China Tegaskan tak Gentar dengan Ancaman Donald Trump

Beijing pun bertekad mengambil tindakan balasan atas kebijakan tarif Trump.

Chinatopix Melalui AP
Seorang pekerja memuat gulungan pelat baja di pasar baja di Hangzhou di provinsi Zhejiang, China timur, Senin, 31 Maret 2025. China membalas tarif resiprokal AS dengan kenaikan tarif 32 persen.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING --  Pemerintah China menegaskan, tidak gentar dengan ancaman Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengenakan tarif tambahan 50 persen terhadap barang-barang asal China. Beijing pun bertekad mengambil tindakan balasan.

Baca Juga


"Kami tidak akan menoleransi segala upaya untuk merugikan kedaulatan, keamanan, dan kepentingan pembangunan China. Kami akan terus mengambil tindakan tegas dan kuat untuk melindungi hak dan kepentingan sah kami," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian dalam konferensi pers di Beijing pada Selasa (8/4/2025).

Sebelumnya Donald Trump dalam media sosialnya X mengancam bahwa AS akan mengenakan tarif tambahan sebesar 50 persen terhadap China mulai 9 April 2025 jika China tidak menarik tambahan tarif sebesar 34 persen paling lambat Selasa (8/4/2025). Trump juga mengatakan semua pembicaraan dengan China akan dihentikan sementara negosiasi dengan negara lain akan segera dimulai.

Bila hal tersebut benar-benar dilakukan oleh Trump, artinya barang-barang asal China akan dikenakan tarif impor sangat tinggi yaitu 104 persen. "Kami tidak akan membiarkan siapa pun merampas hak sah rakyat China untuk membangun," tambah Lin Jian.

Lin Jian mengatakan penyalahgunaan tarif oleh AS sangat melanggar hak dan kepentingan sah negara lain, melanggar aturan WTO, merusak sistem perdagangan multilateral berbasis aturan, dan berdampak pada stabilitas tatanan ekonomi global.

"Ini adalah langkah khas unilateralisme, proteksionisme, dan intimidasi ekonomi, yang ditentang luas oleh masyarakat internasional. China prihatin dan menolaknya," tegas Lin Jian.

Masyarakat China, ungkap Lin Jian, bukanlah pembuat masalah, tetapi tidak akan gentar saat masalah menghampiri.

"Intimidasi, ancaman, dan tekanan bukanlah cara yang tepat untuk berinteraksi dengan China. Jika AS memutuskan untuk hanya peduli dengan kepentingan AS sendiri, China, dan seluruh dunia, bertekad untuk melawan tarif dan perang dagang, respons China akan terus berlanjut sampai akhir," kata Lin Jian.

Terkait dengan apakah China dan AS akan melakukan perundingan dagang, Lin Jian menyebut, bila dilihat dari tindakannya, AS tampaknya tidak serius untuk berunding saat ini.

"Jika AS benar-benar ingin berunding, AS harus menunjukkan kepada dunia bahwa mereka siap memperlakukan pihak lain dengan setara, hormat dan saling menguntungkan," ungkap Lin Jian.


 

Kementerian Perdagangan China juga mengatakan bila jika AS terus melanjutkan penerapan langkah-langkah kenaikan tarif, China akan mengambil tindakan balasan yang tegas. Apa yang disebut "tarif timbal balik" oleh AS terhadap China, menurut Kementerian Perdagangan China, sama sekali tidak berdasar dan merupakan contoh khas dari intimidasi sepihak.

Tindakan balasan China dinilai sepenuhnya dibenarkan karena bertujuan untuk menegakkan kedaulatan, keamanan, dan kepentingan pembangunan China sekaligus menjaga tatanan perdagangan internasional yang normal.

"Ancaman AS untuk meningkatkan tarif adalah dua kali lipat keliru, sekali lagi mengungkap sifat pemerasannya. China dengan tegas menolak tindakan tersebut. Jika AS terus melakukan tindakan gegabah ini, China akan menanggapi dengan tegas hingga akhir," demikian disampaikan oleh Kementerian Perdagangan China.

Trump awalnya mengenakan tarif 10 persen untuk semua barang China pada bulan Februari 2025 tanpa pengecualian karena menilai China ikut terlibat dalam membantu imigrasi ilegal dan menyelundupkan fentanil ke AS. Pada Maret 2025, Trump lalu mengenakan tarif 20 persen kepada semua barang asal China dengan alasan yang sama.

Kemudian pada 2 April, Trump mengumumkan kombinasi tarif universal senilai 10 persen dan tarif timbal balik terhadap berbagai negara dan entitas, termasuk China yang dikenai tarif sebesar 34 persen. Atas tindakan Trump tersebut maka pada 4 April, China mengumumkan pengenaan tarif tambahan sebesar 34 persen atas barang-barang asal AS, selain tarif yang sudah berlaku saat ini.

Bila Trump benar-benar menerapkan tambahan tarif 50 persen, artinya, barang asal China akan kena tarif 104 persen dari harga asli barang, padahal China tercatat eksportir terbesar kedua AS yaitu senilai 439 miliar dolar AS dengan barang berupa ponsel pintar, komputer, furnitur, mainan dan produk lainnya. Sedangkan AS sendiri mengekspor 144 miliar dolar AS ke China.



Analis Doo Financial Futures Lukman Leong menilai, ancaman tarif tambahan dari Presiden AS Donald Trump sebesar 50 persen atas impor dari China memperumit keadaan. “Mengingat karakter Trump, hal ini memang memperumit keadaan. Namun sebagai figur yang unpredictable, segala hal masih dapat terjadi,” ungkapnya, di Jakarta, Selasa.

China tercatat sebagai eksportir terbesar kedua AS setelah Meksiko dan pasar ekspor terbesar ketiga AS, setelah Kanada dan Meksiko. China tercatat mengekspor 426,9 miliar dolar AS ke AS berupa ponsel pintar, furnitur, mainan dan produk lainnya, tetapi juga membeli produk-produk AS seperti semikonduktor, bahan bakar fosil, barang pertanian dan barang lain senilai 147,8 miliar dolar AS.

Kementerian Perdagangan China juga mengumumkan akan menambahkan 11 perusahaan AS ke dalam daftar "entitas yang tidak dapat diandalkan" sehingga dilarang untuk berbisnis di China atau berbisnis dengan perusahaan China.

Kementerian Perdagangan China juga memberlakukan sistem perizinan untuk membatasi ekspor tujuh unsur tanah jarang yang ditambang dan diproses hampir secara eksklusif di China dan biasa digunakan untuk produk kendaraan listrik. Kementerian yang sama juga menambahkan 27 perusahaan ke dalam daftar perusahaan yang menghadapi pembatasan perdagangan, dan meluncurkan penyelidikan antimonopoli terhadap anak perusahaan AS.

Sementara Bea Cukai China mengatakan akan menghentikan impor ayam dari lima eksportir komoditas pertanian terbesar AS dan impor sorgum.

“Trump masih bisa menggunakan TikTok dan mungkin Taiwan (sebagai alat tawar menawar) untuk menyelamatkan dunia dari perang dagang dua ekonomi terbesar dunia. Namun tentunya sekarang akan semakin sulit, dampaknya akan kolosal,” kata Lukman.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler