Selasa 14 Apr 2020 15:30 WIB

Model Kasus Indosurya akan Terus Terulang

Kasus Indosurya hanya fenomena gunung es karena banyaknya koperasi palsu.

Red: Joko Sadewo
Aktivis Koperasi, Suroto
Foto: istimewa/doc pribadi
Aktivis Koperasi, Suroto

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)

Koperasi Simpan Pinjam Indosurya Cipta ( ISP) yang mengalami gagal bayar kepada nasabahnya adalah sebuah fenomena gunung Es. Sebenarnya banyak koperasi yang ada di Indonesia berpotensi sama.

Masalahnya berangkat dari pengetahuan dan  kesadaran masyarakat kita yang lemah sebetulnya soal koperasi dan investasi.

Di Indonesia ini, koperasi palsu atau quasi jumlahnya sangat besar. Jumlah koperasi kita kurang lebih 152 ribu dan yang bergerak di sektor Simpan Pinjam atau keuangan kurang lebih 80 ribu.

Dari total yang beroperasi sekitar 80 an ribu itu, menurut hasil riset random kami, hanya kurang lebih 10 persen saja yang member-based atau sungguh sungguh berbasis anggota. Selebihnya adalah koperasi palsu.

Sebetulnya yang patut disalahkan adalah Pemerintah atau Kemenkop dan UKM yang dari dulu terus biarkan terus masalah ini terjadi. Mereka gagal menjaga kepentingan publik. Termasuk juga Otoritas Jasa Keuangan.

Walaupun Kemenkop dan UKM itu tidak memiliki otoritas  pengawasan aktif tapi sebetulnya secara preventif bisa melakukan. Seperti misalnya membubarkan Koperasi papan nama dan Koperasi abal-abal itu. Sudah diatur dalam UU, dan ada PP sampai dengan Permennya yang mengatur soal pembubaran koperasi ini.

Dalam UU No. 25 tahun 1992 disebutkan bahwa Pemerintah dapat membubarkan Koperasi dan kemudian dioperasionalkan dalam PP No. 17 Tahun 1994 tentang Pembubaran Koperasi dan sejumlah Permen.

Kenapa Kemenkop dan UKM tidak memiliki gigi untuk membubarkan koperasi palsu itu? sebabnya adalah karena saya melihat mereka takut kalau terbongkar kasus-kasus proyek program dan bantuan sebelumnya. Selain saya melihat ada indikasi koperasi-koperasi abal abal itu  yang sengaja mencari perlindungan ke Kemenkop dan UKM.

Dalam UU Lembaga Keuangan Mikro ( LKM) juga sebetulnya Otoritas Jasa Keuangan ( OJK) memiliki otoritas untuk masuk mengawasi. Tapi mereka itu selama ini hanya rajin lempar lemparan tanggungjawab karena menurut UU Perkoperasian untuk badan hukum koperasi itu pengawasanya ada di Kemenkop. Padahal otoritas kepengawasanya menurut UU Perkoperasian tidak diatur.

Selain itu, masyarakat kita itu pengetahuan dan kesadaran untuk membaca pola resiko investasinya juga masih sangat rendah. Masyarakat itu masih begitu mudah terkena iming iming.

Praktek koperasi abal abal itu sebetulnya polanya masih menggunakan model penipuan lama pola "ponzy" atau "money game". Orang ditawarkan dengan insentif investasi dengan  tingat bunga besar dan kemudian karena "iddle money"- nya terlalu besar karena "outstanding"- nya rendah maka koperasi mulai berspekulasi untuk investasi di sektor lain yang resikonya tidak terukur.

Sementara itu, pengetahuan masyarakat tentang apa itu koperasi yang benar juga tidak memadai. Koperasi yang berbasiskan anggota itu bagaimana juga masyarakat tidak tahu.

Padahal sebetulnya untuk melihatnya sangat sederhana dalam menbedakan antara koperasi abal abal atau genuine itu. Koperasi abal abal itu pasti tidak akan pernah membangun pengertian kalau nasabah itu juga pemilik koperasi. Mereka juga tidak mau secara terbuka kepada  kepada anggotanya untuk memeriksa isi manajemen koperasi sampai mendalam.

Pemerintah baik itu Kemenkop dan UKM serta OJK ini bisa dibilang telah melakukan pembiaran dan lalai menjaga kepentingan publik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement