22 Kampus Beri Masukan MPR Soal Model Perumusan GBHN
REPUBLIKA.CO.ID, MANADO -- Saat ini MPR sedang melakukan kajian bersama lembaga perguruan tinggi mengambil tema tentang kewenangan MPR dan reformulasi perencanaan pembangunan nasional model GBHN. Hasil dari kajian perguruan tinggi ini menjadi bahan masukkan dalam perumusan GBHN.
"Sampai hari ini sudah 22 perguruan tinggi bersama MPR menyelenggarakan kegiatan ini. MPR bersama 52 perguruan tinggi akan menyelenggarakan kegiatan serupa," kata Wakil Ketua MPR E.E. Mangindaan ketika membuka workshop dengan tema 'Penataan Kewenangan MPR dan Reformulasi Perencanaan Pembangunan Nasional Model GBHN, Kamis (9/6).
Workshop ini merupakan kerjasama Pusat Pengkajian MPR RI dengan Universitas Negeri Manado (Unima). Workshop dihadiri Martin Hutabarat (Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR) dan Zacky Siradj (anggota Badan Pengkajian). Workshop diikuti civitas akademika Unima dari berbagai disiplin di antaranya sosiolog, pakar manajemen perencanaan, ahli sejarah, ahli pendidikan, ahli hukum.
Meski masih 22 perguruan tinggi, Mangindaan memperkirakan sebagian perguruan tinggi setuju dengan menghidupkan kembali GBHN dengan catatan-catatan dan sebagian lagi perguruan tinggi tidak setuju dengan wacana menghidupkan kembali GBHN juga dengan menyertakan catatan-catatannya.
"Bila setuju, lalu apakah sampai dengan mengubah UUD atau cukup dengan UU. Semua ada konsekuensinya. Kalau tidak setuju, apakah perencanaan pembangunan cukup hanya dengan visi misi presiden dan wakil presiden, dan bagaimana menyinkronkan pembangunan di pusat dan daerah," kata Mangindaan.
Dalam workshop atau focus group discussion banyak pertanyaan yang perlu dikaji. Mangindaan mencontohkan apakah MPR perlu mengeluarkan Ketetapan MPR yang sifatnya mengatur, bagaimana kaitan GBHN dengan pemilihan presiden secara langsung dan sistem presidensial. Lalu bagaimana GBHN perlu diatur sehingga menjadi komitmen bagi presiden untuk menjalankannya, bagaimana rumusan BHN itu sendiri.
Worskshop juga membahas persoalan ketatanegaraan yang perlu dikaji seperti bagaimana bila ada peraturan yang bertentangan dengan Tap MPR, apakah MPR bisa menjadi penafsir tunggal terhadap UUD NRI Tahun 1945, serta bagaimana pelaksanaan sidang tahunan MPR.
"Kini juga ada kesadaran kolektif berkaitan dengan perlunya perencanaan pembangunan model GBHN. Saatnya bagi Indonesia untuk memikirkan wajah Indonesia dalam 5 tahun, 25 tahun, 50 tahun bahkan 100 tahun ke depan," kata Mangindaan.