Konsistensi MK dalam Putusan Sengketa Pilkada Dikritik 

Selama MK berkutat pada aspek signifikansi, pemulihan hak pilih tidak akan tercapai.

Akbar Nugroho Gumay/ANTARA
[Ilustrasi} Deretan bangku kosong terlihat saat sidang sengketa hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi.
Rep: Mimi Kartika  Red: Ratna Puspita

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Khairul Fahmi, mempertanyakan batasan-batasan Mahkamah Konstitusi (MK) menimbang signifikansi pemungutan suara ulang (PSU) terhadap hasil perolehan suara pasangan calon (paslon). Hal ini berkaitan dengan pertimbangan signifikansi MK pada permohonan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) yang diputus dengan perintah PSU dan ditolak. 

Baca Juga


"Ini ada juga yang agak unik, ya, kasus PSU, ada perintah PSU di satu TPS saja, ini kaitan dengan signifikansi tadi," ujar Fahmi dalam diskusi daring, Selasa (23/2). 

Ia mengatakan, putusan MK yang memerintahkan PSU pada satu TPS itu terjadi dalam perkara nomor 93/PHP.BUP-XIX/2021 terkait perselisihan hasil pemilihan bupati (pilbup) Indragiri Hulu. MK memerintahkan KPU Kabupaten Indragiri Hulu melakukan PSU hanya di TPS 03 Desa Ringin Kecamatan Batang Gangsal dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak putusan dibacakan. 

Sementara, jumlah daftar pemilih tetap (DPT) dalam TPS 03 Desa Ringin terdapat 307 orang. Sedangkan, selisih perolehan suara antara pemohon (50.048 suara) dan paslon peraih suara terbanyak pilbup Indragiri Hulu (50.356 suara) adalah 308 suara. 

Pada saat pencoblosan pada 9 Desember 2020 lalu, surat suara sah di TPS 03 Desa Ringin sebanyak 233 lembar yang suaranya terdistribusi ke lima paslon. Karena itu, menurut Khairul, pemohon perlu memperoleh suara 100 persen di TPS 03 Desa Ringin agar dapat memenangkan pilkada. 

"Jadi di sini MK tetap melihat ada signifikansi di situ. Nah mungkin batas-batas signifikansi bisa kita lihat nanti di perintah-perintah PSU, termasuk perintah PSU yang hanya satu (TPS) ini," kata Khairul. 

Ia menjelaskan, pada beberapa pertimbangan MK dalam penyelesaian sengketa hasil pilkada, signifikansi dikaitkan dengan terbukti atau tidaknya dalil permohonan. Jika terbukti, dalil permohonan tersebut dinilai apakah signifikan atau tidak memengaruhi hasil perolehan suara masing-masing paslon. 

Khairul mencontohkan, ada beberapa kasus, MK menyatakan pelanggaran di sejumlah TPS memang terbukti. Namun, MK mempertimbangkan signifikansi PSU terhadap perolehan hasil akhir pilkada. 

Jika pun MK memerintahkan PSU di TPS-TPS tersebut dan seluruh suaranya dimenangkan pemohon, MK menilai hasil PSU tetap tidak akan mengubah hasil akhir pilkada. Akhirnya, menurut Khairul, pelanggaran-pelanggaran tertentu yang terjadi dalam pemilihan bisa ditoleransi sepanjang tidak memengaruhi secara signifikan terhadap hasil pilkada. 

Sejalan dengan pendirian MK yang memposisikan signifikansi dengan makna pelanggaran itu tidak akan diputus dengan perintah PSU apabila tidak secara signifikan memengaruhi hasil pilkada. "Di satu sisi sekali lagi ini bisa diterima, namun di sisi lain ini memang perlu ada ke kriteria-kriteria lebih jauh lagi untuk menentukan, mendefinisikan signifikansi ini di batas mana yang bisa ditoleransi," kata Khairul. 

Sementara itu, peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Violla Reininda menilai, MK menunjukkan ketidaktegasan dan inkonsistensi sikap dan prioritas dalam putusannya. Menurut dia, selama MK berkutat pada aspek signifikansi perolehan suara yang dapat mengubah status kemenangan pasangan calon tertentu, pemulihan terhadap hak pilih dan pemurnian hasil pemilu tidak akan tercapai. 

"Bahkan Mahkamah pun di putusan Tojo Una-Una misalnya, mengeluarkan penghitungan sendiri terkait dengan signifikansi suara yang menurut kami tidak etis dan seolah-olah bisa meramalkan perolehan suara yang dapat dihasilkan oleh tiap-tiap kandidat," kata Violla. 

Ia melanjutkan, pertimbangan seperti itu dapat membuka ruang pelanggaran-pelanggaran baru di masa depan. Beberapa pihak dikhawatirkan mengupayakan kecurangan secara parsial terhadap daerah-daerah yang tidak signifikan untuk mendongkrak suara paslon tertentu. 

Ia mendorong MK memberikan ketegasan jika terbukti adanya pelanggaran dengan membuka kemungkinan PSU. Ia mengatakan, MK tidak perlu mempertimbangkan perubahan atau signifikansi PSU terhadap hasil pilkada. 

"Ini membuka kesempatan bagi para pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan kecurangan secara masif," tutur Violla. 

Di sisi lain, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti meminta penyelenggara memastikan pengawasan pelaksanaan PSU. Selain KPU dan Bawaslu, masyarakat umum juga perlu ikut mengawasi PSU di sejumlah daerah. 

"Supaya jangan sampai upaya MK untuk memberikan electoral justice ini dengan cara memberikan PSU dampaknya tetap bisa positif untuk pemilih. Bukan untuk orang-orang yang berkompetisi," kata Bivitri. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler