REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai, pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di masa pandemi Covid-19 terlalu dipaksakan. Karena hanya untuk mengikuti kalender pendidikan, tanpa mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi yang mendera masyarakat Indonesia, khususnya rakyat kecil.
"Untuk makan saja, mereka tak tercukupi, apalagi untuk bayar pendaftaran sekolah, uang gedung, dan juga kuota internet untuk mengawal proses PPDB. Ini sungguh kami menilai sebagai kebijakan yang tidak manusiawi," keluh Ubaid Matraji saat dikonformasi Republika.co.id, Senin (8/6).
Setidaknya ada beberapa alasan kenapa masyarakat tidak setuju dengan PPDB di bulan ini dan mereka juga menolak kalender pendidikan akan dimulai Juli 2020. Diantaranya, Orang tua terkendala ekonomi karena terdampak Covid-19. Biaya SPP semester kemarin saja banyak yang nunggak, apalagi harus bayar untuk PPDB.
"Banyak uang yang harus dikeluarkan oleh orang tua saat PPDB. Karenanya kenyataannya proses PPDB tetap berbayar, apalagi di jenjang SMA/SMK/MA, dan juga sekolah-sekolah swasta. Ini sangat memberatkan orang tua," kata Ubaid.
Kemudian, PPDB online tidak akan berjalan efektif. Ubaid menjelaskan, pada situasi normal saja, seperti pada tahun- sebelumnya, PPDB online menuai banyak masalah, apalagi sekarang situasi pandemi, tentu sangat tidak efektif. Tahun lalu, PPDB online saja harus ngantri datang ke sekolah dari subuh untuk bisa masukkan data, bagaimana dengan sekarang? Kemungkinan besar kekacauan akan kembali terulang.
"Khawatir terpapar covid karena pandemi belum usai. Ini dihawatirkan oleh orang tua karena anak-anaknya berpeluang besar terpapar covid-19. Banyak sekolah yang belum siap menerapkan protocol covid-19 karena keterbatasan sarana dan juga sumber daya," terang Ubaid.
Alasan selanjutnya, pembelajaran online berjalan tidak optimal. Selama pandemi, pemebelajaran dilakukan di rumah dengan menggunakan cara online. Ini berjalan tidak efektif, karena keterbatasan sarana dan juga akses. Begitu juga dengan Kesiapan guru dan tenaga kependidikan. Banyak diantara mereka juga terkendala dalam memanfaatkan teknologi sebagai media pembelajaran.
"Tentu saja jika ini dipaksakan, pembelajaran tidak akan optimal," tegas Ubaid.
Oleh karena itu, menurut Ubaid, JPPI menghimbau dan memberikan rekomendasi ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendibud) agar melakukan beberapa langkah. Antaranya, menunda PPDB dan Undur tahun ajaran baru. Menunda proses PPDB dan mengundur tahun ajaran baru sampai pandemi usai, atau paling cepat Januari 2021.
"Ini harus dilakukan supaya pembukaan sekolah tidak sekedar kembali dibuka, tapi segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan matang," ungkapnya.
Kemudian juga menggratiskan biaya sekolah bagi anak yang terdampak covid-19. Banyak orang tua yang terdampak secara ekonomi, mereka harus mendapatkan kebijakan afirmasi supaya ananknya tidak putus sekolah. Ini peran yang perlu dukungan pemerintah daerah. Serta terbitkan kurikulum pandemi. Karena selama pandemi, pemerintah harus mengoptimalkan pembelajaran via daring dan juga non-daring bagi masyarakat yang tidak punya akses internet.
"Supaya optimal, pemerintah harus menyiapakan kurikulum dalam situasi pandemi. Jadi, bukan seperti sekarang yang sedang berjalan, kurikulum normal dipraktikkan di kala pandemi,"ungkapnya.
Selanjutnya, melakukan capacity building bagi para guru dan orang tua. Dalam situasi pandemi, peran guru dan orang tua sangat penting dalam proses pembelajaran. Banyak guru dan orang tua yang belum siap mendampingi anak belajar dalam situsi pandemi, mereka harus dibekali dengan berbagai kemampuan dan juga keterampilan secara kreatif dan inovatif.
Terakhir, sambung Ubaid, terapkan protokol kesehatan di sekolah. Sambil menunggu pandemi usai, sekolah dan institusi pendidikan lain perlu mempersiapkan diri untuk dapat menerapkan protokol kesehatan. "Ini langkah pencegahan supaya tidak terjadi penyebaran covid-19 di sekolah jika swaktu-waktu sekolah dibuka kembali," tutup Ubaid.