AS Cabut Visa Ratusan Mahasiswa Pro Palestina, Sebut Mereka Sudah Gila

AS mempertimbangkan untuk memblokir universitas dengan mahasiswa 'pro-Hamas'

Tangkapan Layar/VOA
Mahasiswa di AS berdemonstrasi mendukung Palestina (Ilustrasi)
Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kebijakan Pemerintah Amerika Serikat dalam menghadapi demonstrasi mahasiswa Pro-Palestina kembali disorot. Terlebih, saat  Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengonfirmasi pencabutan 300 visa mahasiswa akibat terlibat dalam protes pro-Gaza.

Baca Juga


Kebijakan tersebut diambil di tengah tindakan keras yang lebih luas terhadap aktivisme pro-Palestina di universitas-universitas AS. Dilansir dari Palestine Chronicle, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengumumkan pada Kamis (27/3/2025), bahwa sedikitnya 300 mahasiswa asing telah dicabut visanya sebagai bagian dari tindakan keras imigrasi pemerintahan Trump, jumlah yang jauh lebih tinggi dari yang diketahui sebelumnya.

Rubio mengonfirmasi hal tersebut selama konferensi pers di Guyana, ketika diminta untuk mengomentari laporan dari Axios. "Mungkin lebih, mungkin lebih dari 300 saat ini," kata Rubio yang berharap  jumlahnya bahkan akan lebih tinggi.

"Kami melakukannya setiap hari. Setiap kali saya menemukan salah satu dari orang gila ini, saya mencabut visa mereka," tambahnya.

"Saya berharap suatu saat kami kehabisan karena kami telah menyingkirkan mereka semua, tetapi kami mencari setiap hari untuk orang-orang gila yang merusak segalanya."

Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio. - (EPA-EFE/CRISTOBAL HERRERA-ULASHKEVICH )

Axios sebelumnya melaporkan bahwa pemerintahan Trump telah mencabut visa 300 mahasiswa asing. Para pejabat AS juga mempertimbangkan untuk memblokir universitas yang memiliki terlalu banyak mahasiswa asing "pro-Hamas" untuk menerima mahasiswa internasional.

Beberapa kampus yang menjadi target kebijakan otoriter Trump seperti Universitas Columbia, Universitas Tufts, dan Universitas Alabama. Kampus-kampus tersebut selama ini dikenal sebagai pusat demonstrasi yang mendukung Palestina dan menuntut diakhirinya genosida Israel.

Tindakan Pemerintahan Trump  bahkan telah meluas ke penduduk tetap yang sah, seperti Mahmoud Khalil, yang notabene merupakan pemegang kartu hijau.

Senator AS Elizabeth Warren mengkritik tindakan keras tersebut. Dia menggambarkan kebijakan Trump sebagai upaya yang meresahkan untuk mengekang kebebasan sipil.

Dia mengaku khawatir akan penargetan yang tidak proporsional terhadap mahasiswa dengan status hukum. Dia bahkan mencatat bahwa mahasiswa tersebut dikeluarkan dari komunitas mereka tanpa mengikuti proses hukum yang semestinya.

Warren menyebut tindakan tersebut sebagai serangan terhadap kebebasan dasar yang dijamin oleh Konstitusi AS. Dia mengkritik pemerintahan Trump atas pendekatannya terhadap aktivis pro-Palestina di lingkungan akademis.

 

 

Penangkapan mahasiswa Turki

Perkembangan ini menyusul penangkapan mahasiswa doktoral Turki Rumeysa Ozturk, mahasiswa doktoral berusia 30 tahun di Tufts University, yang ditahan oleh agen imigrasi AS bertopeng di Massachusetts.

Ozturk, yang mempertahankan status F-1 yang sah sebagai mahasiswa, sedang dalam perjalanan untuk bertemu teman-temannya pada malam hari untuk berbuka puasa Ramadhan ketika ia ditangkap oleh agen DHS. Pengacaranya, Mahsa Khanbabai, mengonfirmasi dalam sebuah pernyataan bahwa keberadaan Ozturk awalnya tidak diketahui, yang mendorong tindakan hukum untuk mencegah pemindahannya keluar dari negara bagian tersebut.

DHS membenarkan penahanan Ozturk dengan mengklaim bahwa ia terlibat dalam kegiatan yang mendukung Hamas. Ozturk telah ikut menulis opini pada tahun 2024 yang menyerukan agar Tufts University menarik diri dari perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan dengan Israel, sebuah posisi yang ditandai oleh kelompok-kelompok seperti Canary Mission, yang menargetkan mahasiswa dan aktivis pro-Palestina.

Kasusnya menjadi lambang tindakan keras yang lebih luas terhadap aktivis pro-Palestina di universitas-universitas AS, termasuk kasus-kasus penting lainnya seperti kasus Mahmoud Khalil, lulusan Universitas Columbia, dan peneliti Universitas Georgetown Badar Khan Suri.

Universitas Tufts sendiri menanggapi penangkapan Ozturk dengan menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui insiden tersebut sebelumnya. Pihak kampus menekankan bahwa universitas tersebut tidak membagikan informasi apa pun kepada otoritas federal. Presiden Universitas Sunil Kumar mengonfirmasi bahwa status visa Ozturk telah dihentikan, meskipun lembaga tersebut masih belum yakin tentang detail penghentiannya.

Setelah kejadian tersebut, protes meletus di Universitas Tufts, tempat ribuan orang berkumpul untuk mendukung Ozturk, menuntut pembebasannya segera.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler