Dulu Bersorak Gembira Ledakkan Gaza, Kini Tentara Israel Dihantui Penangkapan

Israel harus bertanggung jawab terhadap kejahatan perang di Gaza Palestina.

Dok Istimewa
Hind Rajab, anak tak berdosa yang tak melakukan perlawanan apa-apa, tapi dibunuh oleh tentara Israel.
Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Pada 2024, tentara Israel Yuval Vagdani bersama prajurit IDF lainnya bersorak penuh gembira. Mereka berteriak berlimpah kebahagiaan setelah mengebom sebuah gedung di Gaza Palestina, tempat banyak warga yang dijajah Israel tinggal. 

Baca Juga


Tak selesai dengan sorak sorai, Vagdani juga merekam kebahagiaan mereka menjajah warga Gaza yang dijajah melalui gadget. Kemudian memposting video itu di media sosial.

Sejak itu, mendadak postingan Vagdani viral. Kelompok pro Israel yang antikemanusiaan mendukung postingannya. Namun hal sebaliknya juga terjadi, yaitu dislike dan memberikan narasi negatif terhadap postingan tersebut juga bermunculan. Netizen semacam ini berkomentar, sungguh Vagdani sama sekali tidak menunjukkan rasa kemanusiaan. Tentara Israel itu habis dicaci maki dan dihujat siang dan malam.

Postingan tersebut tersebar ke berbagai belahan dunia, hingga sampai ke tangan pegiat perlawanan terhadap Israel yang tergabung dalam organisasi Hind Rajab. Nama organisasi ini diambil dari isim seorang anak yang seharusnya tumbuh dewasa menjadi insan mulia, tapi dibunuh saat tak melakukan perlawanan apapun di Gaza oleh tentara Israel pada 2023. 

Kepala Hind Rajab di Belanda Haroon Raza melaporkan sejumlah nama tentara Israel yang terekam melakukan kebiadaban di Gaza kepada Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court) di Den Hag. Dalam laporan itu, Dia beserta anggota Hind Rajab lainnya menyertakan bukti berupa rekaman video dan foto-foto kejahatan perang yang dilakukan tentara Israel, termasuk di dalamnya Yuval Vagdani.

 

Beberapa waktu lalu, Vagdani hendak bepergian ke luar negeri, berlibur, bersantai ria sambil menikmati suasana ramai lagi mengasyikkan. Rencana itu dia siapkan matang-matang hingga malam hari. Kemudian dia tertidur lelap sambil memimpikan rencana indah itu.

Tibalah suatu pagi nan cerah. Vagdani masih terlelap. Tetiba telpon genggamnya berdering, tapi dia tetap memejamkan mata memimpikan rencana berwisatanya. Ponsel miliknya terus berbunyi berkali-kali. Yang menelpon adalah saudaranya. Kemudian tak terangkat. Lalu berdering lagi, kali ini pemerintah Israel yang menelpon. Tapi tidak juga terangkat.

Saudaranya kembali menelpon. Kali ini Vagdani terbangun. Bayang-bayang mimpi indahnya mendadak buyar, digantikan suasana kamarnya yang sudah diterangi cahaya matahari. Dia pun melihat ponselnya. Tertulis di situ nama saudaranya menghubungi. Diangkatlah telpon itu.

Vagdani langsung diberi peringatan jangan pernah pergi ke luar negeri, karena banyak negara sudah memonitor identitasnya sebagai penjahat perang. Kalau sampai berangkat ke luar negeri dan tertangkap, maka dia akan diseret ke pengadilan dengan tuduhan telah melakukan kejahatan perang.

 

Setelah itu, pemerintah Israel menghubunginya, juga memberikan peringatan untuk jangan pernah berangkat meninggalkan Israel. Sebuah kelompok hukum pro-Palestina telah meyakinkan seorang hakim federal di Brazil untuk membuka penyelidikan kejahatan perang atas dugaan keterlibatannya dalam pembongkaran rumah-rumah warga sipil di Gaza.

Regulasi internasional yang mencengkeramnya adalah “Universal Jurisdiction.” Regulasi ini memungkinkan pemerintah di berbagai negara untuk mengadili orang-orang atas kejahatan paling serius, seperti kejahatan perang, terlepas dari di mana kejahatan itu dilakukan.

Vagdani, menceritakan pengalaman itu kepada sebuah statiun radio di Israel. Dia mengatakan bahwa tuduhan itu terasa seperti “peluru yang mendadak menembus jantungnya.”

Bagaimana bisa Hind Rajab mendapatkan data tentara Israel?

Sederhana saja. Banyak orang yang mengecam Israel berselancar di media sosial. Mereka menemukan konten-konten tentara Israel yang fokus melukai dan membunuh orang-orang Gaza.

Hakim di Pengadilan Kriminal Internasional tahun lalu menyimpulkan bahwa ada cukup bukti untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu atas kejahatan terhadap kemanusiaan karena menggunakan "kelaparan sebagai metode peperangan" dan karena sengaja menargetkan warga sipil. Baik Israel maupun Netanyahu dengan keras membantah tuduhan tersebut.

 

Sejak dibentuk tahun lalu, Hind Rajab telah mengajukan puluhan pengaduan di lebih dari 10 negara untuk menangkap tentara Israel berpangkat rendah dan tinggi. Kampanyenya belum membuahkan hasil apa pun. Namun, hal itu telah menyebabkan Israel memperketat pembatasan penggunaan media sosial di kalangan personel militer.

"Sejauh menyangkut kami, ini adalah tanggung jawab kami untuk mengajukan kasus-kasus tersebut," kata Haroon Raza, salah seorang pendiri Hind Rajab, dari kantornya di Rotterdam, Belanda. Selanjutnya, terserah kepada otoritas di setiap negara — atau Mahkamah Pidana Internasional — untuk menindaklanjutinya, imbuhnya.

Kemenlu Israel angkat suara

Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri Israel, Eden Bar-Tal, bulan lalu mengatakan kurang dari selusin tentara telah menjadi sasaran, dan ia menepis upaya penangkapan tersebut sebagai aksi hubungan masyarakat yang sia-sia oleh "organisasi teroris."

Yurisdiksi universal bukanlah hal baru. Konvensi Jenewa 1949 - perjanjian pasca Perang Dunia Kedua yang mengatur perilaku militer - menetapkan bahwa semua penandatangan harus mengadili penjahat perang atau menyerahkan mereka ke negara yang akan melakukannya. Pada tahun 1999, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta semua negara PBB untuk memasukkan yurisdiksi universal dalam kode hukum mereka, dan sekitar 160 negara telah mengadopsinya dalam beberapa bentuk.

 

“Kejahatan tertentu seperti kejahatan perang, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan menurut hukum internasional,” kata Marieke de Hoon, pakar hukum internasional di Universitas Amsterdam. “Dan kami telah mengakui dalam hukum internasional bahwa setiap negara memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang mengerikan tersebut.”

Israel menggunakan konsep tersebut untuk mengadili Adolf Eichmann, seorang perancang Holocaust. Agen Mossad menangkapnya di Argentina pada tahun 1960 dan membawanya ke Israel, di mana ia dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung.

Baru-baru ini, seorang mantan perwira polisi rahasia Suriah dihukum pada tahun 2022 oleh pengadilan Jerman atas kejahatan terhadap kemanusiaan satu dekade sebelumnya karena mengawasi penyiksaan tahanan di penjara. Kemudian pada tahun yang sama, seorang warga negara Iran dihukum oleh pengadilan Swedia atas kejahatan perang selama perang Iran-Irak pada tahun 1980-an.

Pada tahun 2023, 16 orang dihukum karena kejahatan perang melalui yurisdiksi universal, menurut TRIAL International, sebuah organisasi Swiss yang melacak proses hukum. Hukuman tersebut terkait dengan kejahatan yang dilakukan di Suriah, Rwanda, Iran, dan negara-negara lain.

Sebagai tanggapan atas pengejaran Vagdani oleh Brasil, militer Israel telah melarang nama prajurit di bawah pangkat tertentu untuk disebutkan dalam artikel berita dan mengharuskan wajah mereka ditutup-tutupi. Israel juga telah memperingatkan prajurit agar tidak mengunggah postingan di media sosial yang terkait dengan dinas militer atau rencana perjalanan mereka.

 

Bukti yang diajukan pengacara Hind Rajab kepada hakim di Brazil sebagian besar berasal dari akun media sosial Vagdani.

"Itulah yang mereka lihat dan itulah sebabnya mereka menginginkan saya untuk penyelidikan mereka," katanya kepada stasiun radio Israel Kan. "Dari satu ledakan rumah, mereka membuat 500 halaman. Mereka mengira saya membunuh ribuan anak."

Vagdani tidak muncul dalam video tersebut dan dia tidak mengatakan apakah dia sendiri yang melakukan ledakan tersebut, dia mengatakan kepada stasiun TV tersebut bahwa dia datang ke Gaza untuk "manuver" dan "ikut serta dalam pertempuran dalam hidupku."

Media sosial telah mempermudah kelompok hukum dalam beberapa tahun terakhir untuk mengumpulkan bukti. Misalnya, beberapa militan ISIS telah dihukum atas kejahatan yang dilakukan di Suriah oleh pengadilan di berbagai negara Eropa, di mana pengacara mengandalkan video yang diunggah secara daring, menurut de Hoon.

Kekuasaan universal jurisdiction terbatas?

Di Belanda, tempat Hind Rajab telah mengajukan lebih dari selusin pengaduan, baik korban maupun pelaku harus memiliki kewarganegaraan Belanda, atau tersangka harus berada di negara tersebut selama seluruh penyelidikan berlangsung — faktor-faktor yang mungkin melindungi wisatawan Israel dari tuntutan hukum. Sebelas pengaduan terhadap 15 tentara Israel telah ditolak, beberapa karena terdakwa hanya berada di negara tersebut untuk waktu yang singkat, menurut jaksa penuntut Belanda. Dua pengaduan yang melibatkan empat tentara masih tertunda.

Pada tahun 2016, para aktivis di Inggris melakukan upaya yang gagal untuk menangkap para pemimpin militer dan politik Israel atas peran mereka dalam perang 2008-09 di Gaza.

Raza mengatakan kelompoknya akan bertahan. “Mungkin butuh 10 tahun. Mungkin 20 tahun. Tidak masalah. Kami siap untuk bersabar.”

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler