DEN: RI Berpotensi Tarik Relokasi Industri dari Tarif AS ke China

Relokasi industri ini dapat menguntungkan perekonomian Indonesia.

Republika/Agung Supriyanto
Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri. Penerapan tarif 10 persen oleh AS terhadap barang impor dari China membuka peluang relokasi industri yang menguntungkan ekonomi negara.
Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri menilai penerapan tarif 10 persen oleh Amerika Serikat (AS) terhadap barang impor dari China membuka peluang relokasi industri yang dapat menguntungkan perekonomian Indonesia. Presiden AS Donald Trump meneken aturan yang menerapkan tarif impor terhadap barang asal China.

Baca Juga


"Dengan penerapan tarif 10 persen terhadap China dan juga ada trade war antara Amerika dengan China itu bukan tidak mungkin basis produksi akan berpindah dari China ke negara-negara yang tidak dikenakan impor tarif. Salah satunya Indonesia," kata Chatib di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (6/2/2025).

Agar dapat memanfaatkan peluang tersebut, DEN merekomendasikan agar Indonesia melakukan perbaikan iklim investasi, meningkatkan kepastian usaha, dan menjaga konsistensi kebijakan.

"Karena kalau ini yang terjadi, maka posisi Indonesia sebetulnya bisa diuntungkan. Karena ada relokasi dari basis produksi dari China kepada Vietnam dan mungkin kalau Vietnam nanti terlalu penuh akan lari kepada Indonesia," ujarnya.

Sektor-sektor yang berpotensi terdampak relokasi ini mencakup manufaktur dan berbagai industri yang sebelumnya berbasis di China. Perusahaan akan mencari lokasi dengan biaya produksi yang lebih kompetitif untuk menghindari tarif tinggi yang dikenakan AS.

Lebih lanjut, Chatib menekankan pentingnya reformasi birokrasi melalui digitalisasi atau GovTech guna mempercepat proses administrasi dan meningkatkan daya tarik investasi Indonesia.

Ia menilai bahwa percepatan digitalisasi dalam sistem pemerintahan dapat membantu memperbaiki iklim investasi dan memastikan Indonesia benar-benar meraup manfaat dari pergeseran rantai pasok global ini.

 

Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump menandatangani perintah eksekutif untuk memberlakukan tarif impor terhadap Kanada, Meksiko, dan China yang berlaku mulai 4 Februari sebagai bentuk "hukuman" terhadap perdagangan ilegal narkoba, khususnya fentanil dan imigran gelap.

Tarif sebesar 25 persen akan dikenakan pada impor barang dari Kanada, kecuali sumber daya energi, yang tarifnya ditetapkan sebesar 10 persen. Tarif 25 persen juga dikenakan pada impor barang dari Meksiko.

Sedangkan impor dari China, yang sudah terkena bea masuk, akan dipungut tarif tambahan 10 persen.

Pemerintah China menyebut alasan pemerintahan Donald Trump menerapkan tarif impor 10 persen terhadap barang-barang asal China karena menganggap negara Tirai Bambu itu sebagai penyuplai fentanil adalah kekeliruan.

"China adalah salah satu negara terkeras di dunia dalam penanggulangan narkotika baik dari segi kebijakan maupun implementasi. Fentanil adalah masalah bagi AS dan akar penyebabnya terletak pada negara itu sendiri," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian dalam konferensi pers di Beijing pada Rabu.

"China telah memberikan dukungan kepada AS terhadap masalah fentanil dengan semangat kemanusiaan. Atas permintaan AS, China mengumumkan pada 2019 keputusan untuk secara resmi menjadwalkan zat-zat terkait fentanil sebagai substansi narkoba, kami adalah negara pertama di dunia yang melakukannya," tegas Lin Jian.

Dalam beberapa tahun terakhir, China, menurut Lin Jian telah melakukan kerja sama antinarkotika praktis dengan pihak AS secara luas.

"Prestasi yang telah kami buat dapat dilihat oleh semua orang di berbagai bidang seperti pengaturan zat-zat terkait narkoba, pembagian informasi intelijen, kerja sama pada kasus-kasus individual, penghapusan iklan daring, pertukaran teknologi pengujian narkoba dan interaksi multilateral," tambah Lin Jian.

 

Namun, terlepas dari prestasi China dalam kerja sama antinarkotika, Lin Jian mengungkap AS tetap ingin untuk mengenakan tarif tambahan sebesar 10 persen pada impor China dengan dalih masalah fentanil.

"China dengan tegas menyesalkan dan menentang langkah ini dan telah mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mempertahankan hak dan kepentingan kami yang sah. Menjadikan pihak lain kambing hitam tidak dapat menyelesaikan masalah," ungkap Lin Jian.

Lin Jian menegaskan perang dagang dan tarif tidak akan menghasilkan pemenang.

"Menekan atau mengancam China bukanlah cara yang tepat untuk terlibat dengan kami. Mengurangi permintaan domestik terhadap obat-obatan terlarang dan meningkatkan kerja sama penegakan hukum merupakan solusi mendasar bagi krisis fentanil di AS. China akan dengan tegas mempertahankan hak dan kepentingan kami yang sah," tambah Lin Jian.

Lin Jian menyebut dalam percakapan telepon antara Presiden China Xi Jinping dan Presiden AS Donald Trump pada 17 Januari, China telah menjelaskan posisi dan prinsipnya dengan jelas.

"Kedua pihak telah mencapai kesepahaman bersama pada prinsipnya tentang keterlibatan dalam kerja sama yang saling menguntungkan. Yang dibutuhkan sekarang bukanlah kenaikan tarif sepihak, tetapi dialog dan konsultasi yang setara dengan rasa saling menghormati," kata Lin Jian.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler