Mengapa Cara Hamas Bebaskan Sandera Bikin Israel Syok Sekaligus Malu?

Hamas membebaskan sandera Israel lewat seremoni militer, diramaikan warga Gaza.

AP Photo/Mohammed Hajjar
Pejuang Palestina ke lokasi penyerahan sandera Agam Beger di kamp pengungsi Jabalya di Kota Gaza, Kamis 30 Januari 2025.
Rep: Andri Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, Wall Street Journal (WSJ) dalam laporannya pada Ahad (2/2/2025), mengungkapkan bahwa Hamas telah membuat malu Israel lewat cara mereka melepaskan para sandera secara bertahap sebagai bagian dari kesepakatan gencata senjata di Gaza. Seperti dikutip WSJ, penelitian lembaga Rory Jones and Summer Said mengklaim bahwa Hamas secara sengaja dan lewat perencanaan detail, ingin membuat pelepasan sandera sebagai suatu pertunjukan dengan tujuan tertentu.

Baca Juga


Sebagai contoh, saat dua sandera dilepaskan di dekat rumah almarhum petinggi Hamas, Yahya Sinwar di Khan Younis pada Kamis (31/1/2025), seremoni pembebasan saat itu menjadi begitu dramatis dan jadi bahan pemberitaan media massa internasional. WSJ mengutip sumber, rencana Hamas adalah melepaskan setiap tawanan satu persatu lewat cara yang sulit sebagai demonstrasi unjuk kekuatan dan merusak reputasi Israel di mata dunia.

Pada Sabtu (1/2/2025), giliran tawanan berdwikewarganegaraan Israel-AS, Keith Shmuel Segal (65) dilepaskan oleh Brigade Al-Qassam di pelabuhan Gaza, lewat seremoni yang seperti ingin menunjukkan eksistensi kekuatan Hamas. Menurut laporan Al Jazeera, adegan pelepasan Keith Segal adalah pesan pembangkangan Hamas terhadap Israel.

Segal diserahkan oleh Unit Bayangan Al-Qassam ke ICRC di bawah pengamanan ketat oleh berbagai divisi militer Al-Qassa, termasuk infrantri, penembak jitu, dan unit anti-armor. Tampak latar raksasa yang menampilkan foto-foto para syuhada petinggi Hamas termasuk Muhammad Al Deif. 

Kejutan besar terjadi lewat kehadiran komandan Batalion Al-Shati, Haitham Al-Hawajri, dengan seragam militer lengkap. Kehadirannya, seperti disebutkan oleh koresponden Al Jazeera di Gaza, sangat signifikan bagi Hamas lantaran sebelumnya Israel pernah mengklaim Al-Hawajri tewas terbunuh dalam sebuah pertempuran.

Sejak pagi, ratusan warga Palestina sudah menunggu di pelabuhan Gaza untuk menyaksikan pelepasan Segal. Sebagian wanita melempar bunga ke arah pejuang Al-Qassam, dan permen-permen didistribusikan sebagai bagian dari perayaan. Kebanyakan yang hadir adalah para pengungsi dari utara Gaza yang sekarang kembali ke rumah lewat area pelabuhan.

Tentara Israel Agam Berger melambai ke kerumunan di samping pejuang Jihad Islam saat dia diserahkan ke Palang Merah di Jabalya di Kota Gaza, Kamis, 30 Januari 2025. - (AP Photo/Mohammed Hajjar)

Menurut Al Jazeera, pelabuhan Gaza dipilih Hamas melepaskan Segal sebagai simbol pengingat atas kelanjutan Hamas sebagai pemegang otoritas di Gaza. Momen pelepasan Segal sangat jelas sebagai pesan dari Hamas kepada Israel bahwa mereka tetap bisa mempertahankan hukum dan keamanan di Gaza meski di bawah kendali operasi militer Zionis.

Kendaraan warna putih yang digunakan untuk pertukaran tawanan juga menjadi simbol psikologi yang kuat bagi warga Israel. Kendaraan-kendaraan itulah yang pada 7 Oktober digunakan para militan Hamas melancarkan serangan dan menangkapi sandera Israel.

Situasi berbeda terjadi di Tel Aviv saat proses pelepasan sandera disiarkan langsung oleh stasiun televisi. Merujuk laporan WSJ, warga Israel syok tak menyangka saat menyaksikan siaran langsung pembebasan sandera. Mereka kaget bahkan sampai bertepuk tangan gembira saat para sandera dilepaskan Hamas, meski tragedi 7 Oktober 2023 masih tak lekang di ingatan mereka.

 

Analis Al Jazeera, Elias Karam menyatakan, bahwa, militer Israel saat ini harus menghadapi kenyataan bahwa Hamas masih beroperasi. Padahal, rezim Zionis termasuk Benjamin Netanyahu telah berulang kali mengklaim bahwa Hamas telah hancur seluruhnya hasil dari 15 bulan operasi militer di Gaza.

Kontradiksi itu pun memicu skeptisisme di antara warga Israel. Menurut poling Maariv, hanya 4 persen warga Israel percaya bahwa perang 15 bulan telah mencapai tujuannya. Statistik yang dinilai oleh Al Jazeera akan memaksa para pemimpin Israel untuk mengkaji ulang strategi militer mereka.

Adapun, menurut laporan WSJ, strategi Hamas dalam melepaskan para sandera Israel bisa membuat negosiasi ke depannya menjadi sulit dan mengancam peluang gencatan senjata dalam jangka panjang. Yossi Kuperwasser, mantan pejabat intelijen Israel, menilai Hamas memanfaatkan momen pertukaranan sandera lewat aksi teaterikal malah bisa menjadi bumerang.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pun menilai cara Hamas melepaskan sandera sebagai kesalahan. "Saya telah mendesak mediator untuk memastikan hal-hal seperti itu tidak terjadi lagi dan tahanan kami dihormati," kata Netanyahu.

 

Poin Kesepakatan Gencatan Senjata - (Republika)

 

Dalam sebuah artikel yang dimuat oleh Financial Times, dilansir Mehr News pada Senin (3/2/2025), mantan pejabat intelijen Israel, Michael Milshtein, mengatakan bahwa 15 bulan perang, "tidak membuat Hamas kolaps dan memaksa mereka melepaskan sandera."

Menurut Milshtein, militer Israel memang meraih capaian taktikal dalam perang namun tujuan perang gagal tercapai. "Hamas tetap berkuasan, dan tetap menjadi aktor dominan di Gaza. Titik," kata  Milshtein.

Kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas dicapai pada bulan lalu setelah 15 bulan peperangan berlangsung di Gaza di manan sedikitnya 47.500 warga Palestina terbunuh, yang kebanyakan adalah wanita dan anak-anak. Rezim Netanyahu dipaksa menerima kesepakatan gencatan senjata setelah gagal meraih tujuan perang, termasuk membebaskan para sandera, 'melenyapkan' Hamas dan malah bisa membuat seluruh populasi Gaza mengungsi ke Mesir.

Kesepakatan gencatan senjata terdiri dari tiga tahap, di mana tahap pertama saat ini tengah berjalan dan berlangsung dalam 42 hari. Netanyahu berulang kali mengatakan, bahwa perang bertujuan menghancurkan Hamas di Gaza dan mengembalikan semua tawanan Israel.

"Namun semakin jelas bahwa tujuan-tujuan itu hampir pasti tidak cocok lagi. Perang tidak berakhir dalam waktu dekat, yang mana bisa membebaskan 33 sandera, tapi malahan Hamas muncul untuk mengambil kembali kontrol di Gaza, berparade dengan senjata mereka dan mengorganisasi aksi massa," tulis Financial Times.

Merujuk artikel Financial Times, janji Netanyahu soal 'kemenangan total', adalah sebuah 'chimera'. Sebuah kiasan yang menggambarkan harapan yang sulit atau tidak mungkin untuk diwujudkan.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler