Menyoal Rangkap Jabatan Menag, Kepala Badan Pengelola Sekaligus Imam Besar Istiqlal
Rangkap jabatan Menag sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal menyalahi aturan
Oleh : Faisal Wibowo, aktivis dan pemerhati masjid
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Ingatan kita tentu masih segar dengan pernyataan Menteri Agama Prof Nasarudin Umar, pada 1 November 2024 lalu. Seusai melaksanakan sholat Jumat, Prof Nasar, begitu akrab disapa di kalangan mahasiswa dan koleganya mengungkapkan tentang sebuah fakta yang sekilas visioner dan kokoh, tetapi pada hakikatnya berpijak pada landasan yang tidak hanya rapuh, tetapi juga menyalahi aturan.
Yaitu klaim Prof Nasar yang diminta Presiden Prabowo Subianto merangkap jabatan sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta.
"Presiden minta saya masih tetap menjadi imam besar," kata Prof Nasar yang sudah menduduki posisi Imam Besar Istiqlal sejak 2016 ini kepada media beberapa waktu lalu. Permintaan tersebut menurut dia, didasari adanya agenda besar di Masjid Istiqlal yaitu mengawal pelaksanaan Deklarasi Istiqlal.
Pada prinsip mendukung pelaksanaan Deklarasi Istiqlal, tentu saja kita semua sepakat. Deklarasi tersebut mulia. Tanpa bermaksud mengkerdilkan deklarasi serupa yang bukan hal baru dalam upaya mewujudkan harmoni antarumat beragama, tapi ada yang lebih penting dari sekadar pamor glamoritas, prestise, dan popularitas yakni taat kepada asas, konsisten menegakkan aturan.
Klaim penunjukkan Prof Nasar yang juga menjabat sebagai menteri agama tersebut sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal menyalahi regulasi yang ada. Penulis setidaknya menjabarkan dua regulasi utama yang penting dalam mendudukkan penunjukkan Imam Besar Masjid Istiqlal ini sesuai koridornya.
Aturan yang pertama adalah keterlibatan Dewan Pengarah dalam proses pemberian rekomendasi untuk penentuan Imam Besar Masjid Istiqlal. Peraturan Presiden (Perpres) No 64 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Masjid Istiqlal mengatur secara gamblang soal penunjukan Imam Besar Masjid Istiqlal. Pada Pasal 6 ayat 2 disebutkan bahwa imam besar Istiqlal diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul Dewan Pengarah.
Penunjukan langsung tanpa melalui arahan Dewan Pengarah inilah yang terindikasi kuat melanggar aturan. Hal ini juga menjadi preseden buruk kedepan tentang tereduksinya proses penting yaitu rekomendasi Dewan Pengarah.
Penunjukkan langsung yang dimaksud tersebut faktanya tidak melewati proses yang menurut penulis, sangat krusial. Kita tidak ingin tentunya asas main tunjuk yang berpotensi pada conflict of interest dan rawan penyalahgunaan.
Inilah fungsinya Dewan Pengarah yang mempunyai tugas dan fungsi pokok melakukan pengawasan terhadap tata kelola Masjid Istiqlal.
BACA JUGA: Kritik Tajam Media Israel Atas Kondisi Riil Tentara Kini Bikin Telinga Elite Panas
Lantas siapakah yang dimaksud dengan Dewan Pengarah tersebut? Dewan Pengarah sebagaimana termaktub dalam Perpres Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan presiden Nomor 64 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Masjid Istiqlal, terdiri atas ketua Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dengan anggota yaitu Menteri Sekretaris Negara, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat, Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, dan Ketua Majelis Ulama Indonesia.
Penunjukan tersebut pun tidak ada hubungannya dengan efesiensi anggaran yang akhir-akhir ini tengah ramai. Sebab justru hal ini berlangsung pada awal pemerintahan Prabowo Gibran yang usianya masih seumur jagung.
Kedua, aturan tentang larangan rangkap jabatan. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Pasal 23 berbunyi: Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta, pemimpin organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Ironisnya, merujuk pada aturan-aturan tersebut, Menteri Agama (Menag) KH Nasaruddin Umar selaku Ketua Badan Pengelola Masjid Istiqlal pada Selasa (31/12/2024) melantik dan menetapkan Pengurus Badan Pengelola Masjid Istiqlal (BPMI) periode 2024-2028 di Jakarta. Dalam kepengurusan BPMI tersebut Menag juga melantik dirinya sebagai Ketua Harian BPMI sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal! Aneh, tapi nyata.
Peraturan presiden Nomor 64 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Masjid Istiqlal Pasal 10 menjelaskan susunan Badan Pengelola Masjid Istiqlal terdiri dari tujuh posisi berbeda. Dari ketujuh jabatan tersebut terdapat Ketua Badan Pengelola dan Ketua Harian Badan Pengelola. Dua jabatan ini diadakan secara berbeda karena masing-masing mempunyai tupoksi yang juga tak sama.
Adanya Ketua Harian Badan Pengelola sebagai exit plan agar tugas pengelolaan Masjid Istiqlal lebih maksimal. Yang pertama lebih kepada kebijakan-kebijakan makro, sementara yang kedua yakni Ketua Harian Badan Pengelola adalah sosok yang menjalankan pengelolaan secara intensif harian.
Tapi faktanya, kedua posisi tersebut saat ini justru dijabat orang yang sama, yaitu Prof Nasar. Lalu, dia dalam kapasitasnya sebagai Menteri Agama, melantik dirinya sendiri untuk semua jabatan itu!
Rangkap jabatan tersebut tentu mengkhawatirkan di tengah-tengah reformasi birokrasi yang digaungkan pemerintahan Prabowo Gibran sebagaimana tertuang dalam Asta Cita.
Seperti kita ketahui bersama, tujuan pelarangan rangkap jabatan tersebut adalah menghindari konflik kepentingan sehingga pejabat tidak dapat bersikap netral dan profesional. Selain itu juga agar menjaga netralitas, larangan ini bertujuan agar pejabat dapat fokus pada tugas pokok dan fungsinya, dan menjaga integritas.
Kita tentu berharap, Masjid Istiqlal yang menjadi jendela terdepan Islam Indonesia ini benar-benar mencerminkan keteladanan dan menggambarkan wajah berislam yang santun dan taat aturan.
BACA JUGA: Justru Ini Tujuan Utama Relokasi Warga Gaza Menurut Media Rusia, Bukan Sekadar Pengusiran
Tak ada jalan selain mengembalikan aturan itu sebagaimana mestinya, sehingga Masjid Istiqlal memberikan suri teladan yang bagus, alih-alih malah menciptakan bidah, saya tegaskan dan garisbawahi lagi, menciptakan bidah yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Masjid Istiqlal.
Tak kalah penting adalah bagaimana mengembalikan trust masyarakat tentang semangat reformasi birokrasi yang dirasa semakin kemari, jauh panggang dari api. Apakah Indonesia, tempat kami berpijak, menumbuhkan asa saat ini, gelap adanya, persis tagar yang tengah viral. Meski pun saya sepenuhnya yakin, masih banyak orang di mana saja mereka berada yang jernih hati nuraninya, termasuk Anda? Mari jaga Masjid Istiqlal kita tercinta.