Di Dalam Tubuh yang Sehat Belum Tentu Terdapat Jiwa yang Kuat
Kesehatan mental bukan barang mewah, tapi kebutuhan dasar manusia.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Adiwijaya, Guru Besar Telkom University
Kita sering menjumpai seseorang yang terlihat sehat, bugar, penuh energi, tapi ternyata menyimpan luka batin atau tekanan mental yang berat? Atau Mungkin dia rajin olahraga, makan makanan sehat, tapi diam-diam merasa hampa, cemas, atau bahkan gampang menyerah pada hidup.
Ini adalah potret nyata yang terjadi pada banyak orang hari ini. Ungkapan klasik Mens sana in corpore sano—di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat—perlu dikaji ulang. Sebab, kenyataannya sehat secara fisik belum tentu sehat jiwanya.
Ada beberapa data yang menggelitik kesadaran kita. Menurut data WHO, lebih dari 800 ribu orang di dunia meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Sering kali, mereka bukan orang yang sakit parah secara fisik, justru banyak yang tampak “baik-baik saja”.
Di Indonesia sendiri, masalah kesehatan mental semakin mengkhawatirkan. Sebanyak 6,1 persen penduduk usia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kesehatan mental. Di kalangan remaja, 1 dari 3 mengaku mengalami stres, depresi, kesepian, atau kecemasan berlebih.
Kondisinya yang lebih gawat lagi adalah untuk kalangan mahasiswa. Berdasarkan beberapa sumber literasi disampaikan bahwa 54,7 persen mengalami gejala depresi, 86,8 persen mengalami kecemasan tinggi, dan 34,5 persen bahkan pernah memikirkan untuk mengakhiri hidupnya. Realitas ini tidak bisa kita abaikan, meskipun mayoritas dari mereka sehat secara fisik.
Kesehatan mental adalah hal yang rumit dan dipengaruhi oleh banyak faktor, bukan hanya soal tugas yang menumpuk atau tekanan di tempat kerja. Ada berbagai hal yang bisa memicu gangguan kesehatan mental. Sering kali akar masalahnya lebih dalam dari yang terlihat.
Beberapa di antaranya adalah trauma masa lalu, terutama yang terjadi saat masih kecil. Selain itu, kurangnya dukungan sosial juga bisa menjadi penyebab. Ketika seseorang merasa sendirian tanpa tempat bercerita atau bersandar, baik dari keluarga, teman, maupun lingkungan sekitar.
Tekanan akademik atau beban kerja yang berlebihan juga bisa membuat mental menjadi rentan. Ditambah lagi dengan kondisi ekonomi yang sulit, seperti pengangguran atau pekerjaan yang tidak manusiawi, yang membuat hidup terasa semakin berat.
Lingkungan digital seperti media sosial juga berpengaruh besar. Ketika kita terus-menerus membandingkan diri dengan pencapaian orang lain, rasa cemas dan tidak percaya diri pun bisa muncul tanpa disadari. Bahkan, orang dengan genetik bagus dan pola hidup sehat tetap bisa mengalami gangguan mental jika tidak memiliki kemampuan mengelola emosi atau menghadapi tekanan hidup.
Ada anggapan bahwa makin tinggi pendidikan seseorang, makin stabil juga mentalnya. Sayangnya, ini tidak selalu benar.
Banyak mahasiswa bahkan dari kampus ternama yang justru menjadi kelompok paling rentan. Tuntutan nilai, ekspektasi keluarga, ketakutan akan masa depan, dan minimnya waktu istirahat teah menjadi pemicu. Ditambah, banyak kampus belum menyediakan layanan konseling yang ramah dan terbuka.
Jiwa yang Kuat: Butuh Karakter dan sentuhan spiritual, Bukan Hanya Logika
Kesehatan mental bukan sekadar tentang menghindari stres, tapi tentang bagaimana kita membentuk karakter yang kuat, baik secara emosional maupun spiritual. Kesehatan mental ibarat fondasi sebuah rumah: jika rapuh, maka sekuat apa pun bangunan di atasnya tetap berisiko runtuh.
Ada beberapa pilar penting yang terbukti membantu seseorang tetap stabil secara mental. Pertama, resiliensi, yaitu kemampuan menghadapi kegagalan sehingga mampu bangkit darinya.
Selanjutnya ada kesadaran diri (self-awareness), kemampuan untuk mengenali emosi dan memahami apa yang kita rasakan dan mengapa kita merasakannya. Selanjutnya, empati, yakni kepekaan untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain.
Pengendalian diri juga tak kalah penting sehingga kita tidak mudah terpancing, mampu menahan impuls negatif, dan bertindak dengan penuh pertimbangan. Terakhir, ada optimisme, yaitu kemampuan melihat sisi terang bahkan di tengah kesulitan.
Karakter-karakter inilah yang menjadi bekal untuk menjaga kesehatan mental tetap utuh, dalam dunia yang sering kali penuh tekanan dan ketidakpastian. Karakter ini tidak muncul begitu saja, namun perlu dilatih, pembiasaan, dan pola pikir sehat.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang religius, spiritualitas memainkan peran penting dalam ketahanan jiwa. Ajaran agama menawarkan nilai-nilai yang sangat relevan untuk menjaga kesehatan mental, antara lain: sabar, syukur, tawakal, dan ikhlas.
Saat kita memahami bahwa tugas kita hanyalah berusaha sebaik mungkin, sementara hasil akhirnya adalah kehendak Tuhan, hati pun terasa lebih lapang, dan pikiran menjadi lebih tenang, sehingga kesehatan mental pun lebih terjaga. Semua nilai ini bukan sekadar konsep, tapi terbukti secara ilmiah mampu menurunkan stres, kecemasan, dan bahkan meningkatkan hormon kebahagiaan.
Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul bukan hanya soal kecerdasan intelektual, tapi juga keseimbangan antara pikiran, emosi, dan spiritualitas. Mereka adalah pribadi yang cerdas dalam berpikir, namun tetap bijak secara emosional.
Mereka mampu bekerja keras, namun tahu kapan harus berhenti dan memberi ruang untuk beristirahat. Mereka punya prestasi akademik yang membanggakan, namun juga punya empati dan ketenangan batin.
Lingkungan tempat kita belajar dan bekerja memegang peran besar dalam membentuk kesehatan mental. Oleh karena itu, kita perlu mendorong terciptanya budaya yang suportif, baik di sekolah, kampus, maupun tempat kerja.
Budaya yang manusiawi, yang saling mendukung, memberi ruang untuk istirahat, menghargai keseimbangan hidup, dan tidak hanya menuntut produktivitas semata. Ketika seseorang merasa diterima dan dimengerti, ia akan lebih mudah berkembang, bukan hanya secara akademik atau profesional, tapi juga sebagai manusia seutuhnya. Kesehatan mental bukan barang mewah, tapi kebutuhan dasar manusia.
Di era yang penuh tekanan ini, punya tubuh sehat saja tidak cukup. Bangsa Indonesia yang tangguh tak hanya lahir dari kesehatan fisik dan kecerdasan otak, tapi juga dari hati yang lapang, jiwa yang bahagia, emosi yang stabil, dan makna hidup yang jelas.