Emang Boleh Kaitkan Kebakaran Los Angeles dengan Amerika Bantu Israel Genosida di Gaza?

Kebakaran di Los Angeles jadi perhatian dunia.

AP Photo/Etienne Laurent
Sebuah helikopter menjatuhkan air di Palisades Fire di Mandeville Canyon, Sabtu, 11 Januari 2025, di Los Angeles.
Rep: Fuji Eka Permana Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dunia telah melihat fakta bahwa Israel menjajah dan melakukan genosida di Gaza, Palestina. Amerika Serikat (AS) adalah pendukung utama Israel. Fakta ini membuat banyak masyarakat berasumsi bahwa kebakaran di Los Angeles adalah karma akibat Amerika Serikat selalu membantu Israel melakukan kejahatan, genosida, penghancuran dan berbagai bentuk kezaliman di Gaza.

Baca Juga


Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Miftahul Huda mengatakan, perbuatan zalim sekecil apapun adalah perbuatan dosa yang dilarang oleh agama apapun, baik itu dilakukan oleh Muslim maupun non Muslim.

"Apa yang dilakukan oleh Amerika yang mendukung Israel dalam agresi dan penjajahan atas Palestina adalah hal kezaliman besar," kata Kiai Miftahul Huda kepada Republika, Rabu (15/1/2025).

Kiai Miftahul Huda mengutip Firman Allah SWT yang menegaskan bahwa Allah SWT membenci kezaliman. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَيُوَفِّيْهِمْ اُجُوْرَهُمْ ۗ وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ

Wa ammal-lażīna āmanū wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti fa yuwaffīhim ujūrahum, wallāhu lā yuḥibbuẓ-ẓālimīn(a).

Sementara itu, orang-orang yang beriman dan beramal saleh akan Dia berikan pahala mereka dengan sempurna. Allah tidak menyukai orang-orang zalim. (QS Ali Imran Ayat 57)

 

Kiai Miftahul Huda mengingatkan bahwa kezaliman pasti akan mendapat balasan. Balasan tersebut bisa diakhirkan nanti di akhirat atau bisa dipercepat oleh Allah SWT di dunia ini.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Hud Ayat 102. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَكَذٰلِكَ اَخْذُ رَبِّكَ اِذَآ اَخَذَ الْقُرٰى وَهِيَ ظَالِمَةٌ ۗاِنَّ اَخْذَهٗٓ اَلِيْمٌ شَدِيْدٌ

Wa każālika akhżu rabbika iżā akhażal-qurā wa hiya ẓālimah(tun), inna akhżahū alīmun syadīd(un).

Demikianlah siksaan Tuhanmu apabila Dia mengazab (penduduk) negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya siksaan-Nya sangat pedih lagi sangat berat. (QS Hud Ayat 102)

Kiai Miftahul Huda juga menegaskan, Allah Maha Adil dan tidak pernah membiarkan kezaliman berlalu tanpa konsekuensi. Balasan terhadap kezaliman yang dilakukan oleh seseorang akan diberikan sesuai dengan tingkat kezalimannya, dan perlu diingat bahwa jika kezaliman itu merugikan orang lain, Islam mengajarkan bahwa hak-hak korban akan dipenuhi di akhirat.

 

"Artinya pihak yang terzalimi nanti berhak untuk menuntutnya di akhirat atas kezaliman yang menimpanya," ujar Kiai Miftahul Huda.

Mengenai apakah boleh masyarakat berdonasi terhadap korban kebakaran di Amerika Serikat, Kiai Miftahul Huda menegaskan, bukankah bangsa dan rakyat Palestina lebih berhak untuk dibantu.

"Rumah mereka (warga Palestina) dihancurleburkan sehingga tidak ada lagi tempat berteduh dari kepanasan dan kehujanan, tidak ada lagi tempat bernaung dari panasnya siang dan dinginnya malam," kata Kiai Miftahul Huda.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI ini mengatakan, bangunan dan fasilitas umum rakyat Palestina diratakan dengan bumi oleh Israel yang dibantu Amerika. Sehingga tidak ada lagi tempat layanan pendidikan, kesehatan, dan layanan pokok lainnya.

Bahkan di Palestina, Kiai Miftahul Huda mengungkapkan, ribuan orang tua banyak yang kehilangan anak-anak, dan anak-anak banyak yang menjadi yatim piatu. Mereka lebih berhak untuk dibantu, mereka butuh makan, butuh minum, butuh obat, butuh darah, butuh semua kebutuhan pokok.

Kebakaran yang melanda tiga distrik di Los Angeles, Amerika Serikat, baru-baru ini kembali menarik perhatian global.

Padahal sebagai negara bagian yang akrab dengan bencana kebakaran hutan, sebenarnya California tidak asing dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh api.

Namun, tragedi kali ini tidak hanya soal kobaran api yang menghanguskan lahan, rumah, dan kehidupan.

Kebakaran ini mencerminkan kompleksitas masyarakat modern yang hidup di era informasi di mana realitas bercampur dengan manipulasi, dan empati berhadapan dengan bias sosial.

Setiap tahun, negara bagian California kerap mengalami kebakaran, terutama karena iklimnya yang kering, angin kencang, dan kondisi vegetasi yang mudah terbakar.

Bencana alam ini sering kali dianggap sebagai siklus tahunan, bahkan menjadi bagian tak terhindarkan dari lanskap ekologi kawasan tersebut.

Namun, kebakaran di Los Angeles kali ini menjadi pembicaraan dunia karena lokasi terdampaknya. Tiga distrik yang terbakar berada di kawasan yang dihuni oleh para selebritas Hollywood, tokoh kaya, dan figur terkenal.

 

Eksposur media yang luas terhadap tragedi ini, dibandingkan dengan kebakaran serupa di kawasan miskin yang sering kali terabaikan, membuka kembali diskusi tentang bias sosial dan rasisme sistemik di Amerika Serikat.

Ketika kebakaran serupa terjadi beberapa tahun lalu di perkampungan Hispanic di California, hanya sedikit yang peduli.

Kawasan tersebut, yang mayoritas dihuni oleh warga berpenghasilan rendah, tidak mendapat perhatian besar dari media maupun masyarakat.

Sebaliknya, kebakaran kali ini menarik perhatian luar biasa karena melibatkan korban dari kalangan kelas atas.

Fenomena ini mencerminkan bagaimana nilai sosial dan ekonomi sering kali menjadi faktor penentu dalam tingkat perhatian publik terhadap sebuah tragedi.

Tidak hanya itu, perhatian besar terhadap kebakaran ini juga menunjukkan bagaimana media, terutama media sosial, memainkan peran penting dalam membentuk persepsi publik.

Gambar dan video tentang kebakaran di Los Angeles menyebar dengan sangat cepat, sering kali dibumbui dengan narasi dramatis yang mempengaruhi cara orang memandang peristiwa tersebut.

Teknologi seperti artificial intelligence (AI) digunakan untuk mengedit gambar dan video sehingga tampak lebih mengerikan. Manipulasi semacam ini mempertegas bahwa manusia kini sedang hidup di zaman di mana fakta dapat dengan mudah bercampur dengan fiksi.

Sayangnya, dalam banyak kasus, informasi yang salah atau berlebihan sering kali lebih menarik perhatian dibandingkan kebenaran yang sederhana.

Penghakiman Teologis

 

Salah satu narasi yang berkembang di beberapa kalangan tentang kebakaran ini adalah penghakiman teologis.

Ada pihak-pihak yang menganggap kebakaran tersebut sebagai "azab" atau hukuman ilahi atas kebijakan Amerika Serikat yang mendukung genosida di Gaza.

Meskipun pandangan ini mungkin muncul dari rasa frustrasi terhadap ketidakadilan global, pendekatan seperti ini berpotensi menimbulkan kesalahpahaman.

Menggunakan tragedi alam untuk mendukung narasi politik atau teologis tertentu bukan hanya tidak etis, tetapi juga bisa merusak upaya untuk memahami akar masalah yang sebenarnya.

Ketika musibah terjadi, fokus utama seharusnya adalah pada bantuan dan solidaritas. Menggunakan tragedi untuk merayakan penderitaan orang lain, bahkan jika mereka adalah bagian dari kelompok yang dianggap "musuh," bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan.

Lebih dari itu, penghakiman teologis terhadap bencana alam sering kali mengabaikan faktor-faktor ilmiah dan sosial yang jauh lebih relevan.

Dalam konteks kebakaran di California, misalnya, perubahan iklim, urbanisasi yang tidak terkontrol, dan kurangnya langkah pencegahan adalah isu-isu yang perlu mendapat perhatian lebih.

Kebakaran Los Angeles juga memunculkan refleksi tentang posisi Amerika Serikat di mata dunia, khususnya di kalangan umat Islam.

Respons besar-besaran terhadap tragedi ini menunjukkan bagaimana Amerika masih menjadi pusat perhatian global.

Dalam banyak kasus, perhatian ini lebih merupakan hasil dari dominasi budaya dan ekonomi Amerika di dunia, bukan semata-mata karena tragedi itu sendiri.

Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: mengapa peristiwa di Amerika sering kali mendapatkan perhatian lebih besar dibandingkan tragedi serupa di negara lain?

Sebagai contoh, kebakaran besar di Bangladesh yang pernah menewaskan ratusan orang tidak mendapat sorotan sebesar kebakaran di Los Angeles.

Ini menunjukkan adanya hierarki perhatian global yang sering kali bias. Tragedi di negara-negara maju atau kawasan yang lebih "terlihat" di peta geopolitik dunia cenderung mendapatkan perhatian lebih besar dibandingkan tragedi di negara-negara berkembang.

Ketidakadilan ini mencerminkan ketimpangan dalam cara dunia merespons penderitaan manusia.

Namun, Amerika juga menawarkan pelajaran penting tentang bagaimana masyarakatnya menghadapi bencana. Kebebasan beragama dan solidaritas sosial, misalnya, adalah nilai-nilai yang layak diapresiasi.

Setelah bencana tsunami yang melanda Aceh pada Desember 2004, dua mantan Presiden Amerika Serikat, George H.W. Bush dan Bill Clinton, melakukan kunjungan ke wilayah terdampak di Indonesia pada Februari 2005. Mereka ditunjuk oleh Presiden George W. Bush untuk memimpin upaya penggalangan dana bantuan bagi korban tsunami.

Komunitas internasional, termasuk masyarakat dari Amerika Serikat juga menunjukkan solidaritas yang nyata.

Hal ini membuktikan bahwa di balik kebijakan luar negeri Amerika yang sering kali kontroversial, ada sisi lain dari masyarakatnya yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.

Tragedi kebakaran di Los Angeles juga seharusnya menjadi pengingat bagi semua tentang pentingnya memahami sebuah peristiwa secara holistik.

Di satu sisi, semua perlu kritis terhadap bias media dan manipulasi informasi yang dapat membentuk persepsi keliru.

Di sisi lain, masyarakat juga perlu menjaga agar respons terhadap sebuah tragedi tidak melupakan nilai-nilai kemanusiaan.

Daripada terjebak dalam asumsi atau narasi yang tidak berdasar, lebih baik menggunakan momen seperti ini untuk merefleksikan apa yang benar-benar penting di antaranya mengedepankan solidaritas, empati, dan tanggung jawab bersama untuk menjaga bumi dan sesama manusia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler