'Rekrutmen Hakim Agung Harus Gambarkan Kedaulatan Rakyat'
REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Indonesia kini telah memisahkan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sebagai konsekuensinya, Indonesia kini memiliki lembaga negara Mahkamah Agung. Anggota MPR RI Fraksi PKB Lukman Edy mengatakan sebelum dilakukan perubahan UUD 1945, banyak substansi dalam kewenangan MA yang masih tercampur antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif.
Misalnya saja Hakim Agung yang diangkat oleh presiden, MA digaji oleh anggaran pemerintah, sehingga MA tidak mungkin bisa menjalankan fungsinya seperti yang diharapkan. Terjadi penegakan hukum yang tidak benar, proses peradilan yang berpihak dan tidak merdeka karena bercampur oleh kekuasaan yang lain.
"Oleh karena itu, pasca reformasi MA termasuk lembaga yang dilakukan perubahan secara signifikan, salah satunya yaitu masalah rekruitmen Hakim Agung", kata Lukman Edy, dalam kegiatan ToT yang diselenggarakan oleh MPR RI di lingkungan perwira menengah TNI dan POLRI, Sabtu (29/8).
Dia menjelaskan pada dasarnya, semua lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 dilakukan perubahan karena ingin memperkuat kedaulatan rakyat. Sehingga, kata dia, rekruitmen Hakim Agung juga harus menggambarkan kedaulatan rakyatnya, dipilih oleh rakyat yang diwakili oleh DPR.
Selain itu, pascaamandemen juga ditambahkan beberapa kewenangan MA. Salah satunya, memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam memberikan grasi dan rehabilitasi, mengirimkan tiga nama untuk calon Hakim Konstitusi, masuknya Peradilan Tata Usaha Negara, diakuinya hukum Islam dalam peradilan nasional dan munculnya Peradilan Agama di bawah rezim MA.
"Dengan adanya Peradilan Tata Usaha Negara, artinya kebijakan pemerintah dapat digugat oleh rakyat, yang sebelum reformasi tidak mungkin terjadi", kata Lukman Edy.