Putra Aktor 'Papa Minta Saham' Tersangka Korupsi Minyak Mentah Rp 193 Triliun
Putra Riza Chalid ditetapkan tersangka selaku broker impor minyak mentah.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) mengumumkan tujuh tersangka dalam penyidikan korupsi ekspor-impor minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina. Satu dari tujuh para tersangka tersebut adalah Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) yang diketahui adalah putra dari pengusaha bisnis minyak Indonesia, Mohammad Riza Chalid.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar mengatakan, MKAR ditetapkan tersangka atas perannya selaku DMUT atau broker impor minyak mentah, dan produk kilang. “Tersangka MKAR selaku benefit official atau pemilik manfaat atas keberadaan PT Navigator Khatulistiwa,” bagitu kata Qohar di Kejagung, Jakarta, Senin (24/2/2025) malam.
Saat MKAR ditetapkan tersangka, dan akan digelandang ke sel tahanan oleh tim penyidikan di Jampidsus, informasi dari tim penyidikan yang disampaikan kepada Republika melalui pesan singkat, memastikan MKAR adalah putra dari Riza Chalid. “Kerry putranya Riza CHalid,” kata sumber tersebut melalui WhatsApps, Senin (24/2/2025) malam. Nama Riza Chalid malang melintang sejak zaman Order Baru dalam bisnis-bisnis elite di pemerintahan. Selain minyak dan gas, namanya juga sempat dikenal sebagai broker alat-alat pertahanan.
Nama Riza Chalid pernah muncul pada 2015-2016 dalam kasus ‘Papa Minta Saham’ yang melibatkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat itu, Setya Novanto. Kasus tersebut terkait dengan dugaan bagi-bagi saham dalam perpanjangan perizinan perusahaan pertambangan emas terbesar di dunia, yang beroperasi di Papua, PT Freeport Indonesia. Adapun kasus yang menjerat MKAR alias Kerry dalam perkara korupsi di PT Pertamina kali ini terkait dengan perannya sebagai broker impor minyak dan produk kilangan yang dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga.
Abdul Qohar mengatakan, salah-satu keterlibatan Kerry dalam kasus tersebut terkait dengan mark-up atau penggelembungan biaya yang dilakukan oleh para tersangka kalangan penyelenggara PT Pertamina Patra Niaga dalam kontrak pengapalan, dan pengiriman minyak mentah, dan produk kilangan impor 2018-2023. Penggelembungan biaya tersebut kata Qohar membuat negara mengeluarkan fee belasan persen yang dinilai menguntungkan MKAR.
“Pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang diperoleh fakta adanya mark-up kontrak shipping, pengiriman yang dilakukan oleh tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping sehinga negara mengeluarkan fee sebesar 13 sampai dengan 15 persen secara melawan hukum sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut,” begitu kata Qohar. MKAR, bersama-sama enam tersangka lainnya, kata Qohar juga melakukan permufakatan jahat dengan para penyelenggara negara dan broker-broker lain dalam penentuan harga minyak mentah dan produk kilang yang akan diimpor, sebelum tender dilakukan.
Selain MKAR, dalam kasus ini enam tersangka lainnya juga dilakukan penahanan pada Senin (24/2/2025). Mereka dia antaranya adalah, Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga. Sani Dinar Saifuddin (SDS) ditetapkan tersangka selaku Direktur Optimasi Feedstock and Product PT Kilang Pertamina International. Serta Yoki Firnandi (YF) tersangka selaku Dirut PT Pertamina Shipping. Juga Agus Purwono (AP) yang dijerat tersangka atas perannya selaku Vice President Feedstock Management PT Kilang Pertamina International.
Lainnya adalah Dimas Werhaspati (DW) tersangka selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim. Terakhir adalah Gading Ramadhan Joedo (GRJ) yang ditetapkan tersangka atas perannya sebagai Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Merak. Kejagung juga mengumumkan nilai kerugian keuangan negara dalam kasus ini mencapai Rp 193,7 triliun sepanjang 2018-2023.
Kejaksaan Agung (Kejagung), pada Senin (24/2/2024) mengumumkan tujuh tersangka dari hasil penyidikan kasus tersebut. Para tersangka tersebut, empat di antaranya adalah petinggi anak usaha di PT Pertamina. Sedangkan tiga lainnya adalah para tersangka swasta.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar menerangkan, angka kerugian negara Rp 193,7 triliun tersebut merupakan hasil sementara penghitungan dari tim penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).
“Perlu diketahui bahwa nilai kerugian yang disebut (Rp) 193,7 T (triliun) itu baru dari hasil penghitungan tim penyidikan. Hasil akhirnya, nanti kita masih menunggu penghitungan resmi dari lembaga auditor negara (BPKP atau BPK),” ujar Harli di Kejagung, Senin (25/2/2025).
Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar menerangkan, angka kerugian keuangan negara Rp 193,7 triliun tersebut memang hasil dari penghitungan tim penyidikannya. Kata dia, nilai tersebut berdasarkan estimasi kerugian dari dampak ragam perbuatan permufakatan dan persekongkolan jahat, dan tindak pidana korupsi yang dilakukan tujuh tersangka tersebut. Mulai dari permufakatan dan persekongkolan jahat untuk menolak menerima pembelian minyak mentah dan produk kilang dari hasil eksplorasi kontraktor kontrak kerjasama (KKKS).
Sampai pada persekongkolan para tersangka untuk mengatur dan menentukan broker pemenang tender untuk impor minyak mentah dan produk kilang. Juga perbuatan melawan hukum lainnya dalam hal pembayaran produk kilang impor RON 90 dengan harga RON 92.
Juga terkait dengan korupsi berupa mark-up dalam penentuan harga pengapalan atau shipping minyak mentah, dan produk kilang impor. Termasuk kata Qohar, kerugian negara yang langsung dibebankan kepada APBN lewat kompensasi dan subsidi akibat tingginya harga bahan bakar minyak (BBM) dari produk impor tersebut.
“Akibat adanya perbuatan-perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp 193,7 triliun,” ujar Qohar. Dari angka tersebut, kata Qohar ada lima kategori kerugian keuangan negara.
Pertama, kerugian negara ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp 35 triliun. Kerugian negara impor minyak mentah melalui broker atau DMUT senilai Rp 2,7 triliun. Ketiga, kerugian keuangan negara impor BBM melalui broker senilai Rp 9 triliun.
Paling besar angka kerugian keuangan negara dalam pemberian kompensasi Rp 126 triliun. Dan terakhir kerugian keuangan negara dalam pemberian subsidi sebesar Rp 21 triliun. Pada Senin (25/2/2025) dari penyidikan sementara, Jampidsus mengumumkan tujuh orang sebagai tersangka.
Para tersangka tersebut, pun sejak diumumkan status hukumnya langsung dijebloskan ke sel tahanan terpisah. Para tersangka tersebut salah-satu di antaranya, adalah Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga.
Sani Dinar Saifuddin (SDS) ditetapkan tersangka selaku Direktur Optimasi Feedstock and Product PT Kilang Pertamina International. Serta Yoki Firnandi (YF) tersangka selaku Dirut PT Pertamina Shipping. Juga Agus Purwono (AP) yang dijerat tersangka atas perannya selaku Vice President Feedstock Management PT Kilang Pertamina International.
Lainnya adalah, Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku benefit official atau pemilik manfaat dari PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati (DW) tersangka selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim. Terakhir adalah Gading Ramadhan Joedo (GRJ) yang ditetapkan tersangka atas perannya sebagai Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Merak.
Duduk perkara...
Selain Kerry, orang dekat keluarga Riza Chalid, Gading Ramadhan Joedo (GRJ) juga dijadikan tersangka. Tangan kanan Kerry itu ditetapkan tersangka atas perannya sebagai Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Merak. Bagaimana duduk perkaranya?
Merujuk keterangan Kejaksaan Agung, pada periode 2018 sampai 2023 pemenuhan minyak mentah dalam negeri seharusnya wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari hasil eksplorasi di dalam negeri. Dalam hal tersebut Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar mengatakan mewajibkan PT Pertamina mencari pasokan minyak bumi hasil dari produksi para kontraktor eksplorasi di dalam negeri.
"Hal tersebut wajib dilakukan sebelum PT Pertamina merencanakan untuk melakuka impor minyak bumi untuk kebutuhan di dalam negeri," kata Qohar. Keharusan tersebut, pun dikatakan Qohar berdasarkan Pasal 2 dan 3 Peraturan Menteri Enerji dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Noor 42/2018 tentang Priorotas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan di Dalam Negeri.
Akan tetapi, kata Qohar, dari hasil penyidikan terungkap, tiga tersangka dari PT Pertamina, yakni RS, SDS, dan AP melakukan konsolidasi. Yaitu, kata Qohar berupa pengkondisian melalui Rapat Optimalisasi Hilir (ROH) yang dijadikan dasar dalam menurunkan produksi perkilangan minyak bumi di dalam negeri. "Sehingga produksi kilang minyak bumi di dalam negeri tidak terserap seluruhnya," ujar Qohar.
Atas pengkondisian oleh tersangka RS, SDS, dan AP tersebut membuat pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara mengimpor. "Pada saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan maka produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS (Kontraktor Kontrak Kerjasama) sengaja ditolak," ujar Qohar. Penolakan tersebut dikatakan Qohar atas dasar produksi minyak mentah oleh KKKS yang tak memenuhi nilai ekonomis. "Padahal harga yang ditawarkan oleh KKKS masih masuk range HPS (harga perkiraan sendiri),” kata Qohar.
Dan penolakan produksi minyak mentah KKKS tersebut, karena alasan spesifikasi yang dikatakan tak sesuai dengan kualitas standar. Padahal faktanya, kata Qohar, minyak mentah bagian negara yang diproduksi oleh KKKS masih sesuai dengan spesifikasi dan standar kilang, dan dapat diolah atau dihilangkan kadar merkuri, serta sulfurnya. "Pada saat produksi minyak mentah oleh KKKS ditolak dengan dua alasan tersebut, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor (dijual ke luar negeri)," kata Qohar.
Sementara itu, kata Qohar melanjutkan, untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri PT Kilang Pertamina International melakukan impor minyak mentah. Dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang. Kata Qohar, dalam impor tersebut, apabila dibandingkan dengan harga minyak bumi hasil eksplorasi di dalam negeri, terdapat perbandingan komponen harga yang tinggi. Atau dikatakan Qohar, ada disparitas harga senjang dan signifikan dalam setiap komponen impor, dengan produksi kilang di dalam negeri.
Selanjutnya kata Qohar, dalam pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional, dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga ditemukan fakta tindak pidana permufakatan jahat dan tindak pidana korupsi. Yaitu, yang dilakukan oleh tersangka penyelenggara negara, RS, SDS, dan AP, serta YF selaku penyelenggara impor. Keempatnya bersama-sama dengan tersangka MKAR, DW, dan GRJ selaku DMUT atau broker. Ketujuh tersangka tersebut menyepakati harga pengadaan minyak mentah dan produk kilang impor sebelum tender dilaksanakan. “Dengan kesepakatan harga yang sudah diatur dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan secara melawan hukum, dan merugikan keuangan negara,” kata Qohar.
Permufakatan jahat para tersangka tersebut, kata Qohar juga diwujudkan dengan adanya tindakan pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang sehingga seolah-olah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan cara mengkondisikan pemenangan DMUT atau broker yang telah ditentukan. Dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi yang tidak memenuhi persyaratan. “Yaitu dilakukan dengan cara, tersangka RS, tersangka SDS dan tersangka AP memenangkan DMUT atau broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum," kata Qohar.
Hasil penyidikan, kata Qohar, juga mengungkapkan tersangka DW dan tersangka GRJ yang melakukan komunikasi langsung dengan tersangka AP. Komunikasi langsung tersebut bertujuan untuk mendapatkan harga tinggi dalam impor pada saat syarat-syarat belum terpenuhi. Namun mendapat persetujuan dari tersangka SDS untuk impor minyak mentah, dan persetujuan dari tersangka RS untuk impor produk kilang.
Qohar melanjutkan, dalam impor produk kilang yang dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembayaran untuk jenis RON 92. Akan tetapi, jenis produk kilang yang didatangkan dari pengadaan impor produk kilang tersebut adalah RON 90. Dari RON 90 tersebut, kata Qohar, PT Pertamina Patra Niaga melakukan kejahatan lain dengan menjadikan produk kilang tersebut menjadi RON 92. “RON 90 yang lebih rendah kemudian di-blending di storage atau depo, untuk dijadikan RON 92 yang hal tersebut tidak diperbolehkan,” kata Qohar.
Dalam pengadaan impor minyak mentah, dan impor produk kilang tersebut, pun kata Qohar ditemukan fakta-fakta terjadinya penggelembungan biaya atau mark-up dalam kontrak shipping, atau pengapalan. “Mark-up kontrak shipping tersebut dilakukan oleh tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping,” kata Qohar. Sehingga kata Qohar, negara mengeluarkan fee yang lebih besar 13 sampai 15 persen. Dan pembengkakan biaya pengiriman minyak mentah, dan produk kilang impor tersebut memperkaya tersangka MKAR.
Kata Qohar, pada saat kebutuhan minyak mentah di dalam negeri yang diperoleh dari impor tersebut, membuat komponen harga dasar dalam penetapan harga indeks pasar (HIP) Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dijual kepada masyarakat menjadi sangat tinggi. Dan harga tinggi tersebut menurut Qohar, berdampak pada pemberian kompensasi dan subsidi negara untuk pembelian bahan bakar melalui APBN. “Akibatnya, perbuatan yang dilakukan para tersangka tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar (Rp) 193,7 triliun,” ujar Qohar.
Nilai kerugian keuangan negara tersebut, kata Qohar, terdiri dari kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sebesar Rp 35 triliun. Kerugian impor minyak mentah melalui DMUT atau broker sebesar Rp 2,7 triliun. Kerugian impor BBM melalui broker sekitar Rp 9 triliun. Kerugian pemberian kompensasi sebesar Rp 126 triliun. Dan kerugian pemberian subsidi sekitar Rp 21 triliun.