Guru Besar UGM Bela Sertifikat di Atas Pesisir Laut, Ini Penjelasannya

Maria sebut banyak suku-suku asli Indonesia yang rumahnya terapung

Republika/Edwin Dwi Putranto
Pagar laut dengan latar belakang gedung apartemen PIK 2 terlihat di perairan Pantai Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, Jumat (10/1/2024). Pagar laut di pesisir Laut Tangerang, Banten itu terbentang sepanjang 30,16 kilometer.
Rep: Bayu Adji P  Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria Suwardjono keberadaan sertifikat hak atas tanah yang berada di perairan pesisir bukanlah hal baru. Ia menilai, sertifikat kepemilikan di perairan pesisir merupakan hal lumrah.

Baca Juga


Maria mengatakan, pemberian hak atas tanah yang berada di perairan pesisir adalah hal yang sudah lama diatur. Hal itu diatur dalam Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

"Jadi kalau sekarang kita mempertanyakan hak atas tanah di wilayah perairan pesisir, itu sebetulnya sudah lama sekali. Dalam pasal 1 UU PA sudah membuka peluang itu," kata dia melalui keterangannya, Jumat (7/2/2025).

Ia mencontohkan, sejumlah suku di Indonesia banyak yang membangun rumah di lahan di atas perairan pesisir. Misalnya, kata dia, Suku Bajo yang kondang memiliki pemukiman terapung di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah (Sulteng).

Bahkan, ia menyebutkan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pernah menyerahkan sertifikat hak guna bangunan (HGB) kepada Suku Bajo pada 2022, yang ketika itu Kementerian ATR/BPN dipimpin Sofyan Djalil. Setahun kemudian, Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto menyerahkan HGB kepada Suku Bajo yang menghuni Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra).

"Banyak sekali suku-suku asli yang rumahnya terapung, termasuk Suku Laut dan Suku Barok di Kepulauan Riau, atau HGB untuk suku Kampung Laut yang hidup di perairan Batam. Mereka punya hak atas lahan yang ditempatinya. Jadi, hak lahan di perairan pesisir itu memang bukan hal baru," kata Maria.

 

Sementara itu, Pakar Hukum Agraria UGM Prof Nurhasan Ismail menjelaskan, dalam Pasal 1 ayat 4 Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria telah jelas disebutkan pengertian tanah termasuk daratan yang posisiya di bawah air. Artinya, baik perairan pesisir maupun yang danau atau sungai, masuk definisi tanah atau lahan.

Menurut dia, tanah di bawah kolom air tak bisa melepaskan diri dari peraturan perundang-undangan bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Karena itu, jika yang ingin dimanfaatkan adalah kolom airnya, maka masuk peran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk tingkat pusat. "Jika lokasinya di daerah menjadi wewenang kepala daerah atau dinas terkait," kata dia.

Terkait gaduh pagar laut yang telah mengantongi HGB dan SHM di Tangerang dan Sidoarjo, dia menyebutnya sebagai bentuk kelatahan. Pasalnya, berdasarkan aturan hukum, wilayah itu memungkinkan mendapatkan HGB.

“Misalnya di Sidoarjo, kalau HGB-nya mau diperpanjang, berati sudah 25 tahun yang lalu diberikan. Jadi, kenapa dipermasalahkan sekarang? Itu kelatahan politis dari DPR,” kata dia.

Di sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa hingga Pantai Selatan Madura, masyarakat memanfaatkan pesisir untuk menopang kehidupannya. Pelan-pelan mereka melakukan reklamasi, rujukan yang digunakan cukup dengan hukum adat.

“Karena tidak ada tanah lagi, negara tidak mampu menyediakan tanah untuk mereka. Ya mereka membentuk sendiri tanah itu. Pantai utara sepanjang Pulau Jawa ini, termasuk Madura," kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler