REPUBLIKA.CO.ID, oleh Indira Rezkisari*
Pedih. Perasaan itu yang pertama kali terasa ketika mendengar berita tentang seorang siswi SMP yang bunuh diri. Ia konon melompat dari gedung sekolahnya. Nyawanya sempat tertolong sampai akhirnya ia mengembuskan napas terakhirnya beberapa hari setelahnya.
Ada satu hal lagi yang saya pikirkan setelah kabar siswi bunuh diri itu muncul. Apa yang dipikirkan orang tuanya. Mungkin mereka sedang menyesali dan berharap Tuhan bisa memutar waktu untuk kembali bersama sang anak.
Problematika di sekolah Indonesia memang banyak. Tak mungkin saya tulis semua di sini. Mulai dari metode belajar yang katanya sekadar mengedepankan output bukan menghargai proses. Atau fakta bahwa sekolah di Indonesia tidak semua merata kualitasnya.
Lalu, muncul di pemberitaan soal sekolah ramah anak. Sekolah Ramah Anak (SRA) adalah satuan pendidikan formal, non-formal dan informal yang aman, bersih dan sehat, peduli dan berbudaya lingkungan hidup, mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak hak anak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi dan perlakuan salah lainya serta mendukung partisipasi anak terutama dalam perencanaan, kebijakan, pembelajaran, pengawaasan dan mekanisme pengaduan terkait pemenuhan hak dan perlindungan anak di pendidikan.
Sungguh pengertian yang sangat panjang, ya, dari sekolah ramah anak. Implementasinya, seperti apa saya masih belum paham. Sekolah mana saja yang masuk kategori ramah anak, bahkan saya tidak tahu. Yang jelas semua sekolah pasti akan mengatakan tempatnya ramah anak.
Konon, berdasarkan hasil pemeriksaan ke keluarga siswi SMP yang bunuh diri, korban pernah mengalami perundungan atau bullying. Perundungannya memang tidak secara fisik, tapi justru verbal yang menurut saya lebih menyakitkan hati.
Apalagi anak SMP ya, pembahasan yang bagi dewasa kecil saja akan terasa berlebihan bila dibahas oleh remaja, Apalagi usia belasan tahun masih merupakan masa pencarian jati diri. Kesendirian karena dirundung teman sebaya mungkin memicu depresi hingga akhirnya merasa hidupnya tidak penting lagi.
Satu lagi, sang siswi SMP ini hanya tinggal dengan kakak dan ayahnya. Ibunya telah meninggal karena sakit. Saya berasumsi lagi nih, sang ayah mungkin tidak paham bagaimana caranya menggantikan posisi ibu ke anak perempuannya.
Ibarat matematika, rumus untuk membahagiakan diri, membesarkan anak memang sungguh rumit. Tidak cukup satu tambah satu sama dengan dua. Mungkin harus ditambahkan teori pitagoras dan perkalian serta pembagian supaya anak tumbuh dan berkembang baik serta bahagia.
Saya ingat pesan seorang anggota KPAI saat ada kasus anak yang dilecehkan secara seksual. Katanya jadilah orang tua yang ada. Jangan cuma bertanya, kamu bagaimana di sekolah, kamu sudah makan atau belum. Tapi jadilah orang tua yang sungguh-sungguh mendengarkan cerita anak.
"Kadang-kadang komunikasi itu anak kan sering sekali orang tua hanya ingin memastikan soal nilai, makan apa belum, tapi bagian bagian yang di luar akademis dan kehidupan sosial anak itu tidak menjadi konsern orang tua. Kadang yang penting nilainya bagus itu selesai," ujar Rita saat dihubungi wartawan, Jumat (10/1).
Saya langsung berpikir, waduh ternyata orang tua juga kadang bersikap seperti politikus. Hanya perduli pada apa yang ada di luar, namun tidak pernah mau meluangkan waktu cukup untuk membenahi apa yang ada di dalam.
Membesarkan anak memang tidak pernah mudah, ya. Buku parenting memang seabrek. Siapa pun bisa membacanya. Siapa pun bisa mempraktikannya. Tapi praktik dengan hati saya rasa paling penting. Karena kalau kita punya hati, kita akan bisa berempati. Tidak hanya ke anak sendiri, tapi juga ke anak lain.
Anda tidak mau kan menjadi golong warganet yang sanggup berkata-kata sangat keji di dunia maya. Seperti menimpa selebgram Tasya Farasya misalnya saat dia membuat konten di media sosialnya tentang perawatan kulit palsu yang berpotensi membahayakan kesehatan.
Saya sungguh takjub melihat cercaan warganet kepadanya. Tasya sampai disumpahi mandul, bahkan dikatakan alasannya mengungkap kebenaran justru memblokir rezeki orang lain. Tasya, yang belum memiliki anak, juga disebut pantas tidak punya anak. Sementara Tasya cuma mengatakan yang sejujurnya.
Saya tidak habis pikir lagi, kenapa orang bisa dengan mudahnya mencela orang lain. Mungkin memang dunia ini sudah begitu keji.
Tapi saya yakin kita bisa jadi orang tua yang lebih baik, jadi teman yang lebih berempati, menjadi warga masyarakat yang punya hati.
Yuk, rangkul anak-anak kita. Ajak mereka mengenal perbedaan. Ajak mereka bersifat welas asih ke orang lain. Jangan jadikan diri kita sosok yang bisa mentolerir perundungan. Agar kita tidak mudah mencibir, tidak mudah mencaci. Biarkan pikiran positif mendominasi diri.
Semoga, tidak lagi ada siswi SMP yang memutuskan mengakhiri nyawanya karena merasa tidak dipahami orang lain.
*Penulis adalah jurnalis Republika.co.id.