Marshmallow Mengandung Babi, Ketua ALPHI Soroti Lemahnya Pengawasan Produk Halal

Proses audit produk tersebut diduga dilakukan antara 2020-2022.

Republika/Fuji Eka Permana
Jajanan anak Chomp Chomp Flower Mallow (Marshmallow Bentuk Bunga) dan Chomp Chomp Marshmallow (Mini Marshmallow) mengandung unsur babi masih beredar di pasar modern di Jakarta, Selasa (22/4/2025).
Rep: Muhyiddin Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Asosiasi Lembaga Pemeriksa Halal Indonesia (ALPHI), Elvina A Rahayu menyoroti temuan tujuh produk marshmallow mengandung unsur babi yang sempat mengantongi sertifikat halal (SH) dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Ia menegaskan, hal tersebut menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap produk bersertifikat halal di Indonesia.

Baca Juga


Menurut Elvina, produk marshmallow yang lolos sertifikasi seharusnya adalah yang menggunakan gelatin dari sapi, bukan babi. "Yang disertifikasi halal tentunya permen marshmallow yang tidak mengandung unsur babi, atau bahan bakunya bersumber dari gelatin sapi bukan babi. Jadi bukan meloloskan produk marshmallow yang mengandung unsur babi,,” ujar Elvina saat dihubungi Republika, Selasa (22/4/2025).

Elvina merespons temuan BPJPH dan BPOM yang mengidentifikasi DNA babi dalam beberapa produk marshmallow. Dari sembilan produk yang diuji, delapan merupakan marshmallow impor asal China dan satu berupa gelatin lokal produksi Hakiki Donarta. Dari delapan produk impor, enam di antaranya memiliki sertifikat halal dari BPJPH.

Elvina mengungkapkan bahwa proses audit produk tersebut dilakukan antara tahun 2020 hingga 2022, masa pandemi Covid-19. Ia menduga kuat saat itu audit dilakukan secara daring (online), yang rawan mengurangi ketelitian proses verifikasi kehalalan, terlebih pada produk impor yang memiliki risiko tinggi dalam aspek kehalalan.

Direktur Utama LPH Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Muti Arintawati dan Ketua Ketua Asosiasi Lembaga Pemeriksa Halal Indonesia (ALPHI) Elvina A Rahayu di Jakarta, Rabu (20/3/2025). - (Republika/Fuji Eka Permana)

"Setelah SH keluar beragam ada yang di tahun 2021 hingga 2022 (saya menduga dari no SH BPJPH yang diinfokan), maka perlu dipertanyakan apakah ada pengawasan terhadap ke tujuh produk yang telah mendapatkan SH?," ucap dia. 

Dalam Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH), menurut dia, seharusnya ada pelaporan perubahan bahan baku atau proses setiap enam bulan. Namun, hingga kini belum tersedia fasilitas pelaporan itu di sistem Sihalal milik BPJPH.

"Pada Kriteria SJPH, maka ada mekanisme pelaporan setiap enam bulan ada perubahan atau tidak namun permasalahan yang ada kemana pelaku usaha mau melaporkan ? Tidak ada fasilitas di Sihalal yang disediakan oleh BPJPH untuk pelaporan setiap enam bulan," kata dia.  

 

 

Dia pun mempertanyakan mekanisme pelaporan pelaku usaha sebagaimana pasal 50 ayat d dan pasal 51 ayat e, PP no 42/2024,  yaitu melaporkan perubahan terkait bahan baku dan atau proses produk halal kepada BPJPH. 

"Artinya ini fungsi pengawasan dari BPJPH. Sepanjang sepengetahuan saya fungsi ini belum jalan, kecuali perusahaan yang memang berkomitmen menjaga kehalalan yang secara aktif menyampaikan perubahan dengan melakukan registrasi ulang dengan konsekuensi pembayaran kembali biaya BLU sebesar Rp 12,5 juta untuk produk lokal dan produk impor Rp 12,5 juta plus registrasi Rp 800 ribu," jelas dia.

Tak hanya itu, Elvina menyoroti peran penyelia halal di tiap perusahaan. Ia menilai peran tersebut sering kali hanya formalitas semata. “Padahal penyelia halal wajib muslim dan bertugas mengawasi proses produksi. Bila produk yang dihasilkan menyimpang, penyelia halal juga patut dipertanyakan,” ujarnya.

Terkait produk lokal dari Hakiki Donarta, ia menduga produk tersebut merupakan hasil repack dari gelatin impor. Bila benar demikian, maka perlu diklarifikasi apakah produk asalnya memiliki sertifikat halal dari BPJPH atau Lembaga Halal Luar Negeri (LHLN). Regulasi mensyaratkan bahwa produk yang direpack harus berasal dari produk bersertifikat halal dari BPJPH.

Elvina meminta pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap masa berlaku sertifikat halal dan memperjelas siapa pihak yang bertanggung jawab dalam pengawasan pascasertifikasi—apakah Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) atau BPJPH.

Menurut dia, jumlah LPH sendiri sudah cukup banyak. Per 25 Maret tahun ini sudah ada 86 LPH di Indonesia, 70 pratama dan selebihnya utama. Karena itu, kata dia, BPJPH perlu melibatkan mereka dalam pengawasan.

"Karenanya kami berharap BPJPH melibatkan LPH yang ada untuk bersama sama melakukan fungsi pengawasan JPH di Indonesia ini. Sekali lagi saya ingin mengingatkan kembali, bahwa produk halal kebutuhan konsumen Muslim, bukan pilihan!," ucap dia.

Republika telah menghubungi sejumlah perusahaan produsen marshmallow yang masuk dalam daftar BPJPH  baik melalui surel maupun WhatsApp, namun belum mendapat tanggapan.

Lewat akun Instagram @chompchomp marshmallow, produsen marshmallow menyampaikan klarifikasi bahwa produknya sudah bersertifikasi halal. 

"Sejak awal, Chompchomp berusaha untuk menjaga produk kami halal dan aman dikonsumsi. Kami tidak main-main soal kehalalan. Setiap langkah kami tempuh dari memilih produsen bersertifikat halal, bahan baku yang terverifikasi hingga uji mandiri di laboratorium BUMN. "

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler