Hari Santri, Ahmad Basarah: Jihad Bela Tanah Air

Bela negara adalah bagian dari menjalankan syariat agama

MPR
Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Basarah mengajak semua pihak untuk memperingati Hari Santri 22 Oktober dalam semangat bela negara dan cinta Tanah Air.
Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengajak semua pihak untuk memperingati Hari Santri 22 Oktober dalam semangat bela negara dan cinta Tanah Air. Hari Santri diperingati untuk mengenang Fatwa Resolusi Jihad Fii Sabilillah oleh KH Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945, yang saat itu mewajibkan setiap Muslim dan Muslimat mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari gempuran tentara sekutu atas dasar keimanan pada Allah dan cinta Tanah Air.

‘’Dalam fatwa itu, KH Hasyim Asy’ari mengungkapkan ‘hubbul wathan minal iman’, artinya cinta Tanah Air adalah bagian dari iman, bela negara adalah bagian dari menjalankan syariat agama. Karena itu, kata ‘jihad’ yang artinya bersungguh-sungguh seharusnya selalu dimaknai positif bersungguh-sungguh melakukan kebaikan di jalan Allah, termasuk mencintai tanah air demi kebaikan bangsa,’’ jelas Ahmad Basarah, di tengah masa reses yang dijalaninya di Malang, Jawa Timur, Rabu (21/10), dalam siaran persnya.



Anggota dewan dari daerah pemilihan Malang Raya ini menjelaskan, lahirnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri bukan hanya bagian dari upaya Ir Joko Widodo memenuhi janji-janjinya dalam kampenye di Pemulu 2014, tapi lebih dari itu, Keppres Hari Santri merupakan pengakuan negara terhadap peran, jasa, dan kontribusi seluruh ulama Tanah Air dalam berjihad merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

"Pertempuran Surabaya 10 November 1945 yang heroik tidak akan pernah terjadi tanpa fatwa perang sabil yang diserukan KH Hasyim Asy'ari dan alim ulama di Jawa-Madura. Fatwa itu menjadi landasan moril sekaligus spirituil untuk menggelorakan api perjuangan rakyat Indonesia. Inilah hasil ijtihad alim ulama yang menempatkan ajaran agama dan semangat kebangsaan dalam satu tarikan nafas. Jihad harus dimaknai sebagai bela tanah air," kata Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Islam Malang (Unisma) itu.

Menurut Ahmad Basarah, latar belakang ditetapkannya keputusan politik ketatanegaraan Hari Santri bermula ketika dirinya mendampingi Ir Joko Widodo untuk memperingati haul pendiri NU dan Bung Karno di Jawa Timur pada 27 Juni 2014. Saat itu Ir. Joko Widodo, dalam kapasitasnya sebagai calon presiden, berkunjung ke Pesantren Babussalam di Jalan Hasyim Asy'ari, Banjarejo, Malang, Jawa Timur. Di sanalah Ir. Joko Widodo, di hadapan pengasuh Pondok Pesantren Babussalam KH. Thoriq Bin Ziad, juga alim ulama dan ribuan pendukungnya, menandatangani kontrak politik bahwa ia sanggup menetapkan 1 Muharram sebagai Hari Santri jika kelak memenangkan Pemilu 2014.

"Ide awalnya memang hari santri direncanakan diperingati setiap 1 Muharram seperti yang tertera dalam kontrak politik itu. Namun, dalam perjalanannya, Presiden Joko Widodo menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai hari santri yang tentu saja dengan pertimbangan matang," jelas Ketua DPP PDI Perjuangan ini.

Kini, setelah kontrak politik itu direalisasikan oleh Presiden Jokowi, Ahmad Basarah mengajak semua pihak untuk mengenang peran alim-ulama dan tokoh-tokoh bangsa lainnya dalam proses merumuskan Pancasila sebagai dasar negara. Pengurus Lazis NU ini menegaskan, diterimanya Pancasila sebagai dasar negara dengan menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa di sila pertama sebagai dasar dan ideologi negara adalah hasil ijtihad para alim ulama.

‘’Ada peran KH Wahid Hasyim di situ, juga ada kontribusi Ki Bagus Hadikusumo dan jasa Kasman Singodimedjo serta tokoh-tokoh bangsa lainnya. Bahkan negara telah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Kasman Singodimedjo melalui Keppres Nomor 123/TK/Tahun 2018 atas jasanya menjadi jembatan pemersatu antara Golongan Islam dan Golongan Kebangsaan dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945,’’ jelas Ahmad Basarah.

Dalam peringatan Hari Santri ini, Ketua Fraksi PDI Perjuangan ini juga menyampaikan apresiasinya tinggi kepada dua organisasi besar nasional, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. NU telah meneguhkan kembali komitmennya menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dalam Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984, sementara Muhammadiyah pada Muktamar ke-47 di Makassar, Sulawesi Selatan, menegaskan bahwa Negara Pancasila merupakan Darul Ahdi (negara kesepakatan) Wa Syahadah (dan tempat kesaksian).

‘’Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia adalah ideologi negara yang mengikat seluruh rakyat dan komponen bangsa. Pancasila adalah kalimatun sawa, titik temu di antara perbedaan yang ada. Inilah khittah bangsa Indonesia, negara nasional-religius. Marilah kita warisi api perjuangan para pendiri bangsa, jangan ambil abunya," tandas Ahmad Basarah.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler