Penusukan Santri, Ancaman Miras, dan Pertaruhan Masa Depan Yogyakarta
Peredaran miras di Yogyakarta perlu segara diatasi
Oleh : Gus M Anis Mashduqi, Pengasuh PPM Al-Hadi Yogyakarta, dosen UIN Sunan Kalijaga
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA- Sebagai daerah istimewa, Yogyakarta dikenal tidak hanya sebagai pusat kebudayaan, tetapi juga sebagai mercusuar pendidikan dan pariwisata. Kota ini merupakan destinasi utama bagi jutaan wisatawan setiap tahun, yang tertarik oleh harmoni nilai tradisional dan modernitas yang kental terasa di setiap sudutnya.
Namun, di balik pesona itu, sebuah ancaman perlahan mencuat—peredaran minuman beralkohol yang semakin tidak terkendali. Fenomena ini menjadi paradoks bagi Yogyakarta yang dikenal menjunjung tinggi nilai moral, budaya luhur, dan tatanan sosial yang harmonis.
Realitas yang berkembang saat ini menunjukkan bahwa konsumsi alkohol telah menjangkau berbagai lapisan masyarakat, termasuk generasi muda yang menjadi tumpuan masa depan.
Ketersediaan alkohol yang mudah diakses di toko-toko kecil hingga platform online menempatkan banyak pihak pada risiko yang sama. Hal ini tidak hanya melukai karakter budaya Yogyakarta yang lekat dengan nilai-nilai adiluhung, tetapi juga menciptakan kerentanan sosial yang berpotensi meluas.
Perdebatan mengenai alkohol tidak lagi sebatas isu kesehatan, tetapi telah menyentuh inti persoalan tentang bagaimana Yogyakarta akan mempertahankan jati dirinya di tengah gelombang disrupsi digital dan globalisasi yang sering kali mengaburkan batas moralitas.
Walaupun memberikan keuntungan ekonomi bagi segelintir pelaku usaha, namun kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih signifikan.
Regulasi Alkohol: instrumen tanpa taring?
Indonesia sebenarnya telah memiliki landasan hukum untuk mengatur peredaran alkohol, seperti Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013, Permendag Nomor 25 Tahun 2019, serta berbagai Peraturan Daerah (Perda) seperti yang berlaku di Bantul dan Sleman.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2013 memuat penjelasan kategori minuman beralkohol golongan A (kadar etil alkohol atau etanol sampai 5 persen, golongan B (kadar 5-20 persen), dan golongan C (kadar 20-55 persen).
Ketiga golongan minuman beralkohol tersebut ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan, baik pada tahap produksi, pengadaan maupun peredarannya. Dalam pasal 7 Perpres tersebut dijelaskan bahwa minuman beralkohol dapat juga dijual di tempat tertentu yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Di Kabupaten Bantul, pasal 26 Perda Nomor 4 Tahun 2019 menyebutkan bahwa hanya tempat tertentu yang diperbolehkan dan harus mendapatkan izin SIUP-MB (Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol). Namun, pelaksanaan di lapangan sering kali menunjukkan kurangnya pengawasan efektif, sehingga toko dan outlet yang tidak memenuhi persyaratan tetap beroperasi.
Sementara itu, di Kabupaten Sleman, Perda Nomor 8 Tahun 2019 juga melarang peredaran minuman beralkohol di lokasi tertentu, termasuk lingkungan pemukiman, minimarket, tempat keramaian, dan fasilitas pendidikan.
BACA JUGA: Sektor Penerbangan Israel Terpukul Hebat Akibat Ulah Sendiri Genosida Gaza
Pasal 12 perda ini juga menegaskan larangan keras terhadap peredaran di tempat yang tidak mendapatkan izin pemerintah. Meski demikian, lemahnya penegakan hukum membuat peraturan ini sering kali diabaikan. Aparat penegak hukum harus lebih proaktif dalam melakukan razia dan menindak pelanggaran.
Keberadaan regulasi ini belum cukup untuk menghadapi tantangan yang real. Klausul seperti "penjualan di tempat tertentu yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota" sering kali membuka celah bagi pihak-pihak yang ingin mengelabui aturan.
Celah ini semakin melebar dengan maraknya penjualan daring yang sulit diawasi. Bahkan setelah instruksi gubernur dan penutupan beberapa outlet ilegal, banyak dari mereka kembali beroperasi tanpa hambatan. Fenomena ini menunjukkan adanya kelemahan dalam koordinasi, ketegasan, dan konsistensi pelaksanaan hukum.
Insiden Prawirotaman, tenggelam begitu saja
Insiden penusukan santri oleh pelaku yang berada di bawah pengaruh alkohol seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk bertindak tegas.
Penutupan beberapa outlet yang dilakukan pasca-insiden tersebut patut diapresiasi, tetapi langkah ini ternyata hanya bersifat sementara. Tidak lama setelah razia, outlet-outlet tersebut kembali beroperasi, bahkan dengan propaganda yang terang-terangan melalui media online.
Melihat kompleksitas permasalahan ini, diperlukan langkah yang tidak hanya reaksioner tetapi juga strategis dan berkelanjutan. Ada tiga pilar utama yang harus menjadi fokus utama pemerintah, dengan meminjam kerangka teoretik hukum Friedman, yakni subtansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
Lemahnya penegakan hukum sering kali disebabkan oleh kurangnya koordinasi antara institusi yang bertanggung jawab. Aparat penegak hukum harus diberdayakan dengan pelatihan, alat, dan wewenang untuk menjalankan pengawasan yang intensif.
Razia terhadap peredaran ilegal harus dilakukan secara berkala, dengan sanksi yang tegas dan memberikan efek jera. Sistem yang terintegrasi, memastikan bahwa setiap pelanggaran dapat ditindak dengan cepat dan efektif.
Dalam proses ini, keberanian aparat untuk bertindak tegas tanpa kompromi, disertai pemberian sanksi yang menciptakan efek jera, merupakan elemen kunci dalam menekan laju peredaran alkohol yang melanggar aturan.
Untuk menghadapi tantangan kompleks peredaran minuman keras di Yogyakarta, penguatan sumber daya manusia (SDM) di sektor hukum juga menjadi kebutuhan mendesak.
Aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian hingga lembaga yudikatif, perlu diberdayakan melalui pelatihan intensif yang tidak hanya membekali mereka dengan pemahaman mendalam tentang regulasi terkait alkohol, tetapi juga kemampuan untuk mendeteksi dan menangani modus operandi peredaran ilegal yang semakin canggih, termasuk penjualan daring.
Pertaruhan
Yogyakarta memiliki potensi besar untuk menjadi role model dalam pengendalian peredaran minuman beralkohol. Sebagai kota dengan identitas kuat di bidang budaya dan pendidikan, Yogyakarta dapat mengembangkan pendekatan berbasis nilai-nilai lokal untuk menangani masalah ini.
Gerakan masyarakat berbasis budaya, seperti kampanye sadar hukum dan edukasi dampak alkohol melalui seni dan tradisi lokal, dapat menjadi salah satu solusi inovatif.
Selain itu, pelibatan komunitas pelajar dan mahasiswa yang merupakan populasi dominan di Yogyakarta juga penting. Edukasi tentang bahaya alkohol harus menjadi bagian dari program pendidikan formal dan non-formal. Pemerintah dapat menggandeng perguruan tinggi dan organisasi mahasiswa untuk menciptakan gerakan anti-alkohol yang berbasis ilmiah dan sosial.
Ancaman dari peredaran alkohol bukan hanya soal pelanggaran hukum, tetapi juga pertaruhan masa depan. Jika pemerintah DIY dan Pemda-Pemkot yang ada gagal menangani masalah ini dengan serius, dampaknya akan meluas ke generasi mendatang.
Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan budaya memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi contoh bagi kota-kota lain di Indonesia dalam hal penanganan isu sosial.
BACA JUGA: Lokasi Makam Nabi Hud dan Jumlah Orang yang Tersisa dengannya Setelah Topan Besar
Komitmen semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun lembaga penegak hukum, sangat diperlukan. Tanpa tindakan nyata, ancaman ini akan terus merongrong masa depan generasi muda dan citra Yogyakarta sebagai kota budaya dan pendidikan.
Saatnya mengambil langkah konkret untuk melindungi generasi bangsa dari bahaya minuman beralkohol. Langkah kecil yang diambil hari ini dapat menjadi awal dari perubahan besar untuk memastikan Yogyakarta tetap menjadi kota yang dihormati dan diidolakan.