Akibat Genosida, Media Israel: Pengusaha Israel Sebut Merk Terafiliasi Israel Berbahaya

Israel berada di peringkat terendah terkait merk.

Republika/Thoudy Badai
Massa aksi peduli Palestina menggelar unjuk rasa di depan kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta, Jumat (25/10/2024). Aksi tersebut sebagai bentuk kecaman atas kekejaman yang dilakukan Israel terhadap warga di Palestina dengan meluncurkan serangan ke wilayah Jabalia, Gaza Utara, Palestina serta menuntut pemerintah Amerika Serikat untuk menghentikan dukungan terhadap Israel. Selain itu aksi tersebut juga mengajak massa aksi dan seluruh warga untuk melakukan boikot terhadap produk-produk yang terafiliasi dengan Israel.
Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Sebuah situs media Israel bernama Globus menampilkan survei mengenai indeks merk nasional. Dilakukan pada Juli hingga Agustus 2024, survei ini membuktikan bahwa Gen Z sangat menolak produk terafiliasi Israel. Mereka memberikan skor terendah terhadap brand dan merk terafiliasi Israel. 

Baca Juga


Survei yang berhasil meraih pendapat 40 ribu orang dari 20 negara tersebut memeringkat 50 negara, dan menunjukkan 6 aspek kekuatan merek mereka: politik dan pemerintahan, budaya, orang dan masyarakat, ekspor, migrasi dan investasi, serta pariwisata.

Studi yang dilakukan dalam konteks ini menunjukkan bahwa Generasi Z sangat menolak Israel, "memberikannya skor serendah mungkin pada semua kriteria." Laporan tersebut juga mencatat adanya “boikot de facto terhadap produk-produk Israel,” yang menempatkan ekspor Israel pada risiko besar, dengan penolakan besar terhadap produk-produk yang berlabel “Buatan Israel”.

Laporan tersebut menemukan bahwa "Israel terkait dengan ketidakstabilan global." Gen Z melihat negara zionis tersebut secara negatif. "Israel dilihat sebagai bagian dari kekuatan kekacauan, bukan mereka yang berkontribusi pada stabilitas global."

Dalam konteks ini, pengusaha sekaligus pendiri "Brands Israel", Moti Sherf, yang bertujuan untuk mempromosikan merek Israel di seluruh dunia, mengatakan bahwa "merek Israel telah berada dalam situasi berbahaya sejak pecahnya perang."

Sherf menambahkan bahwa "Israel telah kehilangan legitimasinya di komunitas internasional dan telah menjadi latar belakang dalam urusan dunia," seraya mencatat bahwa "sudah saatnya mengakui kegagalan diplomasi publik tradisional dan mengadopsi model inovatif untuk merek Israel."

Israel langgar perjanjian

Lebanon mengajukan keluhan kepada Dewan Keamanan (DK) PBB pada Selasa terhadap Israel atas pelanggaran yang terus berlanjut terhadap perjanjian gencatan senjata dan Resolusi PBB 1701.

Dalam pernyataan Kementerian Luar Negeri Lebanon, disebutkan keluhan tersebut diajukan melalui misi tetap Lebanon di New York sebagai tanggapan atas pelanggaran Israel terhadap Resolusi 1701 dan deklarasi penghentian permusuhan, serta pengabaian total terhadap pengaturan keamanan terkait.

Resolusi 1701, yang diadopsi pada 11 Agustus 2006, menyerukan penghentian total permusuhan antara Hizbullah dan Israel serta pembentukan zona bebas senjata antara Garis Biru (Blue Line) dan Sungai Litani di Lebanon selatan, dengan pengecualian bagi tentara Lebanon dan pasukan UNIFIL.

Menurut kementerian, keluhan tersebut menjelaskan secara rinci pelanggaran Israel di Lebanon selatan, termasuk serangan darat dan udara, penghancuran rumah dan kawasan permukiman, penculikan warga Lebanon, termasuk tentara, serta serangan terhadap warga sipil yang kembali ke desa-desa perbatasan mereka.

Keluhan itu juga menyoroti Israel yang menargetkan patroli militer Lebanon dan jurnalis, serta penghapusan lima penanda perbatasan di sepanjang Garis Biru yang merupakan perbatasan de facto.

 

Keluhan Lebanon tersebut juga menyebut tindakan Israel sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap Resolusi 1701 dan kedaulatan negara tersebut.

Lebanon mendesak Dewan Keamanan PBB dan para pendukung kesepakatan gencatan senjata untuk mengambil sikap tegas dan jelas terhadap pelanggaran Israel serta bekerja untuk memperkuat tentara Lebanon dan pasukan UNIFIL.

Gencatan senjata yang rapuh telah berlangsung sejak 27 November 2024. Kesepakatan itu mengakhiri periode saling serang antara Israel dan Hizbullah yang dimulai pada 8 Oktober 2023 yang kemudian meningkat menjadi konflik berskala besar pada 23 September 2024.

Media Lebanon melaporkan lebih dari 830 pelanggaran telah dilakukan Israel sejak kesepakatan diberlakukan.

Israel seharusnya menyelesaikan penarikan pasukannya dari Lebanon pada 26 Januari 2025 berdasarkan kesepakatan gencatan senjata, namun mereka menolak, sehingga tenggat waktu mundur dan diperpanjang hingga 18 Februari, menurut Gedung Putih.

Sejak 26 Januari, setidaknya 26 orang tewas dan 221 lainnya mengalami luka-luka akibat tembakan Israel ketika warga setempat mencoba kembali ke desa-desa mereka di Lebanon selatan.

Israel hambat bantuan kemanusiaan

Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, menuduh Israel pada Selasa sengaja menunda-nunda akses bantuan kemanusiaan ke Gaza berdasarkan kesepakatan gencatan senjata.

Juru bicara Hamas, Hazem Qassem, pada Selasa (4/2), mengatakan Israel sengaja menunda dan menghalangi masuknya kebutuhan paling mendesak, terutama tenda, rumah rakitan, bahan bakar, dan alat berat untuk membersihkan puing-puing.

"Apa yang telah dicapai dalam hal ini jauh di bawah batas minimum yang disepakati, yang berarti kurangnya komitmen yang jelas terhadap aspek bantuan dan kemanusiaan," tambahnya.

 

Hamas mendesak para mediator dan penjamin gencatan senjata di Gaza untuk campur tangan dan mengatasi ketidakseimbangan dalam penerapan protokol kemanusiaan dari kesepakatan tersebut.

Qassem juga menyampaikan bahwa Israel meninggalkan kehancuran besar, terutama di Gaza utara, tempat pendudukan menghancurkan semua aspek kehidupan di sana yang menjadikan bantuan sebagai jalur utama dalam perjanjian gencatan senjata.

Menurut kantor media pemerintah Gaza, serangan Israel selama 15 bulan telah menghancurkan 88 persen infrastruktur Gaza.

Kesepakatan gencatan senjata mulai berlaku pada 19 Januari, menghentikan perang genosida Israel yang telah menewaskan lebih dari 47.500 orang dan melukai lebih dari 111.000 lainnya sejak 7 Oktober 2023.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan pada November tahun lalu terhadap Kepala Otoritas Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Kepala Pertahanan Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas perang yang dilakukan terhadap wilayah tersebut.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler