Warteg di Jakarta Pun Jadi Korban Pungli Ormas Besar

Setiap bulan ormas itu selalu meminta jatah uang keamanan.

muhammad subarkah
Warung tegal (ilustrasi). Warteg ikut menjadi korban pungli ormas.
Rep: Bayu Adji P  Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan organisasi masyarakat (ormas) kerap dianggap sebagai benalu dalam iklim perindustrian. Pasalnya, Himpunan Kawasan Industri (HKI) Indonesia sempat mengalami kerugian hingga ratusan triliun rupiah akibat investasi yang batal dan keluar dari kawasan industri dampak dari premanisme ormas.

Baca Juga


Berdasarkan pengamatan Republika, keberadaan ormas tidak hanya mengganggu industri besar. Para pedagang kecil juga kerap disatroni ormas yang meminta uang dengan dalih menjaga keamanan.

Salah satu pengusaha warteg di kawasan Meruya, Jakarta Barat, Candra (25 tahun), mengaku rutin didatangi ormas. Tidak hanya satu, ada dua ormas besar yang kerap datang ke tempat usahanya setiap bulan. Kedatangan sejumlah ormas itu tentunya bukan untuk membeli sesuatu, melainkan meminta setoran. "Datang minta setoran," kata dia kepada Republika, Rabu (12/2/2025).

Candra mengatakan, terdapat dua ormas yang rutin datang ke wartegnya. Setiap bulan, dua ormas itu selalu minta jatah untuk keamanan. Alhasil, ia harus selalu menyediakan uang kepada ormas-ormas tersebut. "Setiap bulan Rp 15 ribu satu ormas. Jadi total Rp 30 ribu," ujar Candra.

Menurut dia, angka itu biasanya naik ketika menjelang Lebaran. Pasalnya, ormas itu meminta tambahan untuk tunjangan hari raya (THR). Alhasil, ia harus merogoh kocek lebih dalam. "Biasanya Rp 15 ribu, gue kasih Rp 20 ribu. Dia kadang-kadang minta lebihan terus, tapi gue kasih nasi, akhirnya mau," kata dia.

 

Sebagai pedagang kecil, Candra menilai, keberadaan ormas itu seolah menjadi benalu. Sebab, mereka hanya meminta uang dengan dalih keamanan tanpa melakukan penjagaan. Apabila ia tidak membayar keamanan kepada ormas tersebut, pasti akan ada ormas lain yang meminta.

"Padahal mah sama-sama aja. Kejahatan-kejahatan juga ada, cuman gue gak ngerti apa yang dimaksud uang keamanan tuh, gak paham. Buat apa gitu lo," kata dia.

Ia mencontohkan, pernah ada kejadian helm motor pelanggan hilang saat sedang makan di wartegnya. Namun, ormas yang menjaga keamanan tidak mau bertanggung jawab untuk mengganti kehilangan itu. "Minta doang. Kagak gawe dia mah. Emang kerjaannya minta-minta," ujar Candra.

Kendati demikian, ia mengaku tak keberatan untuk memberikan uang sebesar Rp 30 ribu setiap bulannya kepada ormas. Ia menganggap hal itu sebagai sekedah kepada orang tidak mampu. Meski begitu, menurut dia, keberadaan ormas itu tidak memiliki manfaat.

Candra menyebutkan, ormas di lingkungannya itu tidak hanya meminta ke tempat usaha miliknya. Warung-warung kecil lainnya juga tidak luput dari kehadiran ormas.

Ia mengaku sudah tidak memiliki harapan kepada pemerintah dapat mengatasi masalah itu. Namun, dalam hati kecilnya, ia tak ingin usaha miliknya selalu diganggu oleh kehadiran ormas.

"Maksud gue kalau emang pengen minta, lu lapar, dateng aja ke warung, pasti gue kasih. Enggak usah pake acara-acara uang keamanan lah, uang ini lah, gitu kan ribet," kata Candra, yang meneruskan usaha keluarganya yang telah berdiri sejak 1980-an itu.

Salah seorang pedagang lainnya, Ropi (32 tahun), juga mengaku kerap menjadi sasaran ormas yang meminta uang keamanan. Bahkan, ormas-ormas itu juga kerap meminta uang kepada pedagang keliling.

"Sehari Rp 5 ribu, alesan buat keamanan sama sampah. Yang minta orang situ, kadang ormas," kata dia.

Menurut dia, pemerintah harus bertindak untuk memberantas premanisme berkedok ormas. Pasalnya, para pedagang kecil yang menjadi sasaran akibat premanisme itu. "Kasihan. Pedagang kecil seberapa sih untungnya?" kata dia.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler