REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Wilda Fizriyani, Jurnalis Republika berbasis di Malang
Permasalahan Alat Pelindung Diri (APD) tidak hanya dialami para tenaga kesehatan saat ini. Di masa lampau, dokter-dokter bumiputra juga merasakannya ketika berhadapan dengan wabah pes. Mereka tetap turun untuk menolong rakyat meski tanpa APD.
Laporan korban wabah pes di Kota Malang mulai terkuak di 1911. Berdasarkan laporan pemerintah kolonial Belanda, wabah telah memakan 2.000an korban di tahun tersebut. Kemudian terus bertambah hingga 15 ribu orang di 1914.
Sejarawan Syefri Lewis menilai, ketakutan dokter Eropa terhadap pes menyebabkan jumlah korban sangat banyak. Mereka takut karena teringat dengan peristiwa Black Death (wabah bubonik) di negara-negaranya. Wabah pes tersebut memang merenggut nyawa orang Eropa pada abad pertengahan.
"Sedangkan mengapa dokter bumiputra berani? Itu karena mereka enggak punya ingatan wabah pes di Hindia Belanda," kata Syefri di kegiatan diskusi dalam jaringan (daring). Kondisi yang memprihatinkan justru membuat dokter bumiputra seperti Tjipto Mangunkusumo turun langsung ke masyarakat. Tanpa takut, ia mencoba menolong rakyat meski tanpa APD. Masalah ketidaktersediaan APD memang sudah terjadi di masa tersebut.
"Untuk Dokter Tjipto, beliau memang enggak pakai apa-apa. Itu yang membuat dia legendaris. Turun langsung dengan risiko kematian sangat tinggi, sangat besar dan enggak bawa apa-apa," jelas lulusan Universitas Indonesia (UI).
Di catatan sejarah, para dokter memang telah diminta untuk melindungi diri sendiri sebaik mungkin dengan keterbatasan. Lalu apakah ada yang meninggal dari kelompok dokter bumiputra? Ada, tapi hanya beberapa dokter yang mengalaminya.
Hal yang lebih parah justru dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah sempat menolak tawaran bantuan APD dari negara lain seperti Prancis, Jerman dan sebagai. Sikap ini ditunjukkan karena pemerintah tidak mau malu dari ketidakmampuannya dalam mengatasi wabah pes.
Selain itu, pemerintah juga telah meminta para calon dokter di tingkat terakhir STOVIA untuk terjun ke masyarakat. "Bayangkan, masih mahasiwa diminta terjun langsung dengan imbalan kalau berani terjun, dianggap lulus tanpa perlu membuat tesis. Dengan risiko kematian," ucapnya.
Meski protes atas permintaan pemerintah, para calon dokter tetap turun ke masyarakat. Akibatnya, semakin banyak dokter yang menulis pikirannya di majalah, koran dan sebagainya. Para dokter semakin mengerti politik sehingga tanpa sadar membentuk jiwa Indonesia di masa tersebut.
Keterlibatan dokter di dunia politik tentu sangat menguntungkan di era pergerakan Indonesia. Pasalnya, dokter memiliki kemampuan bahasa yang baik sehingga dapat menuangkan pikirannya untuk khalayak. Hal ini terbukti dengan munculnya Dokter Tjipto Mangunkusumo sebagai tokoh pergerakan bangsa.
Tak hanya Tjipto, banyak calon dokter lain yang ikut berkecimpung di dunia pergerakan. Mereka ini yang bersentuhan langsung dengan rakyat yang terjangkit wabah pes. "Mereka melihat wabah yang menyebabkan banyak orang mati tapi pemerintah seperti lempar tanggung jawab," kata tim penulis buku Pandemi Influenza di Hindia Belanda 1918.
Memori terlupakan
Sejarawan FX Domini BB Hera mengungkapkan, fakta penting bahwa pemerintah seperti mencoba melupakan memori wabah pes. Seperti diketahui, Kota Malang berdiri pada April 1914. Kota Malang muncul ketika wabah pes menjangkiti warganya. "Dan di sini saya tertarik sekali untuk tahu bagaimana wabah pes di masa itu? Bagaimana wabah pes bisa dikendalikan?" kata pria yang biasa disapa Sisco ini.
Sisco telah mencoba membuka catatan sejarah Kota Malang saat kota itu berusia 40 tahun. Ia tak menemukan pembahasan wabah pes di pengantar awal sejarah Kota Malang. Kekosongan pembahasan wabah juga terjadi di catatan ulang tahun Kota Malang ke-20.
"Sumber sejarah resmi kota praja Malang, wabah pes entah mengapa tidak muncul. Dan setelah 106 tahun berdirinya Kota Malang, hari ini Kota Malang sebagian besar isolasi. Berada di rumah seperti nenek moyang mereka dulu alami secara tidak langsung. Secara gamblang, ini sejarah berulang," jelas pria lulusan Universitas Negeri Malang (UNM) tersebut.
Catatan sejarah terkait wabah sangat penting di era kini. Masyarakat dapat mengetahui cara menyelamatkan diri dari wabah berdasarkan pengalaman nenek moyangnya. Dalam hal ini tidak hanya perihal mitigasi bencana semisal gunung berapi, tsunami dan sebagainya yang telah diketahui khalayak.
Dari sini, Sisco melihat tidak ada upaya pemerintah untuk mengingat peristiwa wabah pes. Tak hanya catatan sejarah, memori berupa monumen publik juga tak tersedia. Sebagian besar monumen yang didirikan lebih terkait perang fisik.
Hal yang menganggetkan justru ketika Sisco berkunjung ke RSJ Lawang, Kabupaten Malang. Ia menemukan beberapa laporan kuartal dinas pemberantasan wabah pes yang sudah lusuh. Memang tidak lengkap tapi data yang tertulis cukup rinci. "Laporannya rinci sekali, walaupun kolonial menutup serapat mungkin aibnya yang inkompetensi. Laporannya cukup detail dari turun daerah ke mana, bahkan biaya bensin juga ada," terangnya.
Sisco mengakui sangat prihatin dengan keterbatasan sumber-sumber sejarah di Kota Malang. Bahkan, ia mendapatkan laporan bahwa arsip Kota Malang yang paling lama saat ini dari 1990-an. "Yang kolonial itu saya tanya ke petugas kalau yang lama ke mana. Saya coba tanya, mereka jawab ada di kolektor A, B, C dan sebagainya," ucap Sisco.
Menurut Sisco, monumen publik wabah pes lebih tepat ditunjukkan kepada tokoh Tjipto Mangunkusumo. Tokoh ini telah berkorban menyelematkan warga dari wabah meski tanpa APD. Bahkan, ia sempat mengangkat anak dari bayi perempuan yang ditinggalkan kedua orang tuanya. Kemudian bayi ini dinamakan Tjipto dengan sebutan Pesjati.
Berdasarkan catatan sejarah ini, Sisco menyimpulkan, infrastruktur memori dalam bentuk monumen perang melawan wabah memang belum tersedia. Tidak hanya pes, tapi juga wabah-wabah lainnya di Indonesia. "Saya rasa setelah Covid-19 hilang harus ada monumen nasional perang melawan Covid-19. Ini karena kita sudah kehilangan banyak tenaga medis sebagai pahlawan kita," kata Sisco. n