Ekonomi Vietnam Melaju Kencang, Indonesia Tertinggal?

Angka pertumbuhan ekonomi Vietnam 10 tahun terakhir mencapai rata-rata 6,05 persen.

EFA EPE
Pengendara mobil dan sepeda motor melewati kabel listrik di jalan di Hanoi. Ekonomi Vietnam melejit melampaui Indonesia.
Rep: Eva Rianti Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Vietnam kini tengah menjadi perhatian, karena perekonomiannya yang kian meroket. Muncul pertanyaan, mengapa Vietnam bisa mencapai angka pertumbuhan ekonomi hingga 7,09 persen pada 2024, jauh mengungguli Indonesia yang masih stagnan di kisaran 5 persen? 

Baca Juga


Mengutip World Bank, angka pertumbuhan ekonomi Vietnam dalam 10 tahun terakhir mencapai rata-rata 6,05 persen. Perinciannya, pada 2014, perekonomian Vietnam tumbuh 6,4 persen, 2015 (7 persen), 2016 (6,7 persen), 2017 (6,9 persen), 2018 (7,5 persen), dan 2019 (7,4 persen). Lalu mengalami kejatuha seiring dengan kondisi Covid-19 dengan mencatatkan angka pertumbuhan ekonomi pada 2020 sebesar 2,9 persen, 2021 mencapai 2,6 persen, tapi kemudian melejit menjadi 8,1 persen pada 2022, dan kemudian 5 persen pada 2023. 

Sementara itu, data yang sama menunjukkan rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam satu dekade terakhir (di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo) berada di angka 4,21 persen. Perinciannya, pada 2014 Indonesia mencatatkan angka pertumbuhan ekonomi 5 persen, 2015 (4,9 persen), 2016 (5 persen), 2017 (5,1 persen), 2018 (5,2 persen), dan 2019 (5 persen). Lalu juga mengalami kejatuhan pada masa pandemi Covid-19 dengan mencatatkan angka pertumbuhan ekonomi pada 2020 menyentuh -2,1 persen, lalu 2021 mencapai 3,7 persen, dan pulih di 2022 sebesar 5,3 persen, berlanjut 5 persen pada 2023. 

“Pertumbuhan ekonomi Vietnam yang dalam 10 tahun terakhir mampu menembus 6 persen, sedangkan Indonesia stagnan di kisaran 4-5 persen, adalah hasil dari strategi besar pembangunan yang tepat dan konsisten, sehingga Vietnam berhasil melakukan transformasi ekonomi,” kata Pengamat Ekonomi yang juga Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono kepada Republika, Rabu (15/1/2025) lalu. 

Yusuf mengatakan, pertumbuhan ekonomi Vietnam yang konsisten tembus 6 persen dalam 10 tahun terakhir merupakan hasil dari reformasi birokrasi yang signifikan, plus extra effort reformasi hukum dan politik. Menurutnya, kualitas institusi menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekonomi Vietnam yang tinggi. Yusuf pun menyinggung sejumlah langkah Vietnam yang berbanding terbalik dengan Indonesia. 

“Berbeda dari Indonesia, Vietnam sangat serius melakukan reformasi institusi mereka. Ketika Vietnam sangat serius memberantas korupsi, kita mengalami kemunduran sangat jauh dengan justru melemahkan KPK. Ketika Vietnam melakukan reformasi birokrasi dan merampingkan kabinet, kita justru menambah gemuk kabinet yang sudah gemuk,” ujarnya.  

Lini produksi pabrik VinFast terlihat di Kota Hai Phong, Vietnam, 22 April 2021. - (REUTERS)

Yusuf mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, diatas 5 persen per tahun adalah krusial bagi Indonesia untuk menjadi negara maju, menuju Indonesia Emas 2045. Untuk mencapainya, dibutuhkan narasi dan strategi besar baru untuk meruntuhkan ‘dekade kutukan pertumbuhan di bawah 5 persen’ era Presiden Jokowi.

Untuk mengejar posisi Indonesia sebagai negara maju di 2045, lanjutnya, Indonesia mutlak membutuhkan narasi dan gagasan besar pembangunan yang baru. Ia menilai bahwa strategi besar pembangunan era Presiden Jokowi, yaitu pembangunan infrastruktur dan hilirisasi tambang, terbukti gagal mentransformasi perekonomian dan gagal mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. 

“Dalam 10 tahun terakhir pemerintahan Presiden Jokowi kita hanya mampu mencapai pertumbuhan 4,2 persen, jauh dari target pertumbuhan ideal 7 persen. Tanpa perubahan kebijakan yang signifikan, ancaman jebakan kelas menengah/middle income trap membayang di depan mata,” ujar Yusuf. 

Peluang bonus demografi 

Yusuf menerangkan, dalam 10 tahun terakhir, Vietnam dan Indonesia sama-sama menikmati bonus demografi, sejak 2010-an, dengan periode puncak bonus demografi pada 2020-2030. Vietnam, menurutnya mampu memanfaatkan bonus demografi dan tumbuh tinggi di atas 6 persen. 

“Vietnam terlihat mengikuti jejak Jepang, Korea Selatan dan kini China yang mampu memanfaatkan bonus demografi untuk menjadi negara maju dan  berpenghasilan tinggi,” kata Yusuf. 

Sementara itu, Indonesia, alih-alih mengalami akselerasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru semakin melemah di periode bonus demografi. Pada 2005-2014, di era Presiden SBY, rerata pertumbuhan ekonomi kita 5,8 persen. Namun pada 10 tahun terakhir, pada 2015-2024, di era Presiden Jokowi, rerata pertumbuhan ekonomi kita  hanya di kisaran 4,2 persen, jauh lebih rendah dari periode Presiden SBY.

“Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi Vietnam, menurut saya pemerintah tidak perlu lagi terobsesi menarik investasi setinggi mungkin atau mendorong ekspor secara berlebihan. Obsesi mendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi dan ekspor selama 10 tahun terakhir terbukti tidak mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi kita,” ungkapnya. 

Seorang pengemudi taksi Xanh SM menyiapkan armadanya saat peluncuran di Jakarta, Rabu (18/12/2024). Taksi listrik asal Vietnam, Xanh SM mulai beroperasi di Indonesia sebagai komitmen Vietnam dan Indonesia dalam mempromosikan transportasi ramah lingkungan yang sejalan dengan upaya global dalam mengatasi perubahan iklim. - (ANTARA FOTO/Fauzan)

Dengan tingkat investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB) saat ini yang di kisaran 30 persen dari PDB, Yusuf menilai itu sudah cukup untuk melambungkan pertumbuhan ekonomi hingga 7-8 persen, tapi dengan syarat Indonesia harus mampu menekan ICOR (incremental capital output ratio) saat ini yang 6,8 menjadi di kisaran 4,0.

“Vietnam memiliki efisiensi penggunaan kapital yang tinggi, dengan ICOR hanya di kisaran 4,5. Faktor penentu utamanya adalah rendahnya angka korupsi dan birokrasi yang efisien,” ujar dia. 

Hal itu diketahui bertolak belakang dengan Indonesia. Karena efisiensi penggunaan kapital dalam perekonomian Indonesia yang sangat rendah, dengan ICOR di kisaran 7,0, maka hal ini membuat Indonesia terobsesi menarik investasi yang semakin banyak, bahkan dengan menarik investasi yang tidak berkualitas seperti investasi di sektor ekstraktif.  

“Demikian pula obsesi mendorong pertumbuhan ekonomi melalui ekspor membuat ekspor kita terus bergantung pada komoditas yang bersifat ekstraktif dan banyak merusak lingkungan seperti batubara dan CPO, dan terkini nikel,” terangnya. 

 

Strategi reindustrialisasi baru 

Lebih lanjut, Yusuf berpendapat, untuk pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif, gagasan besar terbaik adalah secepatnya mengatasi rendahnya kualitas angkatan kerja. Juga mencegah deindustrialisasi dini, yang menyebabkan bonus demografi yang saat ini dinikmati dan bahkan berada di periode puncaknya, tapi tidak banyak memberi manfaat ke industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi.

“Kunci utama keberhasilan Vietnam meraih pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan adalah transformasi tenaga kerja dari perekonomian yang didominasi tenaga kerja tidak terlatih (unskilled labour) menjadi didominasi tenaga kerja terlatih (skilled labour). Hal ini menjelaskan mengapa Vietnam mampu masuk global supply chain, dengan menjadi destinasi investasi yang menarik bagi investor industri menengah (medium) dan industri maju (heavy),” jelasnya. 

Yusuf mencontohkan, ketika Apple melakukan relokasi pabriknya dari China, mereka memilih Asia Tenggara. Namun tidak memilih Indonesia yang memiliki pasar terbesar, melainkan memilih Vietnam yang memiliki birokrasi yang bersih dan efisien, kepastian politik tinggi, serta SDM terlatih yang berlimpah dengan upah kompetitif. 

“Hanya dengan industrialisasi dan bonus demografi yang berkualitas saja perekonomian Indonesia akan terakselerasi menuju negara berpenghasilan tinggi, keluar dari middle income trap,” ungkapnya.

Yusuf menekankan kembali sudah lebih 10 tahun sejak Indonesia menikmati bonus demografi pada 2012, namun pertumbuhan ekonomi tetap stagnan di kisaran 5 persen. Puncak bonus demografi sendiri akan berakhir pada 2030. Pasca 2030, Indonesia akan mulai memasuki fase maturity, dan pasca 2045 memasuki fase ageing society. Sehingga waktu tersisa untuk meraih posisi sebagai high income country hanya 5 tahun sebelum puncak bonus demografi berakhir, dan hanya tersisa 21 tahun sebelum memasuki fase penduduk yang semakin menua/ageing society. 

“Indonesia harus menemukan strategi reindustrialisasi baru yang lebih baik dari sekedar hilirisasi tambang. Strategi hilirisasi tambang yang kini digencarkan pemerintah terbukti gagal mentransformasi ekonomi dan mengakselerasi pertumbuhan kita,” kata Yusuf. 

Yusuf menyebut, jantung permasalahan dari middle income trap adalah lemahnya kapabilitas inovasi industri nasional, yang berujung pada rendahnya produktivitas bangsa. Deindustrialisasi, kata Yusuf, adalah indikator yang paling jelas menunjukkan kelemahan industri nasional yang hingga kini masih mengandalkan industri padat karya sebagai komoditas ekspor utama disamping komoditas seperti batubara dan minyak sawit.

Pemerintahan era Presiden Jokowi diketahui berupaya menahan deindustrialisasi dan berusaha membalikkannya menjadi reindustrialisasi melalui kebijakan hilirisasi tambang. Namun kebijakan itu semu mendorong inovasi karena sangat mengandalkan kapital dan teknologi asing tanpa terlihat upaya berarti untuk mendorong transfer teknologi dan kemampuan domestik. 

“Dalam kasus hilirisasi nikel, bergantung secara berlebihan pada kekuatan pasar global, yang hanya memanfaatkan sumber daya alam yang murah dan pasar domestik yang besar melalui proteksi, di tengah sistem politik berbiaya mahal, telah membuat perubahan struktural berjalan lambat dan tidak menghasilkan keunggulan komparatif,” tutur Yusuf. 

 

Sebagai perekonomian dengan jumlah penduduk besar dan sumber daya alam berlimpah, Yusuf menuturkan, Indonesia seharusnya lebih memilih strategi domestic demand led growth daripada strategi export-led growth. Dengan strategi export-led growth yang diadopsi selama ini, Indonesia hanya menjadi eksportir komoditas bernilai tambah rendah dan sering terbuai dengan kenaikan harga saat commodity boom. Yusuf menyebut, sekedar hilirisasi tambang saja tidak menjadi solusi jika tidak diikuti dengan industrialisasi. Menjadi semakin buruk ketika hilirisasi tambang berorientasi ekspor dan justru menopang industrialisasi negara lain.

“Padahal dengan lebih 270 juta penduduk, Indonesia akan mampu membangun resiliensi perekonomian sekaligus mendorong pertumbuhan yang lebih inklusif melalui domestic demand led growth,” kata Yusuf. 

Ia menambahkan, permintaan domestik yang sangat besar seringkali tidak teroptimalkan, bahkan untuk sektor paling dasar seperti pangan. Misalnya, Indonesia kini tercatat merupakan importir gandum terbesar di dunia, namun pemanfaatannya kurang optimal.  

“Untuk pertumbuhan yang lebih inklusif dan tidak banyak dipengaruhi kondisi global, Indonesia harus secepatnya mengoptimalkan pasar dan permintaan domestiknya sendiri yang sangat besar, terutama pertanian tanaman pangan, peternakan serta mendorong industri manufaktur padat karya dan industri manufaktur padat teknologi berbasis UMKM,” ujarnya.

 

Perbandingan beberapa indikator ekonomi Indonesia vs Vietnam. - (Tim Infografis)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler