Abbas Gembosi Pejuang Gaza yang Korbankan Jiwa Raga, Akhir Keruntuhan Otoritas Palestina?
Abbas menggembosi perjuangan pejuang Gaza dan Tepi Barat Palestina.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ini bukan sebuah kesalahan lidah, melainkan sebuah kesalahan nasional dan moral yang dilakukan oleh Mahmoud Abbas (Abu Mazen) dalam pernyataannya baru-baru ini.
Dia melancarkan serangan tajam terhadap Perlawanan Palestina di Gaza, yang dipimpin oleh Gerakan Perlawanan Islam, Hamas, yang memicu gelombang kemarahan dan kontroversi yang meluas di kalangan masyarakat dan pengguna media sosial.
Hal ini terjadi pada saat pembukaan sesi ke-32 Dewan Pusat Palestina (PCC), di mana dia menuntut agar tawanan Israel yang ditahan oleh Perlawanan diserahkan.
Dia menggunakan bahasa yang menghina dan tidak pantas terhadap Perlawanan ketika melakukan hal itu, alih-alih mengarahkan tuduhannya kepada entitas Zionis dan menuntut agar mereka berhenti melakukan pembantaian dan serangan berulang kali terhadap rakyat Palestina.
Dalam sebuah pernyataan yang memicu kontroversi luas, Komite Sentral Fatah meminta Gerakan Perlawanan Islam, Hamas, untuk "berhenti mengarahkan nasib rakyat Palestina sesuai dengan agenda-agenda asing".
Komite Sentral menganggap Hamas bertanggung jawab karena menghalangi proses nasional Palestina, dan menuntut Hamas untuk mematuhi apa yang disebutnya sebagai upaya-upaya Mahmoud Abbas dan mematuhi kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Menurut para pengamat dan analis, pernyataan-pernyataan ini, yang bertepatan dengan meningkatnya serangan brutal Israel ke Jalur Gaza dan krisis nasional yang memburuk, mencerminkan pergeseran prioritas politik Otoritas Palestina dan merupakan upaya berbahaya untuk mengalihkan tanggung jawab atas krisis ke pihak Perlawanan daripada menghadapi Penjajah.
Pernyataan Komite Sentral Fatah tidak bisa dilepaskan dari jalan yang telah ditempuh Otoritas Palestina selama bertahun-tahun, dalam bentuk koordinasi keamanan dengan Penjajah Israel, penganiayaan terhadap para pejuang Perlawanan di Tepi Barat, dan mendistorsi citra perlawanan bersenjata dalam berbagai bentuk, dengan dalih "kepentingan nasional" dan "legitimasi internasional".
Di saat warga Palestina terbunuh setiap hari di Jalur Gaza dan rumah-rumah mereka dihancurkan di Tepi Barat, Otoritas Palestina memilih untuk mengarahkan kritiknya kepada Hamas daripada meminta pertanggungjawaban Penjajah Israel atas kejadian-kejadian yang ada
Setelah absennya Mahmoud Abbas dari lapangan dan kancah politik pada tahap kritis dan sulit yang dialami perjuangan Palestina sejak Nakba 1948, Abbas kini muncul setelah lebih dari 18 bulan bungkam dan terlibat dalam penghinaan terhadap rakyatnya, pembenaran atas kejahatan penjajah dan membela Netanyahu kepada para korban, yang sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan.
Bahkan di saat-saat terakhir karier politiknya, Abbas bersikeras untuk menjadi penentang para martir dan keluarga mereka, karena dia menangguhkan gaji untuk keluarga martir, yang terluka dan para tahanan, memperkuat koordinasi keamanan dengan Penjajah meskipun mereka melakukan pembantaian, menolak untuk bergabung dengan posisi nasional yang terpadu, dan mengganggu semua bentuk perlawanan.
Tim politiknya terus mempromosikan retorika yang menganggap Perlawanan bertanggung jawab atas kemerosotan yang terjadi saat ini.
Para pengamat melihat hal ini sebagai upaya untuk membenarkan ketidakefektifan dan kelumpuhan PA, serta ketakutannya akan kehilangan relevansinya yang tersisa, mengingat peran faksi-faksi Perlawanan yang terus meningkat di Gaza dan Tepi Barat yang diduduki
Sementara brigade-brigade perlawanan di Gaza menghadapi mesin pembunuh Israel, dinas keamanan PA terus mengejar para aktivis di Jenin, Nablus, dan Tulkarm, menangkap siapa saja yang bersuara untuk mendukung perlawanan atau mengkritik kinerja PA.
Sejumlah laporan telah mengungkapkan keterlibatan badan-badan Otoritas Palestina dalam memberikan informasi tentang para aktivis yang dicari kepada pasukan pendudukan dan menghalangi operasi-operasi yang dilakukan faksi-faksi perlawanan sebelum terjadi.
Koordinasi ini digambarkan oleh beberapa analis sebagai bentuk "pengkhianatan fungsional", karena PA telah menjadi badan keamanan yang melayani Pendudukan sebagai imbalan untuk menjaga eksistensi PA dan kepentingan elit penguasanya.
Mempertimbangkan praktik-praktik ini, pernyataan-pernyataan Komite Sentral Fatah tampaknya memberikan kedok politik untuk fungsi keamanan ini dan membangun persamaan yang berbahaya: prioritasnya bukanlah menghadapi Pendudukan, melainkan mengendalikan jalan Palestina dan membongkar front internalnya, meskipun ini harus mengorbankan pertumpahan darah Palestina.
Sementara Perlawanan di Gaza mengajukan rencana pembebasan dan menghadapi pendudukan dalam situasi kemanusiaan dan politik yang sangat kompleks, Otoritas Palestina bersikeras mempertahankan proyek negara di bawah pendudukan, sebuah proyek yang telah terbukti gagal selama lebih dari dua dekade.
Meskipun sudah lebih dari tiga puluh tahun sejak berdirinya PA, negosiasi Oslo belum mengarah pada pembentukan Negara Palestina. Sebaliknya, perundingan-perundingan tersebut justru menghasilkan lebih banyak pemukiman, pemindahan, perpecahan, dan pengukuhan pendudukan.
Paradoksnya jelas: sementara darah Palestina ditumpahkan setiap hari di Gaza, tanah-tanah diratakan di Tepi Barat dan tempat-tempat suci dinodai, Otoritas Palestina bersikeras dengan sikapnya yang tidak fleksibel terhadap Perlawanan, menuduhnya melaksanakan agenda-agenda asing. Pada kenyataannya, Otoritas Palestina hanya melaksanakan agenda koordinasi keamanan dan legitimasi palsu yang kini lebih melayani kepentingan penjajah daripada aspirasi rakyat Palestina.
Di tengah tantangan berat yang dihadapi rakyat Palestina, termasuk perang genosida dan pemindahan paksa di Gaza serta penindasan di Tepi Barat, pembicaraan Komite Sentral Fatah mengenai agenda asing dan legitimasi Palestina tidak lagi meyakinkan bagi sebuah bangsa yang menyaksikan sendiri, siapa yang bertempur, siapa yang diam, siapa yang bersekongkol, siapa yang menjadi martir, dan siapa yang menandatangani perjanjian koordinasi keamanan.
Dalam konteks ini, sebuah fakta penting muncul: Perlawanan, dengan semua faksinya, telah menjadi suara jalanan Palestina, sementara Otoritas Palestina terus berjalan menuju marjinalisasi, kemunduran dan keruntuhan, hingga sejarah membalik halamannya seperti pengalaman-pengalaman gagal lainnya.
*Artikel ini diterbitkan arabi21, dengan judul Mahmud Abbas, Ayyu Suquth? Isi artikel tidak mencerminkan suara redaksi Republika.co.id