Di Balik Semrawutnya Sistem Pajak Coretax Senilai Rp 1,2 Triliun

Banyaknya 'bugs' dalam sistem Coretax memicu kendala penggunaan belakangan.

Dok Republika
Wajib pajak saat hendak mengakses Sistem Coretax.
Red: Fitriyan Zamzami

Oleh Fitriyan Zamzami, Ahmad Fikri Noor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wajib pajak belakangan dibuat pusing kepala saat hendak mengurusi pajak mereka melalui sistem Coretax yang dilansir Ditjen Pajak (DJP) Kementerian Keuangan yang dilansir 1 Januari lalu. Bukan satu dua kali terjadi kendala sistem yang dilaporkan wajib pajak.

Beberapa keluhan yang muncul antara lain kendala akses. Bahkan, wajib pajak (WP) baru bisa mengakses Coretax pada dini hari dan terpaksa begadang untuk mengerjakan pekerjaannya. "Baru berhasil setelah seminggu drama Coretax ini," ujar Intan, salah seorang pegawai perusahaan swasta kepada Republika, Selasa (11/2/2025). Salah satu sistem yang juga masih mengalami kendala, ujarnya, terkait input data faktur pajak.

Di media sosial, keluhan terkait Coretax juga ramai diperbincangkan. "Hari ke 40! Coretax masih aja error! Ini udah tanggal segini dan mau mendekati deadline buat bayar ya kocak. Dari kemarin bahkan hari libur dan tengah malem pun gue gak bisa buat BP21. INI GIMANA??" ungkap akun @luceinecha di medsos X.

Ada apa dibalik semrawutnya sistem informasi yang sedianya digadang-gadang bakal mendongkrak penerimaan pajak negara tersebut?

Core Tax Administration System (CTAS) atau Coretax digagas sebagai langkah reformasi untuk meningkatkan penerimaan negara. Ia digadang-gadang menjadi “sistem inti administrasi perpajakan yang disiapkan untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas dalam administrasi perpajakan. Sistem ini akan mengotomasi layanan administrasi pajak dan memberikan analisis data berbasis risiko untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.”

Petugas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melayani wajib pajak saat melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Palembang Ilir Barat di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (29/2/2024). - (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)
 

Pemenang tender mega proyek itu diumumkan pada 2 Desember 2020 oleh PT Pricewaterhousecoopers Consulting Indonesia sebagai agen pengadaan. Pemenangnya kala itu adalah LG CNS-Qualysoft Consortium yang merupakan anak perusahaan elektronik dan telekomunikasi asal Korea Selatan LG Group. Bukan main-main, konsorsium itu memenangi tender senilai Rp 1,23 triliun.

Selain pengembangan sistem informasi tender juga meliputi jasa konsultasi Owner’s Agent-Project Management and Quality Assurance. PT Deloitte Consulting yang mendapat tender dengan nilai kontrak Rp 110 miliar. Pemenang-pemenang tender tersebut tercatat dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 549/KMK.03/2020 tentang Penetapan Pemenang Tender Dua Tahap dengan Prakualifikasi Pengadaan System Integrator Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Core Tax Administration System) yang diteken pada 1 Desember 2020.

Konsorsium LG CNS-Qualysoft diserahi proyek penyediaan server, sistem manajemen basis data, sekaligus sistem informasi yang akan menggantikan sistem lawasi yang digunakan DJP Direktorat sejak 2002. Targetnya, proyek bakal diselesaikan pada 2024. Produknya adalah Commercial Off The Shelf (COTS) atau paket aplikasi siap pakai dalam bentuk modul perangkat lunak maupun perangkat keras. Untuk pembangunan perangkat lunak alias sistem informasi dan aplikasinya, LG CNS menggandeng Qualysoft, perusahaan asal Wina, Austria.

Dalam proyek itu, LG CNS yang mengadakan server data base. Server basis data adalah perangkat keras yang menjalankan perangkat lunak basis data untuk menyimpan, mengelola, dan mengambil data digital. Dalam bahasa teknologi informasi, sistem perangkat keras ini masuk dalam kategori back end. Selain server, mesin basis data juga disediakan perusahaan Korea itu.

Server dan sistem basis data itu yang jadi tulang punggung Coretax. “Eh… pas lagi migrasi data sudah nggak kuat database-nya,” kata pekerja yang pernah terlibat proyek Coretax pada Republika di Jakarta, Sabtu (15/2/2025).

Tangkapan layar error message aplikasi Coretax. - (Twitter/X)

Dalam tangkapan layar error messages dari program Coretax, terlihat bahwa sistem database yang digunakan adalah Tibero yang dikembangkan perusahaan TmaxTibero. Di situs resminya, perusahaan ini mengeklaim sebagai perusahaan sistem manajemen basis data (DBMS) terkemuka dari Korea Selatan. Sistem Tibero tersebut bersifat tertutup alias "closed source". Sistem ini tergolong asing bagi pengelola basis data Tanah Air yang lebih akrab dengan MySQL dan PostgreSQL yang bersifat open source, atau MS SQL atau Oracle yang juga closed source.

Persoalan selanjutnya datang saat sistem informasi dan aplikasi alias front end dari Coretax dikembangkan. Mulanya, Qualysoft menggunakan pengembang dari Eropa. Namun, ini hanya sampai setengah jalan. "Akhirnya hire dari Vietnam ditambah satu dua orang lokal,” ia menambahkan.

Hasil rancangan konsorsium itu juga disebut ketinggalan jaman, seperti dibuat pada awal 2000-an. Jadwal rilis Coretax yang awalnya pada 2024 akhirnya molor. Dengan penambahan waktu itupun, front end yang dihasilkan belum optimal.

“Akhirnya orang lokal yang memperbaiki. Itu pas mau dirilis baru dibetulkan front end-nya. Awalnya tampilannya kotak-kotak begitu,” kata pengembang tersebut. Pada saat-saat terakhir menjelang rilis kemarin, hampir semua pengembangnya pekerja lokal.

Tugas mereka kala itu, memperbaiki begitu banyak bug yang ditemukan pada pada sistem. “Banyak banget bug-nya itu,” tutur sumber Republika. Tim perbaikan tersebut kini terdiri dari sekitar 20 orang dan bekerja di kantor Ditjen Pajak di Jakarta.

Bug pada perangkat lunak adalah kesalahan alias cacat pada program komputer yang menyebabkan malafungsi. Bug dapat menyebabkan program ngadat, memberikan hasil yang salah, atau rentan terhadap akses ilegal dari luar.

Persoalan lain muncul saat Coretax terhubung dengan aplikasi pendukung dari kementerian lain. “Misalnya sistem Dukcapil Kemendagri, ini sering down saat di-hit sama Coretax,” kata anggota tim pengembang kepada Republika. Kejadian serupa terjadi dengan aplikasi pendukung dari Kemenkumham dan Ditjen Imigrasi.

Keberadaan bug dan jejaring aplikasi pendukung ini yang menyebabkan kacaunya penggunaan Coretax belakangan. DJP belakangan mengakui, di antara bug yang ditemukan dan sudah mulai dibenahi mencakup gagal login, kegagalan pendaftaran NPWP, kegagalan pendaftaran NPWP warga negara asing (WNA), pengiriman one-time password (OTP), dan update profil wajib pajak termasuk perubahan data penanggung jawab (PIC) perusahaan dan karyawan selain PIC.

Menurut pengembang yang diwawancarai Republika, banyak perbaikan yang diperlukan untuk membuat Coretax bisa berjalan optimal. Selain itu, kekuatan server basis data juga harus ditambah. “Terus kendala lain itu, aplikasi pendukung dari kementerian lain juga harus dinaikkan performanya,” kata dia.

Sejauh ini, belum ada pernyataan dari pihak LG CNS-Qualysoft Consortium terkait persoalan sengkarut penggunaan Coretax di Indonesia. Email yang dikirimkan Republika ke PT LG CNS Indonesia dan Qualysoft Centre of Excellence Indonesia belum mendapatkan jawaban. Kendati demikian, proyek reformasi sistem pajak di Indonesia sudah menjadi jualan kedua perusahaan.

Di situs resmi LG CNS, mereka memamerkan bahwa pada 2020 “Ditunjuk sebagai kontraktor pembentukan sistem administrasi perpajakan nasional di Indonesia.” Perusahaan itu di situs resminya mengeklaim bahwa “Kepiawaian LG CNS dalam bisnis DX publik mengarah pada ekspor sehingga menaikkan pamor nasional Korea Selatan. Pada tahun 2020, LG CNS memenangkan tawaran kontrak untuk proyek sistem administrasi perpajakan nasional Indonesia senilai sekitar 100 miliar won Korea, yang dikenal sebagai kontrak konstruksi sistem tunggal terbesar dalam sejarah bisnis ekspor pada saat itu. Pengalaman DX yang terakumulasi di Korea, seperti Sistem Integrasi Pajak Nasional dari Layanan Pajak Nasional Korea Selatan, merupakan faktor penentu dalam memenangkan tawaran kontrak.”

Sedangkan di situs resminya, Qualysoft menyatakan sejauh ini mereka telah mengembangkan “proyek berskala besar seperti transformasi digital sistem administrasi perpajakan Albania dan Indonesia.” Perusahaan ini menjanjikan pendekatan modern terhadap administrasi perpajakan (Tax Administration 3.0) yang memanfaatkan perangkat lunak terbaik, analisis data, dan kolaborasi untuk meningkatkan pengalaman wajib pajak, meningkatkan kepatuhan pajak, dan meningkatkan efisiensi operasional.

“Fokus Administrasi Pajak 3.0 adalah memberikan pengalaman perpajakan yang mudah digunakan dan lancar kepada wajib pajak, sekaligus menyediakan alat dan data yang dibutuhkan otoritas pajak untuk bekerja secara efektif dan menegakkan undang-undang perpajakan serta melindungi pendapatan.”

Dilansir Antara, dalam rapat dengar pendapat (RDP) tertutup dengan Direktorat Jendral Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, disepakati bahwa sistem Coretax dijalankan bersamaan dengan sistem perpajakan yang lama. Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menjelaskan lewat RDP pada Senin (10/2/2025), pihaknya meminta DJP untuk kembali memanfaatkan sistem perpajakan yang lama.

“Sebagai antisipasi dalam mitigasi implementasi Coretax yang masih terus disempurnakan, agar tidak mengganggu kolektivitas penerimaan pajak,” kata Misbakhun saat ditemui usai RDP di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin. Komisi XI pun merekomendasikan DJP untuk menyempurnakan sistem teknologi Coretax. Termasuk memperkuat aspek keamanan siber, guna memastikan implementasi sistem tak berdampak pada upaya kolektivitas penerimaan pajak dalam APBN tahun anggaran 2025.

Di sisi lain, Komisi XI meminta DJP untuk tidak mengenakan sanksi terhadap wajib pajak yang terkendala oleh sistem Coretax. DJP pun perlu melaporkan perkembangan sistem Coretax kepada Komisi XI secara berkala. Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengamini penerapan Coretax akan dijalankan bersamaan dengan sistem perpajakan lama. Menurutnya, psejumlah layanan pajak masih menggunakan sistem yang lama, seperti pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) untuk tahun pajak 2024 (yang dilaporkan hingga 31 Maret 2025 untuk wajib pajak orang pribadi dan 30 April 2025 untuk wajib pajak badan) masih dilakukan melalui laman DJP Online.

Pelaporan SPT baru dilakukan melalui Coretax untuk tahun pajak 2025 yang dilaporkan pada 2026. Namun, untuk layanan pajak lainnya, DJP akan meninjau kembali dalam melakukan penyesuaian. “Jadi nanti yang dirasa perlu, kita menggunakan sistem yang lama. Rolling out-nya Coretax tetap jalan, yang harus kembali ke sistem lama kami jalankan,” ujar Suryo.

Pegawai melayani wajib pajak yang akan melakukan pembuatan e-Faktur di Kantor Direktorat Jenderal Pajak Wilayah Sumatera Utara I, Medan, Sumut, Senin (17/2/2025). - (ANTARA FOTO/Yudi Manar)

Sebagai tindak lanjut kesepakatan RDP, DJP akan menyusun peta jalan (roadmap) yang merinci langkah mitigasi terhadap implementasi Coretax.

Baca Juga


Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo dalam konferensi pers APBN KiTa edisi Desember 2024, di Jakarta, menyampaikan pengujian akhir Core Tax Administration System atau Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) telah selesai dilakukan dan dijadwalkan siap digunakan mulai 1 Januari 2025 untuk administrasi perpajakan di seluruh Indonesia. Namun, faktanya, hingga awal Februari ini, Coretax belum siap digunakan sepenuhnya dan DPR meminta sistem perpajakan yang lama kembali dimanfaatkan.

Coretax tidak menghabiskan anggaran yang sedikit. Dikutip dari laman pajak.go.id, terkait pengumuman pemenang tender untuk Pengadaan System Integrator Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Core Tax Administration System), proyek pengadaan dimenangkan oleh LG CNS Qualysoft Consortium.
Nilai total harga penawaran proyek (termasuk PPN) adalah Rp 1.228.357.900.000,00, dengan perkiraan nilai pekerjaan proyek (termasuk PPN) senilai Rp1.736.106.396.000,00. Adapun sumber pendanaan yang berasal dari DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) Satuan Kerja Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Tahun Anggaran 2020-2024.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berjanji pihaknya akan terus memperbaiki sistem Coretax yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Seperti diketahui, sejak sistem tersebut diluncurkan pada 1 Januari 2025, muncul berbagai keluhan dari pengguna.
“Saya tahu ada keluhan soal Coretax. Kami akan terus melakukan perbaikan,” kata Sri Mulyani dalam kegiatan Mandiri Investment Forum 2025 (MIF) di Jakarta, Selasa (11/2/2025).

Dia melanjutkan, membangun sistem yang kompleks seperti Coretax dengan 8 miliar transaksi bukan perkara mudah. “Ini bukan alasan. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa kami akan terus melakukan perbaikan agar Indonesia memiliki sistem pengumpulan pajak yang terdigitalisasi serta lebih andal dalam mencatat serta memberikan kemudahan bagi wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan hukum,” ujarnya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler