Kamis 14 May 2020 12:06 WIB

Keseimbangan Baru Ekonomi Pasca-Pandemi

Pandemi virus merontokkan perekonomian global dan menciptakan new normal.

Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping.
Foto: AP Photo/File
Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping.

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Agung P Vazza

 

Dunia masih sakit. Sampai beberapa bulan ke depan, banyak negara di dunia masih akan disibukkan dengan penanganan pandemi plus berupaya meminimalkan dampak sosial dan ekonominya.

Namun, dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat (AS) dan Cina justru membuka front baru duel pengaruh ekonomi ke berbagai kawasan dunia. Pandemi virus hampir pasti semakin meninggikan tensi rivalitas kedua raksasa ekonomi dunia itu.

Ketegangan rivalitas tersebut, bahkan sudah dimulai sejak beberapa tahun lalu, ketika Presiden AS Donald Trump menghembus slogan 'America First' yang berujung pada perang dagang dengan Cina. Saling serang tarif perdagangan pun terjadi.

Namun, mendekati akhir tahun lalu, sekitar Desember, kedua negara berhasil mencapai kesepakatan awal yang dikenal sebagai 'Fase Pertama'. Ketidakpastian perekonomian global pun sedikit mereda.

Ketika perekonomian mulai diprediksi pulih perlahan selama 2020, terjadi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), berawal di Wuhan, Cina. Virus dengan cepat menyebar secara global. Jaringan pasokan dan permintaan global mendadak anjlok secara bersamaan, mengakibatkan akitivitas ekspor impor pun menurun drastis. Pasar uang dan pasar modal di banyak negara rontok. Hampir semua kegiatan perekonomian terdisrupsi, bahkan terhenti sama sekali.

Perekonomian global, yang mulai pulih meski masih rapuh, kembali terjerembab dan lebih dalam dari sebelumnya. Bahkan ditengarai mencapai titik terendah sepanjang sejarah. Kondisi ini berlangsung sampai sekarang.

Semakin parah lantaran tak ada yang bisa memprediksi kapan pandemi benar-benar berakhir. Meski perekonomian Cina dikabarkan mulai pulih, namun banyak negara lain masih sibuk menghambat penyebaran virus sekaligus mengantisipasi dampaknya pada perekonomian masing-masing.

Dalam kondisi seperti itu, konflik dua raksasa ekonomi itu, kembali meruncing. Kedua negara kini bahkan saling tuding perkara asal mula pandemi. Kasus pertama pandemi yang memakan korban jiwa, dilansir /Channel News Asia/, memang terjadi di Cina, pada seorang pria berusia 50 yang berkunjung ke Wuhan, sekitar awal Januari lalu.

Terkait ini, Trump menuding Cina tidak transparan terkait kemunculan awal dan penanganan virus. Sebaliknya, Cina menuding militer AS yang membawa virus tersebut ke Cina. AS bahkan menghentikan bantuan ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lantaran dianggap lebih mementingkan Cina.

Situasinya menjadi semakin parah lantaran ketegangan tidak berhenti pada saling tuding atau perang kata-kata, melainkan mulai mengarah pada tindakan konkrit. Sekitar pertengahan April lalu, /Washington Post/ melansir pernyataan Trump yang berencana mengambil langkah 'menghukum' Cina dengan tidak membayar kewajiban utang AS pada Cina dalam bentuk obligasi senilai 1,1 triliun dolar AS. Langkah ini disebut sebagai kompensasi atas sikap Cina yang dianggap tidak transparan dalam tindakan awal menangani pandemi. 

Namun, pernyataan Trump dibantah penasehat ekonomi Gedung Putih, Larry Kudlow. "Kewajiban utang AS tidak bisa diganggu gugat, titik," begitu pernyataan Kudlow dilansir Reuters. Hanya saja, bantahan ini tidak menyurutkan Trump.

"Kita bisa melakukan cara lain. Kita bisa melakukan lewat tarif," tegas Trump, yang dilansir CNN, menjuluki diri sendiri sebagai 'Tariff Man'. Tarif yang dimaksud tentu saja tarif perdagangan. Sedangkan tarif terkait perang dagang saja belum benar-benar dihapus meski kesepakatan 'Fase Pertama' tercapai.

"Tindakan itu jelas tidak diperlukan," ungkap Kepala Ekonom RSM, Joe Brusuelas, dikutip CNN Business.

Jika tarif tersebut benar dilakukan diperkirakan menjadi bumerang bagi perekonomian AS sendiri, berpotensi mengubah resesi menjadi benar-benar depresi. Joe mengingatkan kembali masa-masa Great Depression 1930, yang diperparah dengan perang dagang global.

Saat itu, Kongres AS menyetujui Smoot-Hawley Act yang menjatuhkan tarif bagi barang masuk AS dari negara lain. Banyak negara pun membalas dengan menjatuhan tarif bagi produk AS. Kini, peristiwa tersebut mendekati terulang lantaran ancaman tarif Trump untuk produk Cina terkait pandemi.

Tarif tinggi, meski sekadar ancaman, hampir pasti menambah ketidakpastian global dan berdampak pada menguatnya tekanan terhadap kompleksitas jaringan pasokan global. Pandangan senada dilontarkan Deepak Puri, CIO Amerika di Deutsche Bank Wealth Management. "Perdebatan sekitar pengenaan tarif baru adalah kabar buruk, baik bagi pasar uang dan perekonomian secara keseluruhan," jelasnya.

Keseimbangan Baru

Ancaman baru tarif Trump terhadap produk-produk Cina boleh jadi mencemrinkan hubungan terburuk kedua negara sejak beberapa dekade lalu. Dan saat ini, hubungan kedua adidaya ekonomi dunia itu semakin buruk lantaran kedua saling tuding terkait keterbukaan penanganan pandemi. Ini jelas sebuah langkah buruk ketika seluruh dunia sibuk memerangi dan mengatasi pandemi.

"Saling tuding AS dan Cina pastinya berdampak pada semakin sulitnya upaya mencapai solusi internasional, baik di sisi kesehatan maupun dampaknya terhadap perekonomian. Semuanya bakal semakin sulit lantaran AS dan Cina tidak bisa bekerja sama," papar James Crabtree, ekonom di Lee Kuan Yew School of Public Policy, Singapura, dikutip CNBC.

Tak heran kalau saling tuding soal virus ini diprediksi menjadi titik kunci friksi kedua negara setidaknya dalam setahun ke depan.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement