Senang Bashar Assad Terjungkal, Kini Warga Suriah Sedih karena Ekonomi Terpuruk
Suriah sedang berupaya menuju stabilitas pembangunan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberhasilan pasukan pimpinan Ahmad al Sharaa alias al Julani (Haiat Tahrir Syam/HTS) menggulingkan Bashar Assad disambut banyak pihak dengan kebahagiaan. Ribuan warga Suriah di pengasingan kembali ke daerah asalnya.
Namun kebahagiaan itu tidak berjalan lama. Kantor berita Reuters menerbitkan laporan tentang situasi pengungsi Suriah yang memutuskan untuk kembali ke tanah air mereka dari Turki setelah jatuhnya rezim sebelumnya. Ini menunjukkan penyesalan mereka atas kepindahan itu setelah dikejutkan oleh kondisi kehidupan yang keras dan situasi ekonomi yang sulit.
Reuters melaporkan pengalaman beberapa orang pengungsi Suriah, seperti "Kebahagiaan Ahmed Al Syekh saat kembali ke tanah airnya Suriah dari negara tetangga Turki setelah jatuhnya rezim sebelumnya berubah menjadi kekecewaan yang pahit karena kondisi kehidupan yang keras di Suriah setelah sekitar 13 tahun perang.
Syekh adalah salah satu dari 35.000 warga Suriah yang meninggalkan Turki menuju Suriah dengan penuh harapan selama tiga minggu pertama setelah Assad digulingkan pada 8 Desember, menyerahkan hak mereka untuk kembali ke Turki setelah menandatangani dokumen pemulangan sukarela.
Dia merupakan salah satu penggemar berat orang-orang yang mengambil alih pemerintahan baru di Suriah, karena ia bermimpi membangun kembali rumahnya yang telah dibom di Aleppo, dan kini ia merasa terusik oleh kondisi kehidupan yang relatif buruk, serta minimnya kesempatan kerja dan pendidikan.
Menurut Reuters, syekh berpikir untuk kembali ke Turki karena kondisi kehidupannya relatif stabil, begitu pula kehidupan pendidikan anak-anaknya, namun syekh tidak dapat kembali ke Turki karena ia telah menandatangani dokumen untuk kembali secara sukarela ke Suriah.
“Sebagian besar pengungsi awalnya bersemangat untuk kembali setelah jatuhnya rezim Assad, tetapi semangat itu memudar seiring berjalannya waktu,” kata Kadri Gungurur, direktur kesejahteraan sosial di Asosiasi Pengungsi di Turki, mengutip keluhan seperti kurangnya layanan pendidikan dan kesehatan.
"Beberapa keluarga merasa menyesal dan ingin kembali, ketika mereka membandingkan kondisi kehidupan di Turki dan Suriah," tambah Gongurur.
Merencanakan kepulangan mereka ke tanah air
Badan tersebut mengindikasikan bahwa sebagai akibat dari pengalaman negatif, Menteri Dalam Negeri Turki Ali Yerlikaya mengumumkan pada akhir tahun 2024 sebuah rencana yang bertujuan untuk memungkinkan para migran merencanakan dengan lebih baik kepulangan mereka ke tanah air.
Menurut Reuters, syekh berpikir untuk kembali ke Turki karena kondisi kehidupannya relatif stabil, begitu pula kehidupan pendidikan anak-anaknya, namun syekh tidak dapat kembali ke Turki karena ia telah menandatangani dokumen untuk kembali secara sukarela ke Suriah.
“Sebagian besar pengungsi awalnya bersemangat untuk kembali setelah jatuhnya rezim Assad, tetapi semangat itu memudar seiring berjalannya waktu,” kata Kadri Gungurur, direktur kesejahteraan sosial di Asosiasi Pengungsi di Turki, mengutip keluhan seperti kurangnya layanan pendidikan dan kesehatan.
"Beberapa keluarga merasa menyesal dan ingin kembali, ketika mereka membandingkan kondisi kehidupan di Turki dan Suriah," tambah Gongurur.
Merencanakan kepulangan mereka ke tanah air
Badan tersebut mengindikasikan bahwa sebagai akibat dari pengalaman negatif, Menteri Dalam Negeri Turki Ali Yerlikaya mengumumkan pada akhir tahun 2024 sebuah rencana yang bertujuan untuk memungkinkan para migran merencanakan dengan lebih baik kepulangan mereka ke tanah air.
Program ini memungkinkan kepala keluarga imigran Suriah untuk mengunjungi Suriah tiga kali antara Januari dan Juni tahun ini, menurut dokumen dari Kementerian Dalam Negeri.
Yerlikaya mengatakan bahwa antara jatuhnya Assad dan akhir Januari, 81.576 warga Suriah memasuki Suriah, yang menunjukkan sedikit penurunan dalam tingkat kepulangan harian dari Desember menjadi sekitar 1.600 orang per hari. Tidak jelas berapa banyak warga negara yang kembali pada bulan Januari yang menandatangani dokumen kepulangan sukarela.
Badan tersebut menjelaskan bahwa "sebagian warga Suriah lebih cenderung menunggu dan melihat apa yang terjadi."
Sementara itu, warga negara Suriah Jaafar, yang datang ke Turki 12 tahun lalu, mengatakan bahwa dia tidak akan berpikir untuk kembali bersama istri dan ketiga anaknya sampai kondisi di Suriah membaik.
Ia menambahkan: “Saat ini anak-anak saya beradaptasi dengan baik di Turki, sehingga kemungkinan mereka untuk tetap tinggal di sini lebih besar karena mereka telah beradaptasi dengan kehidupan, bahasa, dan pendidikan di Turki.”
Ia menambahkan, "Warga Suriah mungkin akan kembali di masa mendatang,
Jumlah pengungsi yang kembali
Lebih dari 81.000 warga Suriah telah meninggalkan Turki dan kembali ke negara asal mereka di bawah otoritas baru di Damaskus, kata Menteri Dalam Negeri Turki Ali Yerlikaya.
Menurut data saat ini, ada lebih dari 2.870.000 pengungsi Suriah yang tinggal di Turki.
"Dari 9 Desember hingga hari ini, 81.576 warga Suriah telah secara sukarela kembali ke SAR (Republik Arab Suriah)," kata Yerlikaya di Ankara, Rabu.
Lebih dari 821.000 warga Suriah telah secara sukarela kembali ke rumah dari Turki sejak 2017, katanya menambahkan.
Pada awal Januari, Yerlikaya mengatakan bahwa rata-rata 11.000 warga Suriah setiap bulan meninggalkan Turki sebelum pergantian otoritas di Damaskus.
Arus pengungsi sekarang telah meningkat secara signifikan, kata menteri tersebut.
Sebanyak enam pos pemeriksaan di sisi Turki telah dibuka memfasilitasi kembalinya warga Suriah ke tanah air mereka.
Sebagian besar pengungsi telah kembali ke Suriah dari provinsi perbatasan Turki, Gaziantep dan Hatay, serta dari Istanbul.
Secara umum, menurut data resmi, terdapat sekitar setengah juta warga Suriah di provinsi Istanbul.
Tantangan pemerintah Suriah
Dunia menyaksikan krisis pengungsian terbesar dalam sejarah modern ketika perang saudara Suriah memaksa jutaan warganya terusir, meninggalkan kampung halamannya selama 14 tahun terakhir.
Kini, setelah rezim Bashar Al-Assad runtuh, banyak warga mulai kembali ke rumah mereka, antre panjang di perbatasan, atau tiba melalui beberapa bandara yang masih beroperasi di negara tersebut.
Meski ada harapan yang tumbuh, badan pengungsi PBB (UNHCR) tetap khawatir terhadap tantangan yang dihadapi, mulai dari risiko keamanan hingga infrastruktur yang hancur.
Juru bicara UNHCR, William Spindler, dalam wawancara dengan Anadolu menyatakan bahwa meskipun ada kemajuan, situasinya masih tidak stabil.
Suriah saat ini masih menangani setidaknya 7,7 juta pengungsi di dalam negeri dan lebih dari 6 juta pengungsi di negara-negara tetangga.
Meski lebih dari 125.000 pengungsi telah kembali sejak runtuhnya rezim Assad, banyak yang masih enggan pulang karena kekerasan terus berlanjut, minimnya layanan dasar, dan kesulitan ekonomi.
"Orang-orang menunggu untuk melihat bagaimana situasi ini berkembang," ujar Spindler. "Ada banyak kemajuan karena situasinya semakin stabil, tetapi belum sepenuhnya stabil di seluruh wilayah".
Keamanan tetap menjadi perhatian utama, begitu pula dengan kerusakan parah pada infrastruktur negara, termasuk sistem air bersih dan sanitasi, perumahan, sekolah, serta rumah sakit yang hancur akibat perang.
"Peristiwa baru-baru ini ... bisa menjadi peluang untuk mengakhiri krisis pengungsian besar ini, asalkan kondisi di dalam Suriah memungkinkan orang untuk kembali dengan aman, bermartabat, dan berkelanjutan. Kami tidak ingin orang kembali hanya untuk menjadi pengungsi lagi," tambah Spindler.
Kebutuhan keamanan dan stabilitas
Spindler menegaskan bahwa agar kepulangan warga Suriah berhasil, Suriah sendiri harus memastikan keamanan dan keberlanjutan.
Banyak pengungsi saat ini kembali sementara untuk menilai situasi, hanya untuk menemukan rumah mereka hancur, menghadapi masalah hukum terkait properti, serta akses terbatas terhadap kebutuhan dasar seperti makanan, pendidikan, dan layanan kesehatan.
"Itulah mengapa sangat penting untuk membantu transisi menuju Suriah yang stabil," kata Spindler.
"Komunitas internasional perlu membantu mengaktifkan kembali ekonomi, menciptakan kondisi bagi kepulangan yang berkelanjutan sehingga ketika orang kembali, mereka bisa tinggal dengan akses terhadap mata pencaharian, tempat tinggal, dan layanan dasar."
Seruan penghapusan sanksi ekonomi
Spindler juga menyerukan upaya internasional untuk menghidupkan kembali ekonomi Suriah dan memulihkan layanan penting.
Ia mendesak penghapusan sanksi ekonomi yang dinilainya memperburuk penderitaan warga sipil dan menghambat upaya rekonstruksi.
"Sanksi diberlakukan oleh pemerintah karena sifat rezim sebelumnya; (sekarang) rezim itu tidak lagi ada. Jadi tidak ada alasan untuk mempertahankan sanksi," katanya, menegaskan kembali seruan PBB untuk mencabut sanksi yang terus menghambat pemulihan ekonomi.
"Jika kita semua, terutama warga Suriah, ingin mereka kembali, kita perlu menciptakan kondisi ekonomi yang sesuai dan mendukung kepulangan tersebut," tambahnya.
"Karena itu, penting untuk menghidupkan kembali ekonomi dan menyediakan layanan."
Meski ada harapan yang berkembang untuk mengakhiri krisis pengungsian, Spindler menegaskan posisi UNHCR yang menentang pengembalian paksa. Ia menekankan bahwa pemulangan harus tetap bersifat sukarela.
"Posisi UNHCR adalah bahwa karena kondisi belum siap, tidak boleh ada paksaan untuk kembali ke Suriah," ujar Spindler.
"Warga Suriah harus diberi waktu dan ruang untuk membuat keputusan yang tepat kapan harus kembali, tanpa tekanan."
Menurut dia, tidak ada warga Suriah yang boleh dipulangkan secara paksa selama kondisi masih tidak stabil. Dia menyebutkan bahwa lembaganya bekerja dengan negara-negara tuan rumah untuk memastikan pemulangan dilakukan secara sukarela dan menghormati martabat manusia.
"Kami mengimbau kehati-hatian dan kesabaran," katanya kepada negara-negara tuan rumah.
Menurut Spindler, berdasarkan tren historis, "sebagian besar pengungsi" pada akhirnya akan memilih untuk kembali.
Perlu Rp5 triliun untuk semester awal 2025
Dalam menghadapi tekanan internasional untuk menangani krisis Suriah yang sedang berlangsung, Spindler menyoroti pentingnya respons global yang terkoordinasi untuk menangani kebutuhan mendesak dan penyelesaian jangka panjang atas masalah pengungsian.
UNHCR sedang mencari dana sebesar 310 juta dolar AS (sekitar Rp 5triliun) untuk mendukung upaya membantu pengungsi Suriah dan yang kembali ke negara itu selama enam bulan pertama 2025.
Permohonan ini mencakup bantuan bagi 200.000 anggota masyarakat yang akan menampung para pengungsi yang kembali, serta pengungsi internal (IDP).
Badan ini memperkirakan hingga 1 juta pengungsi akan kembali antara Januari dan Juni 2025, disertai lebih dari 2 juta IDP yang kembali, serta lebih dari 1 juta pengungsi internal yang kembali pada periode yang sama.
UNHCR juga menyoroti bahwa lebih dari 16 juta orang, atau 90 persen penduduk Suriah, saat ini hidup di bawah garis kemiskinan dan bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup.