REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ikhwanul Kiram
Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu jengkel betul dengan aliansi politik partai-partai Arab-Palestina di Israel. Gara-gara aliansi—lebih dikenal dengan sebutan Joint List Arab (al-Qoimah al-‘Arabiyah al-Musytarakah)—itu, ia bisa gagal untuk kembali menjadi PM.
Pada pemilu 2 Maret lalu, Joint List memperoleh 15 kursi Knesset (Parlemen Israel). Mereka lalu memilih berkoalisi dengan sayap kiri-tengah pesaing Netanyahu, pimpinan politikus Partai Blue-White, Benny Gantz. Dengan bergabungnya Joint List, koalisi ini memperoleh 62 kursi dari total 120 kursi Knesset. Atas dasar ini, Presiden Israel Reuven Rivlin pada Senin lalu menunjuk Gantz untuk membentuk pemerintahan. Ia mempunyai waktu 28 hari—dan bisa diperpanjang hingga 21 hari lagi—untuk menyusun kabinetnya.
Menurut Ayman Awdeh, pemimpin Joint List, karier politik politisi 70 tahun itu harus dihentikan. Ia menilai Netanyahu selama 10 tahun memerintah telah membawa Israel menjadi negara rasis, negara apartheid. Bahkan, dia melanjutkan, Netanyahu telah berkonspirasi dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump (the Big Deal of Century) untuk menghapus Negara Palestina dari peta Timur Tengah. "Netanyahu telah merusak demokrasi Israel," ujar Awdeh.
Lalu, siapakah orang-orang Arab-Palestina yang berhasil menjegal karier politik Netanyahu itu?
Mereka adalah penduduk asli ketika Negara Israel diproklamasikan di tanah air Palestina pada 14 Mei 1948. Sebelum itu, jumlah mereka sekitar 900 ribu jiwa. Namun, setelah kemerdekaan Israel, dilanjutkan perang dan pembagian wilayah oleh penjajah Inggris setahun sebelumnya, yang tersisa hanya 160 ribu jiwa. Sebagian besar mereka berimigrasi keluar dari Israel—dahulu Palestina. Sementara itu, yang tersisa, mereka kekeh bertahan kendati harus menghadapi berbagai tekanan penguasa Israel.
Selama 18 tahun kehidupan sehari-hari mereka terus diawasi ketat oleh militer Israel. Mereka dilarang meninggalkan rumah begitu petang tiba. Mereka juga dibatasi dalam akses perekonomian, belajar, dan bekerja. Pemerintah Israel dengan sengaja pula mengisolasi dan mencerabut akar budaya Arab mereka dan membaurkannya dalam budaya masyarakat Yahudi.
Yang lebih menyedihkan adalah perlakuan dunia Arab sendiri. Mereka, dunia Arab, mengecap orang-orang Palestina yang menolak meninggalkan tanah air mereka sebagai pengkhianat karena menerima kewarganegaraan Israel. Sementara itu, orang-orang Palestina yang berhijrah dianggap pahlawan.
Akibatnya, mereka, "orang-orang Palestina di dalam" (al-Falestiniyun fi al-dakhil)—begitu mereka lebih senang disebut—, pun dicegah memasuki negara-negara Arab. Mereka tidak bisa sekolah atau kuliah di negara-negara Arab. Mereka juga tidak bisa mengakses dana-dana bantuan dari Arab. Karena itu, kalau mereka terkucil dari lingkungan masyarakat Arab, hal itu lebih karena sikap dunia Arab sendiri, selain perlakuan penguasa Israel.
Namun, orang-orang Palestina di Israel ini tetap bertahan. Mereka terus menjaga warisan budaya nenek moyang. Mereka tetap menanamkan kepada anak-anak mereka tentang kebanggaan sebagai Palestina. Mereka mengajarkan budaya dan lagu-lagu perjuangan Palestina.
Kini, setelah puluhan tahun hidup dalam tekanan, "orang-orang Palestina di dalam" itu pun bangkit. Bukan dengan perang bersenjata, melainkan berjuang melalui jalur politik, yang mereka anggap paling memungkinkan.
Ada empat arus utama yang menempuh jalur politik ini. Dua dari kelompok Islamis dan dua lainnya dari gerakan sipil. Kelompok Islamis ada dua. Satu yang menyerukan memboikot pemilihan Knesset karena menganggapnya sebagai pengakuan terhadap Negara Israel. Satu lainnya lebih moderat yang menyerukan perlunya berpartisipasi dalam pemilu Knesset. Mereka melihat hal ini sebagai satu-satunya cara untuk memengaruhi pengambilan keputusan di Israel.
Sementara itu, dari gerakan sipil juga ada dua arus utama. Pertama, mereka yang tidak mengakui Negara Israel. Kedua, mereka yang beranggapan tentang pentingnya berpartisipasi dalam pemilihan Israel. Kelompok ini pada perkembangannya ada yang bergabung dengan partai komunis, Partai Demokrat Arab, dan Gerakan Perubahan Arab.
Jumlah "orang-orang Palestina di dalam" ini pun meningkat tajam, dari 160 ribu orang pada 1948 menjadi sekitar 2 juta orang sekarang ini. Jumlah ini merupakan sekitar 21 persen dari penduduk Israel. Namun, karena sejumlah kekuatan politik Arab-Palestina ini tidak berpartisipasi dalam pemilu, pengaruh mereka terhadap kehidupan politik di Israel menjadi terbatas.
Sebagai misal, jumlah anggota parlemen Arab-Palestina di Knesset hanya delapan orang setelah perjanjian Palestina-Israel di Oslo pada 1993. Dua anggota di antaranya bergabung dengan partai-partai Yahudi. Bandingkan dengan 44 angota dari Partai Buruh dan 32 anggota dari Likud. Akibatnya, tidak ada partai Yahudi-Israel yang melirik anggota parlemen dari Arab-Palestina ini. Keberadaan mereka dianggap sepi.
Namun, kondisi itu sudah berubah. Dengan kekalahan Partai Buruh dan kemenangan Partai Likud maupun koalisinya, yang kemudian mengantarkan Netanyahu menjadi PM sejak 10 tahun lalu, "orang-orang Palestina di dalam" ini menjadi ngeh atau sadar, apalagi ketika Netanyahu menjadikan Israel sebagai negara apartheid, yang memosisikan orang Yahudi sebagai warga negara kelas utama. Knesset pun menyetujui untuk mengesahkannya menjadi undang-undang.
Mereka, "orang-orang Palestina di dalam" itu, sadar bahwa mereka tidak boleh tinggal diam. Sebagian besar kekuatan politik partai-partai Arab-Palestina lalu sepakat untuk meninggalkan segala perbedaan. Mereka pun memutuskan mengikuti pemilu Knesset pada 2 Maret lalu dengan satu bendera: Joint List Arab.
Hasilnya, jumlah peserta pemilu dari kalangan Arab-Palestina pun meningkat, dari kurang dari 50 pesen menjadi 65 persen, dengan memperoleh 15 kursi Knesset. Jumlah itu bukan hanya mengantarkan Joint List Arab menjadi kekuatan ketiga di Knesset, tetapi juga menjadikan kekuatan politik yang tidak bisa diabaikan oleh para politisi Israel.
Hal ini pulalah yang menjadi penyebab utama terpilihnya Gantz untuk membentuk pemerintahan menggantikan Netanyahu, ketika Joint List bergabung dengan koalisi kiri-tengah. Tentu setelah deal-deal politik disepakati kedua belah pihak, terutama yang menyangkut undang-undang apartheid dan the Deal of Century Presiden Donald Trump, yang banyak merugikan kepentingan bangsa Palestina.
"Orang-orang Arab-Palestina di dalam" itu kini sedang menunjukkan jati diri sebagai pembawa panji-panji identitas Palestina. Mereka berada di garis depan perjuangan: menentang politik rasial/apartheid Israel, melawan upaya Israel untuk menelan tanah air dan identitas Palestina, dengan menjalankan peran politik tingkat tinggi.
Namun, tentu saja perjuangan mereka masih panjang. Banyak hal yang bisa mengadang, terutama dari Netanyahu yang marah kepada Joint List Arab dan menyebut mereka sebagai teroris. Apalagi, Netanyahu kini terjerat dalam tiga tuduhan kriminal sekaligus: suap, penipuan, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Untuk menyelamatkan diri atau menunda dari jerat hukum, ia harus tetap berkuasa. Merebaknya virus corona di Israel rupanya ia manfaatkan betul untuk mengecoh lawan-lawan politiknya. Ia pun menawarkan kepada mereka untuk membentuk pemerintah darurat yang ia pimpin atau pemerintahan bersatu dan melupakan pertikaian politik. Kondisi darurat Covid-19 ini dikhawatirkan akan ia manfaatkan untuk manuver politik demi tetap berkuasa. Wallahualam.