa pasukan pendudukan akan berhasil mengalahkan Hamas.
Dikutip dari Aljazeera, Rabu (1/1/2025), Amos Harel, analis militer senior surat kabar tersebut, membuka artikelnya dengan mengatakan, "Pada hari terakhir di 2024, alangkah baiknya, untuk sebuah perubahan, pemerintah mengatakan yang sebenarnya kepada publik. Meskipun ada kontak intensif dalam beberapa peka terakhir, pembicaraan tentang kesepakatan tahanan telah terhenti lagi, dan peluang untuk mencapai penyelesaian tampaknya tipis."
"Hanya intervensi dari Presiden Amerika Serikat terpilih Donald Trump yang akan mampu menarik kereta ini keluar dari lumpur pada malam pelantikannya pada tanggal 20 Januari."
Harel melukiskan gambaran suram tentang negosiasi dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia baginya, serta kelangkaan informasi yang dipublikasikan, dan berbicara tentang kesenjangan yang besar antara kedua belah pihak, yang mencerminkan kedalaman perbedaan dalam negosiasi.
"Hamas masih menuntut komitmen yang jelas terhadap penarikan Israel dari Jalur Gaza, didukung oleh peta dan jadwal yang ketat, dan juga mencari kesepakatan mengenai kriteria pembebasan ribuan tahanan Palestina dari penjara-penjara Israel dalam putaran kesepakatan di masa depan," katanya.
Israel menuntut Hamas untuk memberikan daftar lengkap dan terperinci mengenai nama-nama semua tawanan yang diculik dan kondisi mereka, baik dalam keadaan hidup maupun mati.
Dia merujuk pada informasi yang mengkonfirmasikan keinginan pemerintah Israel untuk mencapai kesepakatan parsial saja, yang menurutnya hanya tawanan yang ada dalam daftar "kemanusiaan" (wanita, orang tua, orang yang terluka dan orang sakit) yang akan dibebaskan, dan bahwa ada ketidaksepakatan mengenai definisi orang sakit dan terluka yang dapat dimasukkan dalam tahap kemanusiaan, karena setelah satu tahun dan hampir empat bulan dalam tawanan, kondisi semua tawanan menjadi sulit, dan ada kemungkinan bahwa mereka semua akan dimasukkan ke dalam daftar tersebut.
"Israel berkepentingan untuk meningkatkan jumlah sebanyak mungkin, karena penyelesaian kesepakatan tahap kedua masih diragukan, dan di sisi lain, Hamas di Jalur Gaza."
Meskipun ada upaya yang sedang berlangsung oleh para mediator regional, terutama dari Qatar dan Mesir, untuk mencapai solusi, Harel menyoroti laporan Israel yang mengindikasikan bahwa situasi para tahanan di Gaza memburuk, dan negosiasi tampaknya tidak membuat kemajuan yang nyata, sehingga meningkatkan kekhawatiran Israel tentang nasib mereka.
Bisakah Hamas dikalahkan?
Meskipun analis militer tersebut menegaskan bahwa IDF mengintensifkan tekanan di kamp pengungsi Jabalia di Gaza utara untuk menekan kepemimpinan Hamas agar membuat konsesi dalam negosiasi, ia mencatat bahwa "operasi tekanan militer belum mencapai perubahan nyata dalam situasi politik atau militer yang menguntungkan Israel."
"Operasi ini, yang keempat di kamp tersebut sejak awal perang, masih berlangsung. Hasilnya kali ini bahkan lebih dahsyat dan mematikan, dengan IDF menghancurkan sebagian besar rumah-rumah di kamp tersebut dan menewaskan lebih dari 2.000 warga Palestina, sementara para kepala keamanan terus mengklaim bahwa tekanan militer yang agak meningkat pada pekan lalu dengan perluasan operasi ke kota terdekat, Beit Hanoun, sebenarnya mendorong negosiasi menuju kesepakatan."
Namun, dia menekankan bahwa meskipun tentara Israel menyangkal bahwa mereka menerapkan "rencana para jenderal", mereka tetap melanjutkan proses penggusuran warga secara bertahap.
Harel menyimpulkan dengan bertanya, "Apakah Hamas akan dikalahkan? Dia menjawab bahwa hal itu "sangat diragukan".
"Kontrol sipil Hamas atas sebagian besar Jalur Gaza terus berlanjut, dan Hamas mengendalikan pasokan kemanusiaan, menghasilkan uang dari mereka, dan memaksakan otoritasnya pada mayoritas penduduk," katanya.
Dia juga menunjuk pada peningkatan tembakan roket dari Jalur Gaza utara, terbunuhnya sejumlah tentara dan perwira Israel dalam penyergapan perlawanan Palestina secara beruntun, dan berlanjutnya penargetan pasukan Israel di pusat-pusat Netzarim dan Philadelphia.
"Dalam situasi seperti ini, sulit untuk melihat bagaimana perang akan berakhir dalam waktu dekat," pungkasnya.
Israel mungkin akan tetap terjerat dalam lumpur Gaza selama bertahun-tahun yang akan datang, tanpa resolusi yang nyata, karena kebutuhan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk melanjutkan perang untuk mencegah pembentukan komisi penyelidikan resmi atas kegagalan 7 Oktober, dan untuk melanjutkan perjuangan untuk mengesahkan kudeta yudisial.
Sementara itu, kelompok perlawanan Palestina Hamas pada Rabu (25/12/2024) menyatakan bahwa kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan di Jalur Gaza kembali tertunda karena Israel terus memberi syarat-syarat baru.
Dalam pernyataan singkatnya, Hamas menyoroti sikap bertanggung jawab dan fleksibel yang telah mereka tunjukkan selama negosiasi gencatan senjata dan pertukaran tahanan di Doha melalui mediasi oleh Qatar dan Mesir.
"Namun, penjajah (Israel) terus memberi syarat-syarat baru terkait penarikan mundur pasukan, gencatan senjata, pertukaran tahanan, dan pemulangan pengungsi, sehingga menunda tercapainya kesepakatan," demikian pernyataan Hamas.
Hingga saat ini, belum ada respons dari pihak Israel terkait pernyataan Hamas tersebut.
Pemimpin otoritas Israel Benjamin Netanyahu pada Selasa (24/11) mengatakan bahwa tim perunding dari Israel akan kembali dari Qatar untuk membahas usulan pertukaran tahanan dengan Hamas.
Namun, sejumlah pengamat memandang pernyataan Netanyahu tersebut menunjukkan upayanya menunda-nunda negosiasi.
Seusai gencatan senjata singkat pada akhir November 2023, pemimpin rezim Zionis itu telah beberapa kali mengklaim ada kemajuan dalam perundingan gencatan senjata dan pertukaran tahanan, namun kemudian justru bersikeras melanjutkan agresi di Jalur Gaza.
Israel diyakini menahan lebih dari 10.300 warga Palestina, sementara jumlah sandera Israel di Gaza saat ini diperkirakan hanya tersisa seratusan orang.
BACA JUGA: Mengejutkan, Al-Julani Sebut Hayat Tahrir Al-Sham Suriah tak akan Perang Lawan Israel
Hamas menyebut bahwa puluhan sandera Israel di Gaza terbunuh oleh serangan Israel sendiri yang dilakukan secara membabi buta.
"Kesenjangan antara Israel dan Hamas tak signifikan sehingga membantu kesepakatan tercapai antara mereka," demikian menurut harian Israel, Yedioth Ahronoth, pada Selasa.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pesimistis terhadap situasi di Jalur Gaza dengan mengatakan semua upayanya mempertahankan sistem kesehatan di wilayah kantong Palestina itu telah sia-sia akibat pemboman dan penembakan Israel terhadap fasilitas kesehatan di sana.
Juru Bicara WHO, Margaret Harris menyampaikan pesimisme badan PBB tersebut pada Ahad (29/12/2024) malam, dua hari setelah terjadinya kejahatan baru rezim Zionis yang membakar Rumah Sakit Kamal Adwan di Gaza utara.
Menurut IRNA, mengutip Palestina Al-Youm, Harris mengatakan bahwa tim WHO akan segera dikirim untuk menilai kebutuhan mendesak di Gaza dan mengidentifikasi kekurangan peralatan rumah sakit.
"Setiap serangan terhadap rumah sakit, staf medis, dan pasien tidak dapat diterima dan harus dikutuk," katanya.
WHO juga menyatakan bahwa serangan Israel terhadap Rumah Sakit Kamal Adwan telah melumpuhkan "fasilitas kesehatan utama terakhir" di Jalur Gaza utara.
Organisasi PBB itu juga menyerukan agar situasi yang mengerikan itu dihentikan.
Laporan awal menunjukkan bahwa beberapa fasilitas penting di RS tersebut rusak parah akibat kebakaran dan penghancuran selama serangan.
Di platform X pada Jumat (27/12/2024), WHO mengatakan bahwa 60 tenaga kesehatan dan 25 pasien kritis, termasuk yang menggunakan ventilator, dilaporkan masih berada di RS itu.
Pasien dengan kondisi sedang hingga berat dipaksa dipindahkan ke RS Indonesia yang sudah hancur dan tidak lagi berfungsi."WHO sangat mengkhawatirkan keselamatan mereka," kata organisasi itu.
Menurut WHO, serangan terhadap RS Kamal Adwan terjadi setelah Israel menerapkan pembatasan akses lebih ketat bagi WHO dan para mitranya, serta serangan terus menerus terhadap RS itu sejak awal Oktober.
Serangan-serangan itu menghentikan semua upaya dan bantuan agar fasilitas kesehatan itu tetap berfungsi secara minimal.
"Penghancuran sistem kesehatan secara sistematis di Gaza adalah hukuman mati bagi puluhan ribu warga Palestina yang membutuhkan perawatan medis," kata WHO.
"Kengerian ini harus dihentikan dan layanan kesehatan harus dilindungi. Gencatan senjata sekarang!"
Sebanyak 50 orang warga Palestina, termasuk lima staf medis, gugur setelah pasukan Zionis membakar rumah sakit tersebut pekan lalu. Aksi biadab Israel itu memicu kecaman internasional.
Kementerian Kesehatan Palestina di Jalur Gaza mengumumkan bahwa pasukan Zionis mengepung rumah sakit tersebut sebelum membakarnya.
Sementara itu, gerakan perlawanan Hamas menyebutnya sebagai tindakan kejahatan perang yang dilakukan di bawah bayang-bayang ketidakpedulian masyarakat internasional dan keterlibatan penuh Amerika Serikat dengan rezim penjajah.
Hamas membantah klaim Israel bahwa para pejuang Hamas berada di dalam sebuah rumah sakit yang diserbu pasukan Israel di Jalur Gaza utara.
Tentara Israel menyerbu RS Kamal Adwan di Beit Lahia pada Jumat, membakar sebagian besar bangunan, dan mengeluarkan secara paksa pasien dan warga yang mengungsi di sana.
Israel berdalih bahwa penyerbuan itu dilakukan untuk melenyapkan pejuang Hamas yang berada di dalam RS itu.
"Kami dengan tegas membantah keberadaan para pejuang perlawanan di RS itu, yang terbuka bagi semua orang, termasuk badan internasional dan PBB," kata Hamas dalam pernyataannya.
Kelompok itu menyatakan bahwa klaim Israel bertujuan "membenarkan kejahatan keji oleh tentara pendudukan dengan mengevakuasi dan membakar seluruh bagian rumah sakit sebagai bagian dari genosida dan pengusiran paksa."
Hamas mendesak PBB untuk membentuk panel untuk menyelidiki kejahatan Israel di Gaza utara "yang sedang menyaksikan rencana pemusnahan dan pengusiran terencana."
Israel melancarkan serangan darat besar-besaran di Gaza utara sejak 5 Oktober dengan dalih mencegah kelompok perlawanan Palestina, Hamas, menggalang kekuatan lagi.
Namun, warga Palestina menuduh Israel berupaya merebut wilayah itu dan mengusir penduduknya.
Sejak saat itu, bantuan kemanusiaan seperti makanan, obat-obatan, dan bahan bakar tidak diizinkan masuk ke wilayah kantong Palestina itu. Kondisi tersebut membuat warga Palestina yang masih bertahan di Gaza utara terancam kelaparan.
Agresi Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 45.400 warga Palestina dan menghancurkan wilayah itu sejak 7 Oktober 2023.
BACA JUGA: Mengapa Tentara Suriah Enggan Bertempur Mati-matian Bela Assad?
Bulan lalu, Mahkamah Pidana Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pemimpin Israel Benjamin Netanyahu dan mantan menteri pertahanannya, Yoav Gallant. Mereka dituduh telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Israel juga tengah menghadapi gugatan kasus genosida di Mahkamah Internasional atas tindakannya dalam perang di wilayah kantong Palestina itu.