Rencana Trump untuk Gaza Bak Upaya Pembersihan Etnis Palestina, Hamas Tegas Menolak

Donald Trump meminta Mesir dan Yordania menerima relokasi warga Gaza.

(AP Photo/Jehad Alshrafi)
Pengungsi Palestina meninggalkan Khan Younis untuk kembali ke Rafah, menyusul gencatan senjata antara Hamas dan Israel, di Jalur Gaza, Ahad, 19 Januari 2025.
Rep: Andri Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, Di tengah masa gencatan senjata dan pertukaran tahanan antara Hamas dan Israel, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan terkait masa depan warga Palestina di Jalur Gaza. Pada Sabtu (26/1/2025), Trump melempar wacana untuk 'membersihkan saja' Gaza, dan menginginkan Mesir dan Yordania menerima warga Palestina demi mewujudkan perdamaian Timur Tengah.

Baca Juga


Trump menggambarkan Gaza saat ini seperti wilayah penghancuran pascaperang Israel-Hamas. Ia mengklaim sudah berbicara dengan Raja Yordania Abdullah II terkait isu ini dan berencana menelepon Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi pada Ahad ini.

"Saya ingin Mesir menerima warga (Palestina). Dan saya juga ingin Yordania menerima mereka," kata Trump kepada wartawan yang tengah satu pesawat bersama dirinya dikutip AFP.

"Anda berbicara tentang mungkin 1,5 juta manusia, dan kita bersihkan saja seluruhnya. Anda tahu, selama beberapa dekade terjadi banyak konflik di sana (Gaza). Dan saya tidak tahu, sesuatu harus terjadi."

Mayoritas dari 2,4 juta warga Gaza saat ini terusir dari rumah mereka akibat perang usai serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023. Dan Trump mengatakan, memindahkan warga Gaza bisa untuk, "sementara atau untuk waktu yang lama."

"Secara harfiah (Gaza) itu adalah sebuah area penghancuran saat ini, hampur semua hancur dan manusia di sana sengsara," kata Trump.

"Sehingga, saya memilih terlibat bersama negara-negara Arab untuk membangun perumahan di lokasi berbeda sehingga mereka mungkin bisa memiliki kesempatan hidup damai."

Pejabat senior Hamas, menegaskan, pihaknya akan menentang usulan Trump merelokasi warga Palestina keluar dari Gaza ke Mesir dan Yordania. "Sebagaimana mereka selalu gagal dalam setiap rencana memindahkan dan menyediakan tempat tinggal alternatif selama beberapa dekade, rakyat kami juga akan selalu menggagalkan rencana-rencana seperti itu," kata Bassem dikutip AFP.

 

 

Tidak visibel

Mantan komandan di Pusat Komando IDF, Gadi Shamni, mengkritisi recana Trump terkait masa depan rakyat Palestina di Gaza. Dalam wawancaranya bersama radio 103FM dilansir Jerusalem Post, Ahad (26/1/2025), Gadi menilai wacana merelokasi warga Gaza ke Yordania dan Mesir tidak akan mudah terealisasi.

"Katakanlah warga Yordania dan Mesir setuju untuk menerima ratusan ribu (warga Gaza). Siapa yang akan meninggalkan Gaza? Mereka yang pergi adalah warga dengan sumber daya lebih dan stabilitas ekonomi yang lebih baik. Mereka yang bertahan adalah yang bermasalah, si miskin, yang akan menjelma menjadi terorisme. Sehingga ide soal 'migrasi populasi' ini saya pikir tidak praktis," kata Shamni.

Dia mengelaborasi implikasi yang lebih luas, dengan mengatakan, "Warga Yordania telah menderita selama bertahun-tahun karena mereka telah menjadi tuan rumah bagi jutaan pengungsi Suriah. Secara strategis, memindahkan pengungsi dari Gaza ke Yordania akan menciptakan instabilitas tambahan bagi negara yang mana stabilitasnya krusial bagi Israel."

Shamni juga menggarisbawahi lemahnya dukungan negara-negara kawasan bagi usulan relokasi warga Gaza. Menurutnya, rakyat Palestina tidak disukai di negara kawasan dan tertolak di mana-mana sehingga usulan Trump tidak realistis.

"Saya pikir ini (usulan Trump) tidak akan menuju pada solusi yang benar atau yang lebih baik," kata Shamni.

Poin Kesepakatan Gencatan Senjata - (Republika)

Sejarah pengusiran

Sebelum dan selama perang 1948 dan berdirinya negara Israel, sebanyak 700 ribu warga Palestina telah terusir dari tanah air mereka. Sebuah peristiwa pengusiran yang dikenang sebagai Nakba, yang artinya bencana dalam bahasa Arab.

Setelah Israel merdeka dan perang usai, Israel menolak mereka kembali yang mengibatkan ratusan warga Palestina terjebak di wilayah-wilayah perbatasan. Para pengungsi dan keturunan mereka saat ini diperkirakan berjumlah 6 juta, di mana komunitas terbesar terpusat di Gaza, selain di Tepi Barat, Yordania, Lebanon, dan Suriah.

Pada perang 1967, 300 ribu warga Palestina kembali terusir dan kebanyakan kemudian menetap di Yordania. Krisis pengungsi berusia puluhan tahun adalah penyebab utama dari konflik Israel-Palestina dan masalah terbesar dalam pembicaraan damai yang terakhir digelar pada 2009. Warga Palestina yang terusir menyatakan bahwa mereka berhak kembali, sementara Israel menegaskan, mereka harus terserap oleh negara-negara Arab di kawasan.

Banyak warga Palestina menilai perang saat ini yang telah menghancurkan mayoritas infrastruktur dan sekitar 2,3 juta warga meninggalkan rumah mereka, menyebut sebagai Nakba baru. Mereka takut, jika warga Palestina dalam jumlah besar kembali meninggalkan Gaza, mereka tidak akan pernah bisa kembali lagi.

Sejak awal perang pada Oktober 2023, baik Mesir dan Yordania secara terbuka sudah menolak ide relokasi warga Gaza, saat rencana itu diwacanakan oleh sebagian pejabat Israel. Mesir dan Yordania khawatir, relokasi warga Gaza secara permanen akan membuat pembentukan negara Palestina di Gaza, Yerusalem Timur, dan Tepi Barat akan mustahil diwujudkan. 

Truk bantuan kemanusiaan masuk melalui penyeberangan Kerem Shalom dari Mesir ke Jalur Gaza, di Rafah, Rabu, 22 Januari 2025, beberapa hari setelah kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas mulai berlaku. (AP Photo/Jehad Alshrafi)
 
 
Presiden Mesir, Abdel Fattah el-Sisi juga telah mengingatkan adanya implikasi keamanan dari pemindahan warga Palestina dalam jumlah besar ke Semenanjung Sinai, perbatasan Gaza. Hamas yang sangat melekat dengan warga Gaza, dikhawatirkan akan memicu wilayah perang baru di tanah Mesir.

"Perdamaian yang telah kita capai akan hilang dari tangan kita," kata el-Sisi pada Oktober 2023.

Premis Sisi pernah terjadi di Lebanon pada 1970-an, saat Yasser Arafat memimpin PLO saat itu menjadikan dearah perbatasan Lebanon sebagai markas penyerangan ke Israel. Krisis pengungsi dan aksi-aksi PLO kemudian memicu perang saudara yang panjang di Lebanon.

Sementara Yordania, hingga kini telah menjadi tuan rumah bagi sekitar 2 juta pengungsi Palestina, di mana mayoritas mereka saat ini telah mendapatkan status kewarganegaraan. Ultranasionalis Israel sejak lama menegaskan bahwa Yordania adalah negara Palestina sehingga Israel bisa mengklaim Tepi Barat, yang mereka anggap sebagai tanah air bangsa Yahudi sesuai yang Tuhan janjikan.

Kerajaan Yordania, sama seperti Mesir, telah berulang kali menolak skenario relokasi besar-besaran warga Palestina. Sehingga, upaya merelokasi warga Gaza saat ini tergantung dari seberapa serius Trump dan sebarapa jauh dia akan merelisasikan rencananya itu.

Peta Palestina versi arogansi Trump - (Republika)

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler