Menlu Sugiono Tegaskan Prinsip Satu China, RI tak Ikut Campur Masalah Xinjiang
Kepada Menhan dan Menlu RI, Menhan China tuding AS mendukung aksi separatisme Taiwan.
REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Menteri Luar Negeri (Menlu) Sugiono menegaskan prinsip "Satu China" dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Sugiono menyampaikan hal tersebut dalam 2+2 Pertemuan Tingkat Menteri Pertama China-Indonesia bersama dengan Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin, Menlu China Wang Yi dan Menhan China Dong Jun.
"Indonesia menganut kebijakan luar negeri "Satu China", sehingga persoalan mengenai Taiwan, Xinjiang, maupun Hong Kong adalah masalah dalam negeri China dan Indonesia tidak ada keinginan untuk mencampurinya karena jelas bahwa hal-hal tersebut adalah urusan internal China," kata Sugiono di Wisma Negara Diaoyutai, Beijing pada Senin (21/4/2025).
Pertemuan tersebut merupakan tindak lanjut pertemuan Presiden Prabowo Subianto dan Presiden China Xi Jinping pada 9 November 2024 yang mencapai kesepakatan kedua negara akan bekerja sama di lima pilar. Kesepakatan itu mencakup bidang politik, ekonomi, pertukaran masyarakat, maritim dan keamanan.
"Kami menegaskan bahwa masyarakat dan pemerintah Indonesia, termasuk pihak militer secara konsisten menghormati China dalam isu Taiwan sedangkan soal Laut China Selatan, seperti yang Anda sampaikan bahwa ada tensi di sana dan punya potensi terjadinya eskalasi, kami ingin agar dialog terus dilakukan dan akhirnya menciptakan stabilitas di kawasan," ucap Sugiono.
Dalam pertemuan itu, Menlu Wang Yi mengatakan, pilar keamanan dan pembangunan seperti dua roda sepeda yang harus seimbang dalam kebijakan pemerintahan. China, sambung dia, mengapresiasi Indonesia yang mendukung prinsip "Satu China".
"Dan kami kami yakin Indonesia akan terus mendukung posisi China di termasuk soal Taiwan, Xinjiang, Xizang (Tibet) dan Hong Kong, karena ini adalah masalah internal China dan pada saat yang sama, China juga akan mendukung Indonesia dalam isu-isu internasional," kata Wang Yi.
Di bidang keamanan dan kedaulatan, kata Wang Yi, ada dua isu utama dari China yang diharapkan dapat didukung oleh Indonesia. "Pertama soal Taiwan, Partai Progresif Demokratik (DPP) bersikeras untuk untuk isu kemerdekaan, padahal sesuai dengan Deklarasi Kairo dan Deklarasi Potsdam bahwa Taiwan dikembalikan dari Jepang," ungkap Wang Yi.
Menurut Wang Yi, Deklarasi Kairo pada 1943 secara tegas menuntut bahwa "semua wilayah yang diambil Jepang dari China termasuk Taiwan di Pulau Formosa dikembalikan ke China. Adapun Deklarasi Potsdam 1945 selanjutnya menetapkan bahwa "ketentuan Deklarasi Kairo harus dilaksanakan".
Masalah kedua adalah soal kelanjutan perundingan untuk membuat Kode Pedoman Perilaku Para Pihak (Code of Conduct atau COC) dapat terus dilanjutkan. "Dengan adanya COC maka ada pendekatan kolaboratif di Laut China Selatan dan dapat diikuti oleh semua pihak. Kami berharap Indonesia dapat memainkan peran lebih besar dalam negosiasi sehingga dapat menjaga stabilitas di Laut China Selatan," ucapnya.
Wang Yi pun berharap agar China dan ASEAN jangan mau dipecah oleh pihak luar yang ingin membuat hubungan keduanya tegang. "Bila China dan ASEAN damai maka tidak ada kesempatan bagi mereka untuk mencampuri urusan dalam negeri kita, tapi percayalah China tidak akan melakukan aksi unilateral dan membuat masalah di kawasan," ungkap Wang Yi.
Sementara Menhan China Laksamana Dong Jun mengatakan, Amerika Serikat (AS) terus mendukung aksi separatisme di Taiwan. Sementara itu, China harus melakukan latihan militer untuk melakukan upaya penggentaran terhadap gerakan separatisme di Taiwan dan mencegah AS ikut campur di Taiwan.
"Tujuan kami adalah reunifikasi Taiwan dan kami akan selalu mendukung reunifikasi dengan cara apa pun," kata Dong Jun.
Baca: Kepada Dubes Australia, Sjafrie Sampaikan Posisi Indonesia Bebas Aktif
Masalahnya, ungkap Dong Jun, AS mengerahkan sistem rudal jarak menengah Angkatan Darat ke Filipina utara. Sistem rudal Typhon itu merupakan senjata berbasis darat yang bisa menembakkan Rudal Standar-6 dan Rudal Serang Darat Tomahawk sebagai bagian dari latihan tempur gabungan tentara AS dan Fipilina pada Oktober 2024.
"Hal ini tentu berbahaya untuk keamanan kawasan," ungkap Dong Jun.