Isra Mi'raj, Hadiah Spiritual untuk Nabi pada Tahun Kesedihan
Di tengah kesedihan nabi, Allah memberikan anugerah perjalanan spiritual.
REPUBLIKA.CO.ID, Isra Mi'raj menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang merupakan bagian dari perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW. Peristiwa ini terjadi pada malam hari, ketika Nabi diangkat dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Yerusalem (Isra) kemudian dilanjutkan naik ke langit sampai Sidratul Muntaha (Mi'raj).
Hampir seluruh ahli tafsir berpendapat bahwa peristiwa Isra' terjadi setelah Nabi Muhammad diutus menjadi rasul. Peristiwanya terjadi satu tahun sebelum hijrah, demikian menurut Imam az-Zuhri, Ibnu Sa’ad, dan lain-lainnya. Imam Nawawi pun memastikan demikian.
Menurut Ibnu Ḥazm, peristiwa Isra’ itu terjadi di bulan Rajab tahun kedua belas setelah pengangkatan Muhammad menjadi nabi. Sedangkan al-Hafiz ‘Abdul Gani al-Maqdisi memilih pendapat yang mengatakan bahwa Isra dan Mi’raj tersebut terjadi pada 27 Rajab, dengan alasan pada waktu itulah masyarakat melaksanakannya.
Dalam ceramahnya, Ustadz Adi Hidayat juga menjelaskan, peristiwa Isra Mi'raj terjadi pada tahun ke-10 kenabian, tepatnya pada 27 Rajab. Sehingga, bulan Rajab ini menjadi salah satu bulan yang dimuliakan dalam Islam.
Peristiwa ini erat kaitannya dengan tahun penuh kesedihan (‘Aamul Huzn). Karena, sebelum Isra Mi'raj, Nabi kehilangan dua pendukung utamanya, yaitu istrinya Khadijah dan pamannya Abu Thalib. Di tengah kesulitan ini, Allah SWT memberikan karunia berupa perjalanan spiritual ini untuk menguatkan hati Nabi.
Dalam melakukan Isra, Nabi Muhammad SAW memulai perjalanan dari Masjidil Haram di Makkah. Malaikat Jibril lalu datang membawa Buraq, hewan khusus berwarna putih yang sangat cepat.
Dengan ditemani Jibril, Nabi lalu menuju Masjid Al Aqsa di Yerusalem. Di sana, Nabi Muhammad SAW memimpin shalat bersama para nabi terdahulu, termasuk Nabi Ibrahim, Musa, dan Isa.
Perjalanan Nabi Muhammad ke Masjid Al Aqsa ini diabadikan dalam Alquran, di mana Allah SWT berfirman:
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Artinya: "Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS Al Isra' [17]: 1).
Dari kata "asra" dalam ayat tersebut dapat dipahami bahwa Isra’ Nabi Muhammad SAW terjadi di waktu malam hari, karena kata asra dalam bahasa Arab berarti perjalanan di malam hari. Sedangkan penyebutan "lailan" menggambarkan bahwa kejadian Isra’ itu mengambil waktu malam yang singkat.
Allah menyebutkan alasan mengapa Nabi Muhammad SAW diperjalankan pada malam hari, karena untuk memperlihatkan kepada Nabi tanda-tanda kebesaran-Nya. Tanda-tanda itu disaksikan oleh Muhammad SAW dalam perjalanannya ke Masjid Al-Aqsa.
Adapun salah satu hadis yang menjelaskan terjadinya Isra’ itu sebagai berikut:
أَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أُتِيْتُ بِالْبُرَاقِ وَهُوَ دَابَّةٌ أَبْيَضُ فَوْقَ الْحِمَارِ وَدُوْنَ الْبِغَالِ يَضَعُ حَافِرَهُ عِنْدَ مُنْتَهَى طَرْفِهِ فَرَكِبْتُهُ فَسَارَ بِي حَتَّى أَتَيْتُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ فَرَبَطْتُ الدَّابَّةَ بِالْحَلْقَةِ الَّتِى يَرْبِطُ فِيْهَا الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ دَخَلْتُ فَصَلَّيْتُ فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ خَرَجْتُ فَأَتَانِى جِبْرِيْلُ بِإِنَاءٍ مِنْ خَمْرٍ وَإِنَاءٍ مِنْ لَبَنٍ فَاخْتَرْتُ اللَّبَنَ فَقَالَ جِبْرِيْلُ أَصَبْتَ الْفِطْرَةَ. (رواه أحمد عن أنس بن ملك)
Artinya: "Bahwa Rasulullah saw bersabda, “Didatangkan kepadaku Buraq, yaitu binatang putih lebih besar dari himar, dan lebih kecil dari bigal. Ia melangkahkan kakinya sejauh pandangan mata. Kemudian saya mengendarainya, lalu ia membawaku sehingga sampai ke Baitul Maqdis. Kemudian saya mengikatnya pada tempat para nabi mengikatkan kendaraannya. Kemudian saya sholat dua rakaat di dalamnya, lalu saya keluar. Kemudian Jibril membawa kepadaku sebuah bejana yang berisi minuman keras (khamr) dan sebuah lagi berisi susu; lalu saya pilih yang berisi susu, lantas Jibril berkata, “Engkau telah memilih fitrah sebagai pilihan yang benar.” (HR Ahmad dari Anas bin Malik)
Sedangkan peristiwa Mi’raj, yaitu naiknya Nabi Muhammad dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha (Mustawa) tidak diisyaratkan oleh ayat ini, tetapi diisyaratkan dalam Surat an-Najm.
Setelah selesai di Masjidil Aqsa, Nabi Muhammad SAW melanjutkan perjalanan naik ke langit melalui Sidratul Muntaha. Mulai dari langit pertama sampai ketujuh, Nabi pun bertemu dengan nabi-nabi Allah lainnya.
Setelah melalui tujuh lapisan langit, Nabi mencapai Sidratul Muntaha, tempat yang tidak dapat dicapai oleh makhluk lain. Di sana, Nabi menerima wahyu langsung dari Allah SWT berupa perintah shalat lima waktu, yang sebelumnya diperintahkan 50 kali sehari. Setelah Nabi memohon keringanan, Allah mengurangi jumlahnya menjadi lima kali sehari.
Setelah perjalanan tersebut selesai, Nabi Muhammad SAW kembali ke Makkah pada malam yang sama. Ketika beliau menceritakan peristiwa ini kepada masyarakat Quraisy, sebagian besar dari mereka tidak mempercayainya dan menganggapnya sebagai kebohongan.
Namun, Abu Bakar RA langsung membenarkan cerita Nabi, sehingga ia mendapat gelar Ash-Shiddiq. Abu Bakar berkata:
أَنَا صَدَقْتُهُ فِي خَبَرِ السَّمَاءِ فَكَيْفَ أُكَذِّبُهُ فِي ذَلِكَ، مَادَامَ قَالَ فَقَدْ صَدَقَ
Artinya: “Sungguh saya telah membenarkannya perihal kabar langit (Mi’raj), maka bagaimana mungkin saya mengingkarinya dalam peristiwa itu (Isra). Selama (Rasulullah) berkata, maka sungguh dia benar."