Tujuh Fakta Kasus Kejahatan Asusila AKBP Fajar Berdasarkan Temuan Komnas HAM
Komnas HAM mengategorikan kasus AKBP Fajar sebagai pelanggaran HAM.
Bambang Noroyono
Mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja saat digelandang Propam Polri ke sel tahanan di Mabes Polri. AKBP Fajar ditetapkan tersangka kejahatan kekerasan seksual terhadap tiga anak-anak dan satu orang dewasa.
Rep: Bambang Noroyono Red: Andri Saubani
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komnas HAM dari penelusuran dan investigasi yang dilakukan menemukan sedikitnya tujuh fakta terkait dengan kejahatan asusila yang dilakukan Fajar Widyadharma Lukman saat menjadi Kapolres Ngada, di Nusa Tenggara Timur (NTT). Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihobing mengungkapkan, temuan pertama terkait dengan tindak pidana kekerasan seksual dan eksploitasi terhadap anak yang dilakukan Fajar melibatkan peran serta perantara.
Baca Juga
“Dan dilakukan melalui aplikasi MiChat,” demikan temuan Uli selaku Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM melalui siaran pers, Jumat (28/3/2025).
Kedua, perantara yang diandalkan oleh Fajar dalam mencari anak-anak sebagai korban kebejatannya adalah seseorang dengan inisial V. Selanjutnya V meminta seorang perempuan lainnya berinisial F yang berusia 20-an tahun untuk melayani Fajar.
“Perantara V meminta F untuk mengaku diri sebagai anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) kepada Fajar,” kata Uli.
Ketiga, dari koneksi tersebut, Fajar selanjutnya meminta F untuk membawakan anak perempuan yang lebih muda. “Dengan alasan suka bermain dengan anak perempuan,” kata Uli.
Keempat, dari permintaan Fajar tersebut, selanjutnya F membawa anak perempuan yang masih berusia 6 tahun. “F membawa anak perempuan usia 6 tahun untuk bermain bersama Fajar,” kata Uli.
Akan tetapi, dikatakan F tak mengetahui perbuatan Fajar terhadap anak perempuan 6 tahun itu. “Tanpa diketahui oleh F, Fajar mencabuli dan merekam perbuatan asusila terhadap anak perempuan 6 tahun tersebut,” kata Uli.
Temuan kelima, Fajar merekam sendiri perbuatan bejatnya terhadap anak perempuan 6 tahun yang dibawa oleh F tersebut. Lalu Fajar menyebarluaskan perbuatan pencabulan terhadap anak perempuan 6 tahun tersebut atas dasar kesenangan.
“Video yang direkam dan disebarluaskan oleh Fajar dilakukan tanpa konsen korban anak 6 tahun dan dilakukan sebagai bentuk kesenangan karena berhasil mencabuli anak di bawah umur,” kata Uli.
Terkait perekaman, dan penyebaran video perbuatan bejat Fajar terhadap anak perempuan 6 tahun tersebut, Komnas HAM, kata Uli, belum menemukan bukti adanya faktor ekonomi antara korban dan pelaku. Temuan keenam, Komnas HAM juga mendapati adanya korban anak-anak lainnya.
Dikatakan Fajar melakukan perbuatan bejatnya terhadap anak perempuan lain yang berusia 16 tahun saat kejadian. Perkenalan Fajar dengan korban anak perempuan 16 tahun itu melalui aplikasi MiChat.
“Dan dari hubungan antara Fajar dengan korban anak perempuan 16 tahun tersebut, juga didapati korban lain anak perempuan berusia 13 tahun yang dibawa oleh anak 16 tahun tersebut,” kata Uli.
Ketujuh, kata Uli, Komnas HAM menemukan aktivitas tak bermoral yang dilakukan Fajar sebagai pemimpin kepolisian di wilayah Ngada itu sebanyak tujuh kali di beberapa hotel di Kupang. “Setidaknya terhadap tujuh kali pemesanan kamar di beberapa hotel di Kota Kupang atas nama Fajar,” ujar Uli.
Dari tujuh temuan tersebut, kata Uli, Komnas HAM menyatakan perbuatan Fajar tersebut sebagai perbuatan pelanggaran HAM. Dan perbuatan tersebut, Komnas HAM menyatakan Fajar melakukan pelanggaran berat terhadap hak-hak anak untuk mendapatkan rasa aman, dan bebas dari tindakan kekerasan, maupun eksploitasi anak.
“Berdasarkan temuan tersebut, Komnas HAM menegaskan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, sebagai mantan Kapolres Ngada terhadap anak-anak,” pernyataan Komnas HAM.
“Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja selaku aparat penegak hukum menggunakan relasi kuasa untuk melakukan pencabulan terhadap anak perempuan di bawah umur, kemudian merekam aktivitas pencabulan tersebut dan menyebarluaskan hasil rekaman perbuatannya,” sambung Komnas HAM. Atas temuan tersebut, Komnas HAM pun merekomendasikan kepada Polri untuk tetap memproses hukum Fajar ke peradilan umum.
Perbuatan bejat Fajar terhadap korban anak-anak terjadi ketika dia masih menjabat sebagai Kapolres Ngada dengan kepangkatan Ajun Komisaris Besar Pertama (AKBP). Namun sejak Februari 2025 kasus bejat yang dilakukannya itu mulai terbongkar, dan mengantarkannya ke sel tahanan internal di kepolisian. Polri, pun sempat memberhentikan sementara jabatannya selaku Kapolres Ngada. Pada Kamis (13/3/2025) lalu, setelah menjalani penahanan dan introgasi maksimal di Divisi Propam, Polri mengumumkan Fajar sebagai tersangka.
Penetapannya sebagai tersangka ketika itu terkait dengan tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak-anak yang dilakukannya. Divisi Propam Polri juga mengumumkan Fajar sebagai pelanggar. Status hukum tersebut masih menjeratnya sebagai tahanan, namun belum melucuti kepangkatannya. Baru pada Senin (17/3/2025) melalui Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) majelis pengadilan internal kepolisian memutuskan memecat Fajar sebagai anggota Polri.
Pemecatan tersebut, sekaligus melucuti kepangkatannya dari perwira menengah kepolisian. Namun atas putusan pemecatan tersebut, Fajar tak terima dan menyatakan banding. Sementara kasus kejahatan seksual yang menjeratnya sebagai tersangka, hingga kini belum ada kemajuan. Akan tetapi, dikatakan Fajar masih mendekam di sel tahanan di Bareskrim Mabes Polri.
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler