Wakil Ketua MPR: Jurang Kesetaraan Gender Masih Lebar
Kampanye kesetaraan gender masih jauh dari selesai.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia masih harus bekerja keras untuk dapat mencapai kesetaraan gender dalam segala bidang. Kampanye kesetaraan gender masih jauh dari selesai.
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengungkapkan itu dalam rangka Hari Perempuan Internasional, Ahad (8/3). Hari Perempuan Internasional tahun ini mengambil tema EachForEqual.
“Butuh kerja sama dan kontribusi dari semua pihak untuk mencapai ekualitas. Gap atau jurang kesetaraan gender masih lebar. Kampanye kesetaraan gender masih jauh dari selesai,” ujarnya.
Rerie lalu merujuk data Pemilu 2019. Pemilu 2019 menghasilkan keterwakilan perempuan tertinggi di DPR-RI sepanjang Pemilu pascareformasi berkisar di angka 21 persen dari total kursi 575.
“Banyak faktor yang menyebabkan pencapaiannya belum sampai 30 persen. Pertama, kendala mengajak perempuan menjadi pemimpin yang masih besar. Masih kuat cara pandang bias gender bahwa perempuan tidak layak memiliki peran di area publik, sehingga kita belum dapat bicara dengan solid mengenai perspektif perempuan ataupun pengarusutamaan gender di berbagai tingkatan,” ungkap Legislator Partai NasDem itu.
Kuota 30 persen bagi perempuan menduduki kursi di parlemen yang masih sebatas retorika. Perludem memperlihatkan bahwa dalam Pemilu Legislatif lalu ada 80 Dapil dan 16 Partai Politik peserta Pemilu. Dari 1.280 calon legislatif dan 80 daerah pemilihan, caleg perempuan yang ditempatkan dalam nomor urut satu (1) ada 235 orang (18,36 persen).
“Jadi niat baik (good will) untuk mematuhi kuota 30 persen bagi perempuan menduduki kursi di parlemen, masih sebatas retorika,” tukas Rerie. Partai NasDem tercatat sebagai partai politik yang memenuhi kuota 30 persen perempuan dengan 20 perempuan duduk sebagai anggota DPR dari total 59 anggota (33,8 persen).
Pada sisi lain, persaudarian atau sisterhood, perempuan pilih perempuan dalam pengalaman Rerie tidak terjadi. “Walaupun mereka hadir dalam acara kampanye dan merasakan manfaat atas aktivitas yang dilakukan, belum tentu mereka memilih. Keputusan perempuan untuk memilih sangat tergantung akan patron-nya,” ujar Rerie.
Fakta itu juga pernah diungkap data Surnas LSI – IFES Juni 2014 yang menunjukkan hanya 15,7 persen pemilih perempuan yang akan memilih kandidat perempuan, meskipun jika kualitasnya sama dengan kandidat laki-laki. Mayoritas (46,8 persen) tetap akan memilih kandidat laki-laki.
Rerie menambahkan, fakta-fakta tersebut masih diperburuk adanya pandangan yang memarginalkan dan mendiskriminasi perempuan yang masih kuat di masyarakat. “Serangan yang digaungkan oleh para pemimpin informal agar saya tidak terpilih bukan soal kapasitas saya, tapi karena saya perempuan. Kampanye perempuan itu, tempatnya di belakang, cukup manjur,” tutur Rerie yang maju dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah 2 meliputi Kudus, Demak dan Jepara.
Padahal di daerah tersebut dikenal ada Ratu Kalinyamat (1579) sang penggagas Poros Maritim dan Pakta Portugis. Juga tempat kelahiran RA Kartini (1879–1904), sang pemikir besar untuk isu kemanusiaan dan kesetaraan gender.
“Jadi perjuangan yang tidak main-main sehingga berhasil lolos menjadi perempuan pertama pascareformasi yang terpilih sebagai anggota DPR dari Dapil ini dengan suara terbanyak. Butuh perjuangan ekstra keras dan tidak basa-basi,” tukasnya.
Karena itu, Rerie sekali lagi mengajak semua pihak untuk ikut berperan untuk mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia.
Rerie juga membandingkan kesetaraan gender dalam konteks global. Menurut Global Gender Gap Report 2020 yang dikeluarkan oleh World Economic Forum, Indonesia berada pada peringkat 85 dari 153 negara. Peringkat Indonesia itu lebih baik daripada Vietnam (87), Malaysia (104), Tiongkok (106), India (112), namun masih jauh di bawah Filipina (16), Singapura (54), dan Thailand (75).
Adapun peringkat teratas Islandia (1), disusul dominasi tiga negara Skandinavia, yaitu Norwegia (2), Finlandia (3), dan Swedia (4).
Gender Gap Performance merupakan sintesa dari partisipasi ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan keterlibatan politik. Secara keseluruhan, keterlibatan perempuan dalam politik paling tidak terwakili atau hanya terpenuhi 25%. Belum ada satu pun negara yang sudah menutup gap tersebut.
Islandia yang menduduki posisi pertama baru menutup gap keterlibatan politik sebanyak 70% yang dilihat dari kehadiran perempuan di parlemen, kementerian, dan kepala negara.
Indonesia mendapat skor 0,7 dari skor 0-1. Namun, pada keterlibatan politik, Indonesia hanya mendapat skor 0,172. Keterwakilan perempuan di parlemen berada pada ranking 105 (skor 0,211), dan di kementerian pada peringkat 67 (skor 0,307).