Paus Fransiskus: Amerika Serikat Sedang Krisis Besar di Tangan Donald Trump
Paus Fransiskus menyebut Trump tak boleh menganggap semua imigran sebagai penjahat.
REPUBLIKA.CO.ID, VATIKAN -- Sejak masa kampanye, Donald Trump sudah menyuarakan misi besarnya menjadikan Amerika kembali hebat. Narasi itu direalisasikan dengan memenjarakan imigran ilegal, salah satunya di penjara super maksimum Guantanamo, yang dahulu dipakai untuk menahan dan menyiksa tahanan kasus terorisme.
Sejak Trump dilantik, hal itu direalisasikan, Trump menebalkan pengamanan perbatasan. Tujuannya untuk mencegah imigran ilegal masuk Amerika. Kemudian memperketat razia orang asing. Mereka yang tak punya dokumen lengkap akan langsung diamankan.
Paus Fransiskus mengkritik keras tindakan keras Presiden AS Donald Trump terhadap imigran. Hal itu dia sampaikan dalam surat terbuka yang tidak biasa kepada para uskup Katolik Amerika pada hari Selasa (11/2/2025). Dalam catatan itu, Fransiskus menuliskan, bahwa mengkriminalisasi imigran dan mengambil tindakan yang didasarkan pada kekerasan "akan berakhir buruk".
Paus, yang bulan lalu menyebut rencana Trump untuk mendeportasi jutaan imigran sebagai aib, mengatakan, adalah salah jika berasumsi bahwa semua imigran gelap adalah penjahat, sebagaimana diberitakan Reuters.
"Saya mengimbau seluruh umat beriman Gereja Katolik ... untuk tidak menyerah pada narasi yang mendiskriminasi dan menyebabkan penderitaan yang tidak perlu bagi saudara-saudari imigran dan pengungsi kita," kata Paus.
Fransiskus, yang menjabat sebagai Paus sejak 2013, telah lama mengkritik kebijakan imigrasi Trump. Pada tahun 2016, selama kampanye pertama Trump di Gedung Putih, Paus mengatakan bahwa Trump "tidak beragama Kristen" dalam pandangannya tentang imigrasi.
Dalam suratnya pada hari Selasa, Fransiskus menyebut tindakan keras imigrasi sebagai "krisis besar" bagi AS.
"Apa yang dibangun atas dasar kekerasan, dan bukan atas dasar kebenaran tentang kesetaraan martabat setiap manusia, berawal buruk dan akan berakhir buruk," katanya.
Trump, seorang Republikan yang menjadi presiden pada tahun 2017-2021, memenangkan masa jabatan kedua yang tidak berturut-turut dengan menjanjikan akan mendeportasi jutaan imigran yang berada di AS secara ilegal.
Setelah menjabat bulan lalu, ia mengeluarkan serangkaian tindakan eksekutif untuk mengalihkan sumber daya militer guna mendukung upaya deportasi massal dan memberdayakan petugas imigrasi AS untuk melakukan lebih banyak penangkapan, termasuk di sekolah, gereja, dan rumah sakit.
Dalam surat hari Selasa, Fransiskus juga tampaknya menanggapi secara tidak langsung pembelaan Wakil Presiden JD Vance atas deportasi.
Vance, seorang Katolik, membela tindakan keras tersebut dalam sebuah posting media sosial pada bulan Januari dengan merujuk pada konsep teologi Katolik awal yang dikenal sebagai "ordo amoris", atau "tatanan cinta", untuk menyarankan bahwa umat Katolik harus mengutamakan non-imigran.
Paus berkata: "Ordo amoris sejati yang harus dipromosikan (adalah) ... dengan merenungkan cinta yang membangun persaudaraan yang terbuka bagi semua orang, tanpa kecuali."
Deportasi massal
Otoritas imigrasi AS telah mendeportasi lebih dari 4.000 imigran gelap hanya dalam pekan pertama sejak penggerebekan dimulai, kata kepala perbatasan pemerintahan Presiden Donald Trump, Tom Homan, pada Rabu (29/1).
"Kami baru melakukannya selama satu pekan dan sudah ada lebih dari 4.000 (deportasi), yang sungguh menakjubkan," kata Homan kepada NewsNation dalam sebuah wawancara Rabu pagi waktu setempat.
Homan juga mengungkapkan rencana untuk menambah jumlah tim yang berpartisipasi dalam penggerebekan dan deportasi yang menargetkan sekitar 700.000 imigran gelap yang memiliki catatan kriminal.
Laporan media menunjukkan bahwa dengan dimulainya penggerebekan imigrasi di AS, lokasi konstruksi, pusat perbelanjaan, dan tempat-tempat lain yang biasanya sering dikunjungi oleh para imigran gelap dengan cepat menjadi kosong.
Pemerintahan Biden telah menyaksikan tiga tahun berturut-turut rekor arus migrasi tak berdokumen di perbatasan selatan AS, dan hingga saat ini, lebih dari delapan juta warga migran telah melintasi perbatasan selatan AS secara ilegal sejak Januari 2021, menurut data Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan (CBP).
Seret imigran ke Guantanamo
Dua pesawat Angkatan Udara Amerika Serikat yang mengangkut gelombang pertama imigran ilegal yang dideportasi telah tiba di pusat penerimaan repatriasi di pangkalan udara Guatemala, demikian menurut pernyataan Institusi Imigrasi Guatemala.
"80 warga Guatemala telah kembali terdiri dari 31 wanita dan 48 pria serta satu anak tanpa pendamping," sebut badan imigrasi tersebut.
Menurut imigrasi, para imigran tersebut telah didaftarkan dan diterima pemerintah serta mendapatkan bantuan dasar seperti makanan, pakaian, alat kebersihan, dan dalam beberapa kasus dukungan psiko-sosial serta akses melakukan panggilan telepon.
Media setempat melaporkan bahwa pesawat kedua yang membawa 80 imigran mendarat di bandara Guatemala setelah penerbangan militer pertama.
Menurut media tersebut, sebelum para imigran dapat kembali ke rumah masing-masing, mereka dipindahkan dari pusat penerimaan repatriasi di pangkalan udara menuju pusat bantuan imigrasi di ibukota.
Sementara itu, NBC yang mengutip sejumlah sumber sebelumnya melaporkan ada tiga penerbangan imigran ilegal yang dijadwalkan meninggalkan AS pada Jumat, namun pesawat tujuan Meksiko tidak dapat lepas landas karena dilarang mendarat karena alasan yang tidak jelas.
Presiden AS Donald Trump telah berulang kali mengatakan pemerintahan barunya akan segera mulai menindak tegas imigrasi ilegal begitu ia menjabat sebagai presiden AS.
Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt mengatakan pada Jumat bahwa AS menangkap 538 imigran ilegal, termasuk seorang tersangka teroris, dan mendeportasi ratusan "penjahat imigran ilegal" dalam operasi anti-imigrasi besar-besaran.