REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Pengunjuk rasa turun ke jalan Tel Aviv untuk memprotes pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan menyerukan pembebasan ratusan sandera yang masih ditawan di Gaza. Dalam unjuk rasa Kamis (11/4/2024) malam para demonstran membawa foto para sandera serta papan protes dengan tulisan bahasa Inggris dan Ibrani.
Pada awal bulan ini puluhan ribu rakyat Palestina memadati Yerusalem dalam protes antipemerintah terbesar sejak Israel menyerang Gaza bulan Oktober lalu. Perang yang sudah berlangsung enam bulan memicu perpecahan atas kepemimpinan Netanyahu, meski sebagian besar warga Israel setuju dengan perang.
Netanyahu menolak menggelar pemilihan umum. Ia mengklaim pemilihan umum akan melumpuhkan Israel selama enam sampai delapan bulan dan menangguhkan perundingan pembebasan sandera.
Ia berjanji menumpas kekuatan militer Hamas dan membawa pulang semua sandera yang diculik dalam serangan mendadak 7 Oktober lalu. Namun belum ada tanda-tanda janji itu akan terpenuhi.
Di hari yang sama puluhan ribu pria ultra-Ortodoks Yahudi juga berunjuk rasa untuk memprotes keputusan pengadilan yang mencabut hak istimewa yang membebaskan mereka dari wajib militer.
Para pengunjuk rasa membawa papan protes yang bertuliskan "ke penjara, bukan tentara" saat mereka berdemonstrasi di depan kantor pendaftaran militer Israel. Terjadi aksi saling dorong antara polisi dan sejumlah pengunjuk rasa.
Bulan lalu Mahkamah Agung Israel memerintahkan diakhirinya subsidi pemerintah bagi banyak pria ultra-Ortodoks yang tidak ikut wajib militer. Keputusan itu berdampak besar pada pemerintah dan puluhan ribu penganut Yahudi taat yang menolak ikut wajib militer.
Sebagian besar pria Yahudi diwajibkan menjalani wajib militer selama hampir tiga tahun, diikuti dengan tugas tentara cadangan selama bertahun-tahun. Wanita Yahudi menjalani wajib militer selama dua tahun.
Pengecualian untuk ultra-Ortodoks ditambah tunjangan dari pemerintah yang diterima banyak siswa seminari hingga usia 26 tahun membuat marah sebagian besar masyarakat umum. Ketegangan yang sudah berlangsung lama ini semakin meningkat sejak perang Israel di Gaza.
Kaum ultra-Ortodoks mengatakan bergabung dengan militer akan mengancam cara hidup mereka yang telah berlangsung selama beberapa generasi. Tentara mengatakan mereka mengalami kekurangan tenaga kerja karena perang.