Trump dan Amerika Negara Superpowernya Ancam Hancurkan Gaza, Warga Gaza Bilang Begini

Warga Gaza akan terus mempertahankan wilayahnya.

AP Photo/Jehad Alshrafi
Warga Palestina melaksanakan Sholat Jumat pertama bulan suci Ramadan di Masjid Imam Shafii, yang rusak akibat serangan tentara Israel, di lingkungan Zeitoun, Kota Gaza, Jumat (7/3/2025). Warga Palestina di Gaza menggelar sholat jumat diantara reruntuhan masjid Imam Shafii pasca gencatan senjata dengan Israel. Meski penuh keterbatasan, warga tetap khusyuk menjalani ibadah sholat jumat pertama di bulan Ramadhan.
Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah dibombardir Israel habis-habisa, warga Gaza kini hidup dalam penderitaan. Meski sudah hancur lebur, Israel kini melarang bantuan kemanusiaan masuk wilayah sana.

Baca Juga


Warga hidup dalam derita. Mereka tak punya rumah permanen, hidup dinaungi atap sisa puing bangunan yang dibombardir zionis. 

Dalam keadaan demikian, Presiden Amerika Donald Trump, pemimpin negara dengan militer terkuat di dunia, malah mengancam akan membumihanguskan Gaza jika pembebasan sandera Israel tidak dilakukan.  

Bagi banyak orang di Gaza, ancaman terbaru Presiden AS Donald Trump terasa seperti tidak lebih dari sekadar pembenaran untuk melakukan kekerasan lebih lanjut dan hukuman kolektif terhadap mereka.

Pada Rabu malam, Trump mengancam warga Gaza dengan mengatakan mereka semua akan “mati” jika tawanan terus ditahan di sana.

Saat Gaza terus bergulat dengan dampak perang yang menghancurkan – pengungsian massal, kerusakan yang meluas, dan kondisi kemanusiaan yang mengerikan – masyarakat menjadi kelelahan dan skeptis terhadap upaya internasional untuk menyelesaikan perang.

Al Jazeera berbicara kepada warga Palestina di Gaza utara tentang ancaman Trump.

Yasser al-Sharafa, 59, mengatakan dia mengabaikan ancaman-ancaman ini karena, seperti banyak orang di Gaza, dia “tidak punya apa-apa lagi yang bisa hilang”.

Sekarang, ia mengelola sebuah kios darurat yang menjual permen dan makanan ringan untuk anak-anak.

Sebelumnya, ia berkata: “Saya dulunya adalah pedagang pakaian terkenal. Saya punya toko besar, gedung enam lantai, mobil, dan gudang stok di Tel al-Hawa di Kota Gaza. Semua kerja keras selama bertahun-tahun itu lenyap, hancur dalam perang.

 

“Di mana pun Anda melihat, yang terlihat hanyalah kehancuran, keruntuhan, dan kesengsaraan. Apakah masih ada yang tersisa untuk kita sesali?

“Trump atau siapa pun, tidak ada bedanya.”

Mengungsi ke selatan selama perang, al-Sharafa dan keluarganya kembali ke utara setelah gencatan senjata dimulai, hanya untuk mendapati daerah yang hancur di mana kehidupan hampir tidak mungkin dijalani.

"Bahkan jika kita menyerahkan tawanan, tidak akan ada yang berubah. Perang bisa kembali kapan saja dengan dalih baru yang mereka buat. Kita sudah kehilangan kepercayaan pada seluruh dunia."

Terputus dari segalanya

Jamila Mahmoud, 62, tidak mendengar kata-kata Trump secara langsung, tetapi beberapa anggota keluarganya membicarakannya pada Kamis pagi.

"Seperti yang Anda lihat, kami benar-benar terputus dari segalanya. Tidak ada internet, tidak ada listrik, tidak ada sarana komunikasi," katanya.

Mahmoud yakin ancaman Trump adalah bagian dari perang psikologis yang ditujukan untuk memaksa orang keluar dari Gaza.

 

“Setiap kali, selalu ada skenario baru – terkadang, ada pembicaraan tentang pemindahan paksa; terkadang, Israel mengambil alih Gaza; dan hari ini, ada ancaman terhadap semua penduduk Gaza atas para tawanan.”

“Apakah Gaza tiba-tiba menjadi akar dari semua masalah dunia?” tanyanya.

Mahmoud bersikeras bahwa apa pun yang terjadi, dia tidak akan pernah menyerahkan haknya untuk hidup di Gaza, tanah airnya.

“Saya akan tetap bertahan di tanah saya, meski hanya reruntuhan rumah saya, apa pun yang terjadi,” tegasnya.

Usulan Indonesia

Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Sugiono mengusulkan kepada Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) tiga langkah kunci dalam merespons situasi di Palestina yang belum kunjung pulih dan justru terancam dengan potensi mandeknya gencatan senjata dengan Israel.

Dalam Konferensi Tingkat Menteri Luar Biasa (KTM-LB) OKI di Jeddah, Arab Saudi, Jumat (7/3), Menlu menegaskan tiga langkah tersebut, yang pertama adalah menjamin semua isi kesepakatan gencatan senjata tetap dipatuhi semua pihak.

 

“Tersedianya akses bantuan kemanusiaan adalah bagian penting dari kesepakatan gencatan senjata tahap pertama. Ini tidak boleh dijadikan posisi tawar dalam negosiasi untuk fase kedua,” kata Sugiono, menurut keterangan tertulis Kemlu RI yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Keputusan Israel untuk menghentikan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza merupakan pelanggaran berat terhadap hukum humaniter serta hukum HAM internasional, kata dia.

Langkah kedua, ucap Menlu, adalah memastikan rencana pemulihan dan rekonstruksi Gaza ke depan (day-after plan) dilakukan benar-benar sesuai dengan kepentingan rakyat Palestina, termasuk dengan tidak merelokasi secara paksa warga Palestina dari Gaza dengan dalih apapun.

 

“Indonesia siap berkontribusi dalam upaya rekonstruksi Gaza melalui berkolaborasi erat dengan organisasi masyarakat,” kata Sugiono, sembari menyatakan dukungan terhadap Deklarasi Kairo soal pemulihan Gaza yang disepakati negara-negara Arab pada Selasa (4/3).

Sugiono menyatakan bahwa langkah ketiga adalah dengan memperkuat upaya mewujudkan solusi dua negara yang semakin mendapat dukungan dari komunitas internasional. Ia menyerukan supaya dorongan tersebut diperkuat di berbagai forum dunia, termasuk OKI, Liga Arab, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Selain itu, Menlu menyerukan supaya negara-negara OKI memperkuat solidaritas dalam mendukung Palestina dan berperan lebih memulihkan kapasitas badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA, serta mendukung upaya dikeluarkannya fatwa hukum Mahkamah Internasional (ICJ) terhadap Israel yang masih berlangsung.

“Kita perlu terus mendesak DK PBB agar mereka mengemban tugasnya dan dapat menghasilkan resolusi untuk implementasi dan terwujudnya solusi dua negara,” ucap Menlu, menambahkan.

Menurut pernyataan Kemlu RI, konferensi tersebut menyepakati dua resolusi, yaitu Resolusi mengenai Situasi Palestina yang memuat dukungan bagi proses rekonstruksi Gaza, serta Resolusi mengenai pemulihan keanggotaan Suriah di OKI, yang sebelumnya dibekukan sejak 2012.

KTM-LB OKI tersebut dihadiri oleh 46 negara anggota OKI, di mana 27 di antaranya diwakili oleh menteri luar negeri seperti dari Indonesia, Arab Saudi, Malaysia, Maroko, dan Turki.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler