Parpol Bertanggung Jawab atas Konflik Pilkada Yalimo

Parpol seharusnya selektif dalam mengusung pasangan calon dalam kontestasi Pilkada.

Republika/Putra M. Akbar
Peneliti Kode Inisiatif - Ihsan Maulana
Rep: Mimi Kartika Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai politik (parpol) menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas konflik di Yalimo, Papua, pascaimbas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai perselisihan hasil pemungutan suara ulang (PSU) Pemilihan Bupati (Pilbup) Yalimo. Sejak awal, parpol seharusnya selektif dalam mengusung pasangan calon (paslon) dalam kontestasi Pilkada.


"Karena tiket pencalonan ada di mereka, lain hal oleh paslon independen yang bertumpu pada penyelenggara sepenuhnya," ujar peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana, kepada Republika, Rabu (7/7).

Menurut Ihsan, parpol harus memahami setiap ketentuan yang diatur Undang-Undang (UU) tentang Pilkada, terutama syarat calon kepala daerah. Sebab, masyarakat sebagai pemilih hanya dapat memilih calon kepala daerah yang diajukan parpol dan paslon independen melalui proses verifikasi di KPU.

Dalam kaitannya dengan konflik Pilbup Yalimo, parpol seharusnya memahami ketentuan Pasal 7 ayat 2 huruf g UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Calon kepala daerah tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

Sementara, Pengadilan Negeri (PN) Jayapura mendakwa calon bupati Erdi Dabi melanggar ketentuan Pasal 311 ayat 1, ayat 2, dan ayat 5 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (LLAJ) dengan ancaman pidana penjara paling lama 12 tahun. Pada 17 September 2020, Erdi Dabi berkendara dalam keadaan mabuk alkohol dan menewaskan seorang polwan dari anggota Propam Polda Papua.

Meskipun pada akhirnya, Erdi Dabi dialihkan menjadi tahanan kota sebagaimana putusan inkrah dari PN Jayapura Nomor 500/Pid.Sus/2020/PN.Jap bertanggal 18 Februari 2021. Namun, MK menilai, hal tersebut tidak menghilangkan fakta hukum bahwa Erdi Darbi telah terbukti melanggar ketentuan UU LLAJ dengan ancaman pidana penjara di atas lima tahun.

Sehingga, MK menganggap Erdi Darbi sebagai mantan terpidana yang tidak lagi memenuhi syarat menjadi calon kepala daerah. Erdi Darbi juga harus memenuhi ketentuan masa tunggu lima tahun untuk dapat kembali dipilih dalam pemilihan.

Ihsan mengatakan, parpol seharusnya sudah memahami ketentuan tersebut dan ikut mengedukasi para pendukungnya. Dengan demikian, apabila ada putusan diskualifikasi terhadap calonnya, baik dari MK maupun KPU karena ketentuan itu, masyarakat dapat memahaminya dan menghindari konflik.

Ihsan memang tidak menampik putusan MK dapat berdampak pada sisi sosial dan keamanan, meskipun secara hukum tepat. Apalagi, paslon yang didiskualifikasi adalah pemenang Pilkada berdasarkan pemungutan suara pada 9 Desember 2020 maupun PSU pada 5 Mei 2021.

Parpol pun tidak bisa mengganti calonnya yang diputuskan tidak lagi memenuhi syarat, karena sudah melewati tahapan penetapan paslon, kecuali meninggal dunia dengan ketentuan batasan waktu. Ihsan mengatakan, saat ini perlu peran parpol dan paslon untuk meminta pendukungnya menghormati putusan MK yang final dan mengikat serta menahan diri dengan tidak menimbulkan kerusuhan.

"Hal ini justru memperpanjang waktu proses pergantian kepala daerah di Yalimo. Apalagi kepala daerah yang ada saat ini hanya akan menjabat sampai 2024 atau empat tahun kurang," kata Ihsan.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler