Polri Umumkan Penyidikan Kasus LPEI yang Ditaksir Rugikan Negara Rp 712 Miliar

Kasus dugaan korupsi dan TPPU di LPEI ini berawal pada 2012 sampai dengan 2014.

ANTARA FOTO/Reno Esnir
Petugas mengecek tiga unit skuter matic yang merupakan barang bukti baru kasus dugaan korupsi Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (9/1/2025). Tiga unit skuter matic tersebut merupakan barang bukti baru dari pengembangan kasus dugaan korupsi di LPEI yang mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp1 triliun.
Rep: Bambang Noroyono Red: Mas Alamil Huda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Polri mengumumkan penyidikan baru kasus dugaan korupsi dan pencucian uang (TPPU) di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang merugikan keuangan negara mencapai 43,6 juta dolar Amerika Serikat (USD) atau sekitar Rp 712 miliar sepanjang tahun buku 2012-2016. Kasus tersebut melibatkan dua perusahaan swasta,yakni PT Duta Sarana Tehnology (DST) dan PT Maxima Inti Finance (MIF).

Baca Juga


Wakil Kepala Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri, Komisaris Besar (Kombes) Arief Adiharsa mengatakan, kasus tersebut dalam pelaporan pada 22 Januari 2025. Dan mulai dalam penyidikan melalui penerbitan surat perintah penyidikan (sprindik) Sprin.Sidik/7/I/2025/Tipidkor bertanggal 24 Januari 2025. Sebanyak 27 orang saksi sudah diperiksa oleh kepolisian terkait kasus ini. Termasuk saksi-saksi dari LPEI, PT DST, maupun PT MIF.

“Perkara: Dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian pembiayaan kepada PT DST dan PT MIF oleh LPEI yang diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara dan dugaan tindak pidana pencucian uang, yang berasal dari tindak pidana korupsi,” begitu kata Kombes Arief melalui siaran pers yang diterima wartawan Ahad (2/2/2025).

Kombes Arief menerangkan, kasus dugaan korupsi dan TPPU di LPEI ini berawal pada 2012 sampai dengan 2014. Pihak LPEI selaku badan usaha perkreditan milik negara diduga melakukan permufakatan dengan PT DST. Yaitu berupa pembiayaan senilai Rp 45 miliar, dan 4,12 juta USD.

Namun, kata dia, permufakatan untuk pembiayaan tersebut menyimpang, dan menyalahi prosedur. Serta uang pembiayaan yang digelontorkan oleh LPEI tersebut tak diperuntukan sesuai dengan pengajuan. Sehingga terjadi pekerjaan fiktif. Selanjutnya, PT DST mengalami gagal bayar atau kredit macet.

“Pihak direksi dan staf PT DST berupaya menyelesaikan masalah tersebut dengan skema novasi (pembaruan utang dengan pergantian debitur),” begitu kata Kombes Arief.

Dan PT MIF menyepakati untuk mengambil alih kredit PT DST tersebut kepada LPEI. Pun sepakat melakukan pelunasan kredit PT DST kepada LPEI sebagai kreditur. “Dengan cara PT MIF menjadi debitur LPEI dan mendapatkan pembiayaan yang sebagaian dipakai untuk kepentingan novasi tersebut,” begitu kata Kombes Arief.

 

Namun, kata Kombes Arief, proses novasi yang dilakukan oleh PT DST dengan menggandeng PT MIF tersebut, pun dikatakan menyalahi aturan. Karena dari kesepakatan novasi tersebut, pada 2014 sampai dengan 2016, LPEI menyetujui pembiayaan kepada PT MIF sebesar 47,5 juta USD.

“Yang mana proses pemberian pembiayaan tersebut, juga menyimpang dan dilakukan atas perbuatan melawan hukum,” kata Kombes Arief.

Dari penyidikan diketahui penyimpangan tersebut berupa pengajuan permohonan sampai dengan perjanjian pembiayaan yang sudah disetujui menggunakan data-data palsu.

“Dan penyimpangan pada proses pencarian dan monitoring kolektabilitas pembiayaan. Pascapencairan kredit, penggunaan uang oleh debitur juga tidak dilakukan monitoring. Sehingga debitur dapat menggunakannya untuk kepentingan selain dari perjanjian kredit dan berproses secara berulang-ulang,” ujar Kombes Arief.

“Dan dari pencairan kredit tersebut, tidak digunakan untuk pelunasan utang PT DST senilai 9 juta USD,” ujar Kombes Arief menambahkan.

Pada 2022, PT MIF dinyatakan bankrut. Namun sisa tanggungan dari kredit yang sudah dicairkan oleh LPEI menjadi kerugian negara. “PT MIF mengalami pailit dan tidak mampu melunasi seluruh kewajiban utangnya kepada LPEI sebesar 43,6 juta USD atau setara Rp 712 miliar yang merupakan kerugian negara,” begitu kata Kombes Arief.

Dan dari penyidikan juga terungkap kredit pembiayaan yang dilakukan oleh LPEI kepada dua swasta tersebut telah memperkaya pihak-pihak debitur dengan cara merugikan keuangan negara. Yaitu memperkaya PT DST senilai Rp 45 miliar dan 4,12 juta USD, dan PT MIF senilai 47,4 juta USD.

Kortastipidkor Polri belum mengumumkan tersangka dalam kasus ini. Tetapi Kombes Arief menerangkan, dari konstruksi hukum tersebut penyidik menerapkan penggunaan Pasal 2, atau Pasal 3 UU 31/1999-20/2001 tentang Tipikor. Dan Pasal 3, atau Pasal 4, atau Pasal 5 UU 8/2010 tentang pencucian uang atau TPPU.

Kasus-kasus korupsi dan TPPU yang melibatkan pembiayaan oleh LPEI ini, bukan kali pertama. Pada 2021 Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) di Kejaksaan Agung (Kejagung) juga mengungkap skandal korupsi dalam pemberian kredit LPEI yang merugikan keuangan negara setotal Rp 2,6 triliun kepada delapan swasta induk dan 27 unit anak-anak perusahaan.

Delapan orang diajukan ke persidangan, dan terbukti bersalah melakukan korupsi, dan TPPU. Kasus yang melibatkan LPEI itu, juga kembali dilaporkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani ke Jaksa Agung ST Burhanuddin pada Maret 2024 lalu.

Pelaporan tersebut, juga terkait dengan korupsi dalam pemberian kredit terhadap empat swasta yang merugikan keuangan negara Rp 2,5 triliun sepanjang 2019. Pelaporan oleh Sri Mulyani ke Kejagung tersebut berujung pada pelimpahan perkara ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan KPK hingga kini masih menangani kasus tersebut.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler