Pemerintah Segera Cari Tahu Siapa Pelaku Pemasang Pagar Laut di Tangerang
Pemanfaatan ruang laut tanpa memiliki izin disebut KKP sebagai pelanggaran.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kehadiran pagar laut yang membentang sepanjang 30 kilometer (km) di Tangerang, Banten, menimbulkan pertanyaan besar mengenai siapa yang melakukan pemasangan pagar laut tersebut. Hingga kini, pemerintah mengaku belum mengetahui pelakunya.
“Pemerintah belum mengetahui secara pasti (siapa yang melakukan pemagaran laut),” kata Plt Direktur Penataan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Suharyanto saat dikonfirmasi Republika, Kamis (9/1/2025).
Suharyanto menyampaikan bahwa saat ini pihaknya masih melakukan pendalaman mengenai isu pagar laut tersebut, termasuk siapa yang melakukan pemasangannya, hingga memberikan dampak buruk bagi nelayan hingga ekosistem laut.
“Namun, Ombudsman, KKP, Pemerintah Provinsi sudah melakukan upaya identifikasi dan pulbaket ke lapangan,” terangnya. Ia memastikan akan memberikan keterangan lebih lanjut secara jelas mengenai hasilnya.
Suharyanto menyampaikan bahwa KKP telah melakukan investigasi sejak September 2024, termasuk analisis peta citra satelit dan rekaman geotagging selama tiga dekade terakhir. Hasilnya menunjukkan bahwa area tersebut tidak pernah berbentuk darat atau tanah dan didominasi sedimentasi, bukan abrasi. Ia menekankan, pentingnya pengawasan untuk mencegah privatisasi ruang laut.
Ia juga menekankan bahwa jika ada pemberian sertifikat hak milik (SHM) di ruang laut, itu jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 karena mengancam hak masyarakat tradisional.
KKP telah menegaskan pemanfaatan ruang laut tanpa memiliki izin dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) adalah bentuk pelanggaran. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (DJPKRL), Kusdiantoro, saat membuka diskusi publik terkait adanya pemagaran sepanjang 30 kilometer di perairan Laut Tangerang, Provinsi Banten, di Jakarta pada 7 Januari 2025 lalu.
Pemagaran laut mengindikasi adanya upaya orang untuk mendapatkan hak atas tanah di perairan laut secara tidak benar. Kegiatan tersebut dapat menjadikan pemegang hak berkuasa penuh dalam menguasai, menutup akses publik, privatisasi, merusak keanekaragaman hayati dan berpotensi menyebabkan perubahan fungsi ruang laut. Selain itu, pemagaran laut tidak sesuai dengan praktek internasional United Nations Convention on the Law of the Sea (Unclos 1982).
“Paradigma hukum pemanfaatan ruang laut telah berubah menjadi rezim perizinan, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010. Tujuannya adalah memastikan ruang laut tetap menjadi milik bersama yang adil dan terbuka untuk semua,” ujar Kusdiantoro dalam keterangan resmi.
Sementara itu, Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto, menekankan pentingnya kolaborasi lintas lembaga untuk menangani isu ini. Ombudsman dapat melakukan investigasi jika ditemukan indikasi malpraktik, termasuk penerbitan SHM di laut. Hasil investigasi dapat menjadi dasar bagi tindakan hukum lebih lanjut.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pengawasan Sumber Daya Kelautan Ditjen PSDKP KKP Sumono Darwinto menambahkan bahwa pelanggaran serupa terjadi di banyak daerah tanpa KKPRL. Sanksi administratif seperti denda hingga pembongkaran dapat dikenakan kepada pelanggar.
Kepala DKP Banten, Eli Susiyanti telah melaporkan bahwa pemagaran sepanjang 30,16 km di Tangerang telah mengganggu ribuan nelayan dan pembudidaya ikan. DKP telah menerima laporan sejak Juni 2024, dan melakukan inspeksi lapangan pada September 2024 untuk mencari solusi.