Selasa 26 May 2020 11:41 WIB

Putik Safron di Sayap Izrail

Apakah engkau malaikat Izrail yang ditugaskan Allah untuk menjemputku?

Red: Karta Raharja Ucu
Putik Safron di Sayap Izrail
Foto:

Begitulah awalnya. Setiap hari Mang Embot minum segelas air safron. Setelah sebulan, dia rasakan kondisi tubuhnya membaik. Siksaan penyakit gula dan kanker ususnya jauh berkurang. Kini persediaan safronnya habis dan belum ada panggilan memijat lagi dari pedagang itu.

Baru dua bulan kemudian Haji Dulgani yang baru kembali dari Cina meminta Mang Embot untuk memijat lagi. Istri Haji Dulgani menyambutnya di depan pintu dengan cemas.

"Mang Embot, selesai pijat Abah tolong suruh dia ke dokter."

"Memang Ajengan sakit apa?" Mang Embot penasaran.

"Dia bilang kecapekan biasa," ujar perempuan itu. "Tolong ya Mang. Kalau saya yang bilang Abah nggak mau dengar."

Istri Haji Dulgani mengantarkan Mang Embot menuju kamar tidur utama yang membuat Mang Embot ragu. "Mengapa di sini? Biasanya di ruang keluarga yang ada TV karena Ajengan suka dipijat sambil nonton berita."

"Abah sendiri yang minta dipijat di kamar kali ini."

Dengan sungkan Mang Embot memasuki kamar itu. Haji Dulgani menyapanya sebentar, sebelum tertidur mendengkur begitu kelihaian tangan Mang Embot menyentuh tubuhnya. Biasanya dia tak pernah tertidur selama dipijat, selalu bercerita banyak hal yang dialaminya pada kota yang baru dikunjungi.

"Ajengan pasti sangat lelah," desis Mang Embot yang terkejut mengetahui suhu tubuh Haji Dulgani lebih tinggi dari biasanya. Hampir dua jam kemudian, Haji Dulgani terbangun dan bersin beberapa kali.

"Maafkan saya," katanya berdiri dan mengambil sesuatu dari dalam tas. Amplop tebal dan kumpulan benang safron dalam plastik tembus pandang. "Safron Mang Embot pasti sudah habis ya?"

"Betul, Ajengan," jawabnya lirih agar tidak terkesan sedang meminta.

"Alhamdulillah. Berarti cocok. Ini ambil lagi."

"Cocok, Ajengan. Terima kasih." Mang Embot teringat pesan istri Haji Dulgani. "Badan Ajengan agak panas. Apakah tidak sebaiknya ke dokter?"

"Ah, tidak perlu. Kalau sudah dipegang Mang Embot, sebentar lagi juga sembuh." Haji Dulgani mengibaskan tangannya. "Saya hanya perlu tidur sebentar lagi."

Safron pemberian Haji Dulgani diberikan Mang Embot kepada istrinya yang lalu membuatkan minuman. Hari itu Mang Embot merasakan tubuhnya segar kembali sehingga dia menghabiskan waktu dengan membersihkan sudut-sudut masjid tanpa merasa lelah. Para pengurus dan jamaah terkagum-kagum padanya.

Keesokan harinya Mang Embot kesulitan bangun pada jam tiga dini hari seperti biasa. Persendian tubuhnya ngilu, beberapa kali dia terbatuk. Istrinya menjerang air panas. Namun, setelah melihat Mang Embot masih terbaring lunglai, dia menyarankan agar sang suami shalat Subuh di rumah saja. Mang Embot bangkit dengan susah payah. "Aku belum pernah ketinggalan shalat Subuh selama 40 tahun menjadi marbot."

Selama Subuh berjamaah Mang Embot menahan bersin yang menderu-deru di rongga dada sehingga begitu mengucapkan salam dia menghambur ke kamar mandi, melampiaskan bersin berkali-kali. Ulu hatinya seperti teronggok bara api.

Biasanya sehabis Subuh Mang Embot tak pernah tidur sebelum membaca Alquran satu juz sampai tiba waktu syuruq. Kali ini badannya tak mau diperintah otaknya. Badannya membangkang ingin istirahat, membuatnya tertidur sampai Zhuhur. Saat terbangun alih-alih badan segar, justru tenggorokan kering dan demam samar. Istrinya melarang ke masjid. Nanti malah menulari jamaah. "Mau begitu? Zalim namanya," katanya kesal.

Yang tidak diketahui Mang Embot dan istri, pada saat yang sama Haji Dulgani dipaksa keluarganya ke rumah sakit di kota, langsung rawat inap. Bahkan, diisolasi terpisah karena pemeriksaan medis menunjukkan pedagang itu terjangkit infeksi dari luar negeri. Satu demi satu pasien lain juga berdatangan, menunjukkan gejala serupa dengan Haji Dulgani.

Keesokan harinya kesehatan Mang Embot kian anjlok. Sang istri meminta bantuan tetangga untuk membawanya ke puskesmas, yang merujuk marbot sepuh itu ke RS yang sama dengan Haji Dulgani.

Di perjalanan, Mang Embot merasakan paru-parunya sakit sekali. Napasnya semakin payah, tersendat-tercekat. Matanya yang mengabur melihat segelas air minum rendaman putik bunga safron disodorkan kepadanya, tapi bukan tangan istrinya. Tangan itu susah digambarkan karena belum pernah dia lihat seumur hidup. Terlihat juga kibasan sayap dari makhluk yang juga tak bisa dijelaskannya.

"Apakah engkau malaikat Izrail yang ditugaskan Allah untuk menjemputku?" Mang Embot berjuang keras melontarkan tanya. Makhluk itu mengangguk.

Pertanyaan Mang Embot tak terdengar oleh istrinya. Yang dilihat perempuan itu hanya senyum sang suami mengembang perlahan berbarengan ucapan lirih yang meluncur lancar, "Asyhadu an laa ilaaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah." Setelah itu mata Mang Embot menutup sempurna.

Istrinya kini paham apa yang terjadi. Ditahannya derai tangis yang siap memburai. Dari bibir tuanya yang kisut, perempuan salehah itu bergumam sedih, "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu."

-- Cibubur, 5 Ramadhan 1441 H

28 April 2020

[*]) Safron (Crocus sativus) memiliki kepala putik (stigma) seperti benang.Fungsinya selain sebagai pewarna alami makanan (warna kuning) juga berfungsi sebagai antioksidan dan antidepresi yang bermanfaat untuk menyembuhkan kanker, tumor, alzheimer, dan penyakit lain. Harga 500 gram safron bisa lebih Rp 30 juta.

*) Akmal Nasery Basral berdarah Minang lahir di Jakarta, 28 April. Menulis cerpen, novel, dan biografi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement