REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nora Azizah*
Arena balap Formula 1 (F1) tak kunjung dibuka akibat pandemik Covid-19. Namun, balapan belum juga digelar, McLaren ternyata sudah lebih dulu mengibarkan bendera putih karena tak sanggup bertahan di tengah bisnis supercar.
Di tengah pandemik industri otomotif memang terguncang. Tak sedikit produsen mobil yang memikirkan beragam cara untuk bertahan hidup, tak terkecuali McLaren. Supercar asal Inggris ini juga harus sakit-sakit mempertahankan labelnya agar bisa tetap eksis.
Saat pandemik menyerang dan seluruh Grand Prix dibatalkan, McLaren sudah mulai ambil ancang-ancang. McLaren mulai memangkas gaji para pembalapnya. Ini membuat McLaren menjadi tim F1 pertama yang potong gaji pembalap.
Alasan McLaren saat itu memotong gaji pembalapnya karena ingin menyelamatkan pegawainya. Pemotongan gaji diharapkan bisa menyelamatkan keuangan perusahaan dalam jangka pendek.
Langkah potong gaji McLaren disambut baik para pembalapnya, seperti Carlos Sainz dan Lando Norris. Namun sayang, upaya potong gaji ternyata tak mampu juga membuat McLaren bertahan hidup di industri otomotif.
Sebagai supercar, ajang balap menjadi sumber pemasukan utama bagi McLaren. Belum lagi, McLaren mengaku, hampir tak ada permintaan supercar untuk pabrikannya. Bahkan, tak sanggup pula memproduksi mobil baru bagi pembalapnya.
Beruntungnya, F1 meringankan beban itu. Pada ajang F1 tahun depan, balapan membolehkan para tim untuk menggunakan mobil yang disiapkan tahun ini. Hal ini cukup membuat McLaren lega.
Namun, jalan McLaren ternyata tak juga mulus bertahan di tengah pandemik. Meski sudah potong gaji dan tak produksi mobil balap baru, McLaren tetap tak bisa mempertahankan kondisi keuangan perusahaan.
Belum ada sepekan, McLaren mengumumkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 1.200 pegawainya. Ribuan karyawan yang diberhentikan mayoritas berada di Inggris.
Secara terus terang McLaren mengungkapkan bahwa pihaknya tak punya pilihan. Sejak menangguhkan produksi Maret lalu, kondisi perusahaan tak kunjung stabil.
Langkah memberhentikan ribuan karyawan seolah menjadi 'finish' bagi McLaren. Tindakan itu juga diambil untuk memastikan keselamatan tenaga kerja McLaren sesuai dengan saran pemerintah setempat dan agar perusahaan berada pada posisi yang tepat untuk melanjutkan operasi semulus mungkin di masa depan.
Tak cukup sampai di situ. Liku perjuangan McLaren belum juga berhenti menyambung ekonomi. Supercar yang memulai debutnya di GP Monaco pada 1966 ini bahkan sampai menggadaikan mobil bersejarahnya untuk berutang.
Salah satu tim yang berada di belakang Ferrari ini terpaksa melakukan pinjaman sekitar 300 juta poundsterling untuk ke luar dari krisis. Pihaknya mengaku akan membayar pinjaman setelah ajang balap normal dan penjualan mobil meningkat.
Sulitnya bertahan bagi para tim balap dunia memang tak hanya dirasakan McLaren. Sejumlah pemain lain, seperti Ferrari hingga Williams juga terseok-seok menyelamatkan perusahaan.
Meski nasib mereka tidak seperti McLaren, bukan berarti bisa selamat. Sebab, hingga saat ini, ajang balap yang sesungguhnya justru tengah berlangsung.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id