Trump Minta Warga Gaza Digusur, Mesir dan Yordania Diprediksi Tolak Mentah-Mentah!
Menlu Yordania mengatakan, penolakan negaranya atas usulan pemindahan tersebut tegas.
REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Permintaan dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump agar Mesir dan Yordania menampung warga Palestina dari jalur Gaza yang dilanda perang dinilai akan mendapat penolakan keras dari kedua negara sekutu AS tersebut. Terutama, warga Palestina sendiri yang khawatir Israel tidak akan mengizinkan mereka kembali, demikian dilaporkan AP pada Ahad (27/1/2025).
Trump melontarkan ide tersebut pada Sabtu. Dia mengatakan akan mendesak para pemimpin kedua negara Arab tersebut untuk menampung penduduk Gaza yang kini sebagian besar kehilangan tempat tinggal dengan membuat pernyataan, “Kita bersihkan saja semuanya.” Dia menambahkan, pemukiman kembali penduduk Gaza bisa bersifat sementara atau jangka panjang.
“Ini benar-benar tempat penghancuran,” kata Trump, mengacu pada kehancuran besar yang disebabkan oleh kampanye militer Israel selama 15 bulan melawan Hamas, yang sekarang dihentikan oleh kesepakatan gencatan senjata.
“Saya lebih suka terlibat dengan beberapa negara Arab, dan membangun perumahan di lokasi yang berbeda, di mana mereka mungkin dapat hidup dengan damai untuk sebuah perubahan,” kata Trump.
Tidak ada komentar langsung dari para pejabat Mesir, Israel atau Palestina. Menteri Luar Negeri Yordania, Ayman Safadi, mengatakan kepada para wartawan bahwa penolakan negaranya terhadap usulan pemindahan warga Palestina adalah tegas dan tidak tergoyahkan.
Gagasan tersebut kemungkinan akan disambut baik oleh Israel yang menjadi sekutu dekat Trump. Pemerintahan sayap kanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah lama mendukung apa yang mereka gambarkan sebagai migrasi sukarela sejumlah besar warga Palestina dan pembangunan kembali permukiman Yahudi di Gaza.
Sejarah Perpindahan
Pengusiran terhadap bangsa Palestina dari tanahnya bukan hal baru. Pada 1948, sebuah momentum melatarbelakangi berdirinya negara Israel dan peristiwa Naqba, yakni sekitar 700.000 orang Palestina - mayoritas penduduk sebelum perang. Mereka terusir dari tempat tinggal mereka di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Israel.
Israel menolak untuk mengizinkan mereka kembali karena hal itu akan menghasilkan mayoritas orang Palestina di dalam perbatasannya. Para pengungsi dan keturunan mereka kini berjumlah sekitar enam juta orang, dengan komunitas-komunitas besar di Gaza, di mana mereka merupakan mayoritas penduduk, serta Tepi Barat yang diduduki Israel, Yordania, Lebanon, dan Suriah.
Pada perang Timur Tengah 1967, ketika Israel merebut Tepi Barat dan Jalur Gaza, sebanyak 300.000 lebih warga Palestina mengungsi. Sebagian besar diantaranya ke Yordania.
Krisis pengungsi yang telah berlangsung selama puluhan tahun ini telah menjadi pendorong utama konflik Israel-Palestina. Hal tersebut menjadi salah satu isu paling pelik dalam perundingan perdamaian yang terakhir kali mengalami kegagalan pada 2009. Palestina mengklaim hak untuk kembali, sementara Israel mengatakan bahwa mereka harus diserap oleh negara-negara Arab di sekitarnya.
Banyak warga Palestina melihat perang terbaru di Gaza, di mana seluruh lingkungan telah dibombardir dan 90% dari 2,3 juta penduduknya telah dipaksa keluar dari rumah mereka, sebagai Nakba baru. Mereka khawatir jika sejumlah besar warga Palestina meninggalkan Gaza, maka mereka juga tidak akan pernah kembali.
Tetap bertahan di tanahnya sendiri merupakan inti dari budaya Palestina. Hal tersebut terlihat jelas di Gaza pada Ahad (19/1/2025), ketika ribuan orang mencoba untuk kembali ke bagian wilayah yang paling banyak dihancurkan.
Menjadi garis merah
Mesir dan Yordania menolak keras gagasan untuk menerima pengungsi Gaza pada awal perang, ketika gagasan itu dilontarkan oleh beberapa pejabat Israel.
Kedua negara tersebut telah berdamai dengan Israel. Meski demikian, mereka mendukung pembentukan negara Palestina di Tepi Barat yang diduduki, Gaza dan Yerusalem timur, wilayah yang direbut Israel dalam perang Timur Tengah pada 1967. Mereka khawatir pemindahan penduduk Gaza secara permanen akan membuat hal tersebut menjadi tidak mungkin.
Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sissi juga telah memperingatkan implikasi keamanan dari pemindahan sejumlah besar warga Palestina ke Semenanjung Sinai, Mesir, yang berbatasan dengan Gaza.
Hamas dan kelompok-kelompok militan lainnya berakar kuat di masyarakat Palestina dan kemungkinan besar akan ikut pindah bersama para pengungsi. Artinya, perang di masa depan akan terjadi di wilayah Mesir, sesuatu yang dapat mengacaukan perjanjian perdamaian bersejarah Camp David yang menjadi landasan stabilitas regional.
“Perdamaian yang telah kita capai akan lenyap dari tangan kita,” kata el-Sissi pada Oktober 2023, setelah serangan Hamas ke Israel selatan memicu perang. “Semua demi ide untuk melenyapkan perjuangan Palestina.”
Itulah yang terjadi di Lebanon pada tahun 1970-an, ketika Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pimpinan Yasser Arafat, kelompok perjuangan Palestina terkemuka pada masanya, mengubah wilayah selatan negara itu menjadi landasan peluncuran untuk menyerang Israel. Krisis pengungsi dan tindakan PLO membantu mendorong Lebanon ke dalam perang saudara selama 15 tahun pada tahun 1975. Israel menginvasi dua kali dan menduduki Lebanon selatan dari tahun 1982 hingga 2000.
Yordania, yang berselisih dengan PLO dan mengusirnya dalam situasi yang sama pada tahun 1970, telah menampung lebih dari dua juta pengungsi Palestina. Sebagian besar dari mereka telah diberikan kewarganegaraan.
Kaum ultranasionalis Israel telah lama menyarankan agar Yordania dianggap sebagai negara Palestina sehingga Israel dapat mempertahankan Tepi Barat, yang mereka anggap sebagai tanah kelahiran bangsa Yahudi. Akan tetapi, Yordania dengan tegas menolak skenario tersebut.